31. Empat Pasang Mata

Start from the beginning
                                    

"Thanks. Gue emang mau ambil cuti." Lanang tersenyum, mengangguk-angguk.

"Kamu masuk dulu, istirahat. Kamarku di atas. Ambil aja apapun yang kamu butuh."

"Lo mau kemana?"

"Bentar lagi mereka datang."

"Mereka?" Pram mengernyitkan kening, dia segera bangkit dari posisi baring. "Siapa?"

"Ah, pucuk dicinta ulam tiba. Itu mereka." Senyum lanang terbit sempurna. Fokus mata Pram mengikuti acungan telunjuk Lanang. Dua perempuan yang berjalan bagai bidadari dari kayangan bertabur serpih-serpih salju dan bunga sakura. Jantung Pram berhenti berdetak. Lanang berhenti bergerak. Angin berhenti berhembus. Dimensi dua lelaki itu beku di waktu dan tempat yang sama.

"Eh, lo mau kemana?" Pram segera tersadar dari dunia lain ketika melihat Lanang sudah siap menyeberang. "Sialan, gue ditinggal."

Nara masih berekspresi seperti biasa, begitu melihat Lanang menghadang jalan. Rasa senang yang terbungkus rapi oleh gengsi, sehingga yang nampak di permukaan adalah rasa sebal. Sedangkan Tiwuk masih getol memberi reaksi geram.

"Setan alas. Kamu lagi? Punya kuping nggak ka..." Tiwuk tidak dapat melanjutkan kata-kata. Dia membisu, bahkan urung berkacak pinggang. Seketika wajahnya pucat, didera takut dan marah.

"Hei..." Sapa Pram secupu yang ia mampu. Di hadapan orang lain, dia berlagak preman. Tapi depan Tiwuk, ia ingin jadi anak pondokan.

"Kamu ngapain ikut?" Bisik Lanang pada Pram. "Sudah bosan hidup?"

"Boleh kenalan?" Bisikan Lanang bagi Pram, selirih desau angin pagi. Lirih, merdu dan tak butuh digubris. "Namaku Pram. Kamu Tiwuk kan? Anak Sipil." Telapak tangan kanan Pram melayang di udara, mengharap sambutan hangat. Dia tersenyum lega karena kalimat itu--seharusnya terucap belasan tahun lalu, akhirnya terungkap. Mengakhiri masa-masa hitam penyesalan panjang. Kenalan baik-baik, saling dekat untuk membibit rasa cinta, memiliki hubungan kuat untuk memutuskan saling melepas masa lajang dan bergumul di ranjang. Bukan sebaliknya.

Melihat mimik muka Tiwuk yang mengerikan, Lanang tepok jidat. Dia takut Tiwuk lepas kendali. Mungkin saja salah satu barang dalam timba yang ditenteng Tiwuk sekarang adalah pisau daging. Bayangan tentang apa yang akan terjadi jika Tiwuk marah besar dengan pisau di tangan, membuat Lanang merinding.

"Wuk. Kamu nggak apa? Wuk?" Nara mengguncang lengan Tiwuk. Menariknya paksa dari alam masa lalu yang suram.

Tiwuk sama sekali tak menyangka jika apa yang dikhawatirkan, akan terjadi secepat ini. Inilah alasan utama, betapa dia berusaha sekuat tenaga melenyapkan Lanang dari hadapan Nara. Bukan semata-mata ingin mencampuri biduk rumah tangga mereka berdua. Tapi menghindari pertemuan dengan Pram, seperti hari ini.

Mulut Tiwuk bungkam, namun tangannya menggandeng Nara agar berjalan lebih cepat menuju pabrik.

"Biar ku bawakan." Lanang berusaha merebut tas keranjang pasar dari tangan Nara. Tapi Nara menolak dengan gelengan kepala.

Pram melihat usaha Lanang, lalu menduplikat.

"Berat, ya? Sini, biar aku yang bawa." Lain Nara, lain Tiwuk. Bukan menggeleng, Tiwuk melotot. Pram menelan ludah, mundur dua langkah.

Nara membisikkan sesuatu di telinga Tiwuk. Awalnya Tiwuk nampak keberatan, tapi akhirnya melepas gandeng tangan. Dia masuk ke dalam pabrik seorang diri.

"Wuk. Wuk, tunggu dulu. Aku mau bicara." Pram berusaha mengejar, tapi Nara menghalangi.

"Pergi, Pram. Jangan pernah datang lagi. Ku mohon." Nara menatap Pram serius, penuh cemas. Seolah kemunculan Pram akan membuat Tiwuk mati mendadak.

Biduk TerbelahWhere stories live. Discover now