PART TWO

764 16 1
                                        

            Shower menyala dan air panas mengalir keluar, membasahi tubuhku, sambil memikirkan beberapa makan malam bersama Gio. Dari satu malam beralih ke malam-malam lainnya, sangat menyenangkan menghabiskan waktu bersama Gio. Laki-laki itu mempunyai banyak cerita tentang kakak yang tidak kuketahui. Kakak yang humor, baik...

Apa kau lupa apa yang dilakukan laki-laki itu padamu?

Suara itu memecah lamunanku, aku menatap pantulan diriku di cermin. Sosok itu balas menatapku sambil tersenyum mengejek. Aku terkejut cukup lama rasanya.

Mark? Baik? Huh! Menjijikkan...

   “Siapa kau! Jangan seenaknya menjelek-jelekkan kakakku!” geramku marah lalu mematikan keran dan mengambil handuk. Aku melihat dia tersenyum. Kusentuh wajahku, aku tidak sedang tersenyum. Apa ini mimpi atau hanya khayalanku saja yang mulai menggila?

Aku tidak menjelek-jelekkan Mark, itu kenyataannya. Sosok di dalam cermin itu bertolak pinggang, persis seperti yang biasa kulakukan. Aku menggelengkan kepala kuat-kuat, apa menjaga ibu di rumah sakit membuatku gila?

Terima kenyataannya, bodoh! Setelah berkata seperti itu, sosok di dalam cermin itu berubah. Wajah pucat dengan rambut yang masih basah. Aku menyentuh cermin, apa itu aku? Atau sosok yang tadi kulihat? Kuhirup nafas dalam-dalam dan tertawa, sepertinya kelamaan mandi air panas membuatku sedikit berhalusinasi. Setelah mengeringkan tubuh aku kembali ke kamar dan berbaring di atas tempat tidur sambil memainkan ponsel. Tiba-tiba Gio menelepon, dengan gugup kuangkat teleponnya pada dering kedua.

   “Hai, Ashley,” sapa Gio. “Kuharap kau belum tidur.”

Aku tertawa pelan, mendengar suaranya menenangkanku. “Aku memang baru mau tidur.”

 “Oh! Benarkah? Kalau begitu apa sebaiknya kita tidak usah mengobrol?” tanyanya. Aku mendengar suara kertas yang berulang kali dibuka dan suara keyboard yang diketik.

   “Apa kau masih bekerja?” tanyaku sambil bersandar di dinding sebelah tempat tidur.

   “Ya, atasanku membuatku harus lembur. Padahal kalau aku tidak lembur, kita bisa makan malam bersama...”

Aku tersenyum mendengarnya. “Kalau begitu, kenapa tidak kau bereskan saja pekerjaanmu sekarang supaya besok kita pergi?”

Gio terdiam cukup lama untuk berpikir. “Boleh. Besok kalau aku sudah selesai aku akan menjemputmu?”

   “Ya. Sampai besok Gio.”

Aku tersenyum sambil menatap langit-langit kamar dan terlelap dalam tidur.

Sampai kapan kau akan bersamanya? Suara itu membangunkanku, tapi bukan kamarku yang kulihat melainkan kegelapan.

Sampaikan kapan kau akan lupa? Dia ada di belakangku, dengan wajah yang persis sama denganku,  dengan rambut coklat yang bergelombang yang sama persis. Tapi dia bukan aku.

“Siapa kau?” tanyaku. Dia hanya tersenyum lalu menyentuh pipiku dengan jari-jarinya yang dingin.

Satu minggu, kuberi kau waktu satu minggu untuk memutuskan hubunganmu dengan laki-laki itu. Lalu dia mendorongku ke kegelapan yang tak berujung. Aku melihat sebuah kilasan, masa laluku?

Aku terbangun dengan nafas terengah-engah. Sudah berhari-hari aku bermimpi seperti itu, awalnya tidak jelas, hanya berupa gambar buram tapi sekarang begitu jelas dan seperti film yang diputar. Tangan-tangan yang menyentuhku, memegangku, juga rasa sakit di tubuh bagian bawahku. Mimpi itu terasa begitu nyata. Dan mimpi itu muncul sejak aku pergi bersama Gio. Kubuka tirai dan matahari langsung menyerobot masuk menerangi kamarku.

Inside Me, who is it?Where stories live. Discover now