PART THREE (LAST PAGE)

734 23 9
                                        

Rasanya hidup jadi lebih mudah selama bekerja sama dengan Temy. Dia tidak lagi ribut soal Gio, apalagi menggangguku. Selama dia bisa menyelesaikan rencananya. Sebenarnya agak sedih juga mendengar Temy yang benci pada ibu. Tapi selama dia tidak mengganggu hubunganku dengan Gio, kupikir tidak masalah. Sebenarnya datang darimana pemikiran seperti ini, membiarkan ibu mati sementara aku bisa bersenang-senang dengan Gio. Dari Temy kah? Aku menggelengkan kepala kuat-kuat. Aku harus mencari cara, pikirkan Ashley! Pikirkan!!

   “.....Ley.. Hoii,, Ashley!!” panggil Jean.

   “Y-ya? Ada apa?”

   “Kamu mau memotong buah atau tanganmu?” tanyanya.

Tangan? Pikirku. Memangnya kenapa dengan tanganku?

Dasar bodoh, ujar Temy sambil memutar bola matanya.

Baru aku sadar rasa sakit di ketiga jari tangan kiriku. Segera aku menjatuhkan pisau dan membuka kran untuk membasuh tangan kananku.

   “Bodoh! Jangan seperti itu,” umpat Alex dan terburu-buru meletakkan nampannya. Ya, sudah dua orang yang menyebutku bodoh hari ini, kataku dalam hati. Dan kau memang bodoh... sahut Temy. Alex dengan sigap mematikan kran dan membungkus tanganku dengan celemeknya. “Aku istirahat sekarang, Jean,” kata Alex sambil mendorongku ke ruang istirahat karyawan.

   “Ya. Ya. Dan tolong urus nona itu sekalian. Sepertinya dia sedang banyak pikiran,” sahut Jean yang tengah sibuk membuat minuman di counter. “Sam, bantu aku.”

Alex mendudukanku di kursi lalu mencari kotak P3K. “Angkat tangan kirimu ke atas.” Pelan-pelan kubuka celemeknya yang bernoda darahku. Memangnya darahku keluar sebanyak itu, ya? tanyaku pada Temy sementara dia diam, tidak bergerak. Matanya memperhatikan gerak-gerik Alex.

Alex menarik tangan kiriku lalu mulai memberikan obat. Aku meringis sedikit.

   “Sakit?” tanyanya.

   “Lumayan. Perih.”

   “Kau tahu Ashley, beberapa hari ini kau terus melamun. Apa kau sedang ada masalah? Atau Mr. Brown tidak bersikap baik padamu? Kau bisa ceritakan padaku.”

   “Ashley..” Alex menghela nafas panjang. “Kau melakukannya lagi. Melamun sambil berpikir.”

“E-eh...” Aku lupa sama sekali kalau Alex ada di depanku sedang mengobati tanganku.

 “Kau ada masalah?”

Ragu-ragu, haruskah aku menceritakannya seperti kata Temy. Tapi, apa dia tidak akan menganggapku gila.

Oh, tenang saja. Dia orang yang berpikir secara rasional.. Coba saja. Ayo coba.. Temy tersenyum riang sambil terus bersenandung di dalam kepalaku.

Kutarik nafas dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaan Alex dengan pertanyaanku sendiri. “Ehm… Kau percayakalau misalnya ada orang lain di dalam tubuhmu, Lex?”

Sejenak Alex tertegun dan berpikir. “Tidak. Aku tidak percaya.”

   “Begitu...” gumamku, hilang sudah harapanku.

   “Karena aku tidak merasakannya. Apa kau...” Alex tidak meneruskan kata-katanya, mendorongku untuk menjawabnya sendiri.

   “Ya..” jawabku sambil meringis.

Alex diam, hanya menatapku dengan kedua bola mata abunya.

  “Ironis bukan? Awalnya aku pikir kalau aku berhalusinasi dan mulai gila. Tapi itu kenyataannya.”

   “Apa sekarang dia ada? Maksudku orang lain itu.”

Aku tidak mau bertemu dengannya sekarang. Nanti saja.

Inside Me, who is it?Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt