3. Tiwuk

7.6K 622 32
                                    

Flashback

"Assalamualaikum..." terdengar suara Lanang datang. Nara segera membukakan pintu dan menutupnya kembali, sesaat setelah suaminya masuk ke kamar kos mereka.

"Sayang...aku punya kabar baik dan buruk buat kamu. Kamu mau dengar yang mana dulu?" Lanang meletakkan tas kerjanya di kursi lalu menarik tangan Nara agar duduk di sampingnya --di tepi pembaringan.

"Ada apa sih mas? Kok penting banget kayaknya?" Nara tahu bahwa apa yang akan dibicarakan oleh suaminya adalah hal penting. Karena biasanya Lanang langsung melepas kemeja begitu masuk kamar. Hanya menyisakan kaos singlet putih di badan, lalu dia rebahan di ranjang sambil mengipasi badannya dengan sobekan kertas kalender lama. Tapi kali ini, untuk melakukan hal itu saja Lanang seolah tidak sempat.

"Jawab dulu pertanyaanku tadi"

"Ehmm..." Nara berpikir sejenak, "Yang buruk dulu aja."

"Kamu jangan kaget ya?" Nara mengangguk ragu. "Aku sudah mengajukan resign per tanggal dua belas. Senin depan."

"Apa? Serius kamu mas?" Seperti dugaan Lanang, Nara terkejut mendengar pernyataan darinya. Lalu Lanang mempersiapkan diri untuk mendengar kalimat Nara berikutnya. "Pasti gara-gara kamu bertengkar lagi sama temanmu itu ya?" Nara tidak memberi kesempatan Lanang untuk menjawab. "Kamu gimana sih mas? Terus kita dapat uang dari mana buat kebutuhan sehari-hari? Apalagi aku sudah hamil tua begini. Kita butuh uang untuk mempersiapkan kelahiran anak kita buat biaya persalinan, beli baju bayi, bak mandi, sabun, bedak, bedong, popok dan lain-lain. Itu butuh biaya nggak sedikit mas. Kamu sebelum bertindak, pikir dulu masak-masak. Jangan pendek pikiranmu," Lanang hanya mendengus. Dia memaklumi Nara yang selama ini pendiam bisa ngomel sepanjang itu, melebihi panjangnya rel kereta sejak hamil. Semakin membesar perut istrinya, semakin sensitif dan semakin sering uring-uringan.

"Sudah ngomelnya, sayang?"

"Belum!" Nara cemberut.

"Ya udah terusin. Aku dengerin kok." Lanang menaikkan kedua kakinya ke atas kasur. Lalu bersila. Sebuah bantal buluk tak bersarung dia letakkan di atas pangkuan. Kini tangannya menopang dagu. Ekspresi mirip murid yang siap menyimak pelajaran dari guru dalam kelas.

"Aku ndak bercanda mas!" Melihat gelagat suaminya yang tidak serius menanggapi omelannya, Nara kian berang.

"Nanti setelah kamu puas ngomel. Akan ku beritahu kabar baiknya"

"Ya sudah. Kalo gitu sekarang kabar baiknya apa?" Tanya Nara dengan bibir yang masih mencebik.

"Yakin kamu sudah puas ngomelnya?" Lanang malah sengaja menggoda.

"Mas!"  Nara melotot.

"Hoho...iya..iya deh aku mulai cerita" Lanang meraih tangan Nara, di elus-elus dengan lembut untuk meredakan sisa amarah yang tadi bergejolak. "Begini loh sayang. Inget nggak aku pernah cerita punya teman kuliah orang Padang? Fathian namanya," Nara diam sejenak, lalu menganggukkan kepala. "Nah, ternyata dia disana jadi pengusaha sukses. Meneruskan perusahaan retail orang tuanya."

"Terus?" Nara mengernyitkan kening, masih tidak mengerti dengan arah obrolan ini.

"Terus kemarin dia nelpon aku. Katanya sih dapat nomer hapeku dari orang rumah di Semarang. Jadi dia sengaja nelpon ke rumah nyari aku. Dia itu nggak tahu kalo aku di Pekanbaru"

"Terus?"

"Ya begitu tahu ternyata aku di Pekanbaru dia senang. Berarti kami dekat dan bisa ketemuan. Lalu dia bilang kalo butuh orang untuk jadi manager area. Dia nawarin aku mau apa nggak? Soalnya dia udah kenal dan percaya padaku"

Biduk TerbelahWhere stories live. Discover now