26

506 39 11
                                    

RIko’s POV

Untuk pertama kalinya gue ketemu sama cewek sekeras kepala ini, dia Sabrina, seperti cerminan mama, dia itu cantik, judes, tapi sebenarnya perhatian, lembut- ya walaupun sama orang yang dia sayang saja, super duper keras kepala, dan pantang menyerah.

Gue udah kayak orang gila pas balik ke kamar, gue senyum-senyum sendiri sambil geleng-geleng kepala sendiri. Tanpa gue sadari semburat panas terpercik ke wajah gue, jantung gue berdetak dua kali lebih cepat dari  biasanya, dan itu semua terjadi karena gue lagi mikirin Sabrina. Gue rasa gue benar-benar udah jatuh hati ke Sabrina, dan kali ini gue bertekat untuk mendapatkan dia sekalipun dia itu tampak unreachable.

Baru beberapa detik gue masuk ke kamar, tiba-tiba aja hp gue bunyi, pertanda ada panggilan masuk, gue segera mencari tahu itu dari siapa dan ternyata panggilan itu dari nomor yang tidak dikenal, dengan sedikit rasa ragu-ragu, gue menjawab panggilan itu, saat teleponnya mulai terhubung, ada sesuatu yang membuat gue gak bisa berkutik sama sekali, sesuatu itu adalah suara mama, gue dengar suara mama, dia nyebutin alamat gedung tua bekas penyimpanan alat pabrik papa dulu yang dibarengi suara isak tangis, lalu tiba-tiba saja sambungan teleponnya terputus, gue berusaha menelpon kembali tapi hasilnya nihil, nomor itu tidak terdaftar.

Tapi selang beberapa menit hp gue bunyi sekali lagi, kali ini tanda pesan masuk yang isinya ; “Waktumu 15 menit. Jangan sampai lewat, kecali kamu mau wanita itu mati” sesaat setelah membaca pesan, itu gue langsung melajukan kaki-kaki gue menjauh dari kamar tanpa memperdulikan apa-apa lagi.

Sesampainya di depan gedung gue lari kesana kemari buat nyari taksi yangnggak muncul-muncul, gue mulai gelisah dan air mat ague mulai mengalir, gue lari lari sekencang-kencangnya sampai pada akhirnya gue ngeliat taksi berhenti di depan salah sati café. Gue pun langsung masuk ke dalamnya tanpa pikir panjang.

“Dek, maaf tapi saya udah ada penumpang yang habis nelpon, ini saya lagi tungguin dia” tutur supir taksi.

Mata gue memanas dan air mata kepanikan nggak bisa gue bendung, “Pak, ini darurat, saya mohon, saya akan bayar berapapun yang bapak mau, pak tolong jalan sekarang, waktu saya hanya 15 menit” rengek gue sambil terisak. Supir taksi pun akhirnya nurut. “Pak. Saya aja yang nyetir ya, saya udah punya SIM kok” tambah gue lagi, supir itu kelihatan ragu-ragu tapi akhirnya dia mau ngasih kemudinya buat gue.

Kepala gue rasanya mau pecah, dada gue begitu sesak hingga rsasanya ingin meledak, mata gue memanas seperti ada api yang membakarnya.

Mobil taksi itu gue lajukan dengan kecepatan penuh, hingga beberapa saat kemudian akhirnya sampai di tempat tujuan, gue langsung turun dan lari menuju gedung tua yang ada di sisi kanan jalan, tapi supir taksinya menghalangi,
“dek, bayar dulu” katanya sambil menodongkan telapak tangannya ke depan muka gue.

Ada masalah, gue nggak bawa dompet, dan lagi gue merogoh kantung celana gue dan ternyata hp gue juga tiba-tiba nggak ada, terpaksa gue melarikan diri dan segera meninggalkan supir taksinya sambil teriak minta maaf dan janji akan bayar berapapun yang di minta, tapi supir taksinya keras kepala dan malah ngikutin gue, beberapa langkah sebelum masuk ke gedung tiba-tiba dua orang menyergap dan ngebuat gue jatuh pingsan.

Gue nggak tahu lagi apa yang terjadi sama supir itu, saat gue terbangun, gue mendapati diri gue tergeletak di atas lantai semen dengan tangan dan kaki terikat, setelah kesadaran gue benar-benar telah pulih gue akhirnya peka, ternyata di depan gue ada dua pasang kaki. Salah seorang di antaranya menunduk dan mengangkat bahu gue sampai posisi baring gue berubah menjasi posisi duduk.

Gue terkejut melihat wajah mereka, gue girang bukan main “Bang Hamka? Azka? Kalian kok tahu gue ada di sini? thank god”

“thank god, lo bilang? Lo lagi disekap bego” ucap Azka dengan sarkas.

“anak polos” Bang Hamka melanjutkan sambil menunjukkan seringainya.

Gue cuma bisa mengernyit keheranan karena perkataan mereka. Gue mencoba memahami dan menerka, dan akhirnya gue mengerti, walaupun sulit dipercaya, pada kenyataannya mereka-lah yang membuat gue bisa berada di tempat ini.

Azka memutar badan gue sampai gue menghadap ke arah lain dan di sana terlihat mama yang sedang duduk di kursi roda dengan lakban yang menutupi mulutnya, mama menangis terisak sampai mengeluarkan suara yang nggak jelas. Bang Hamka terganggu akan hal itu, dia mulai mendekati mama dan plak!!! Tamparan keras mendarat di pipi mama, membuat mama menyudahi teriakannya. Gue memberontak sekeras mungkin, berusaha untuk melapaskan ikatan di tangan dan kaki gue, tapi percuma saja, bukannya terlepas gue malah dapat tendangan bertubui-tubi di perut yang membuat darah segar keluar dari mulut gue, gue kembali terbaring dengan lemas. Kaki panjang Azka tepat menginjak pelipis gue dan menekannya di sana, hal itu membuat mama kembali mengerang, dan lagi Bang Hamka menampar Mama agar berhenti membuat keributan.

“Mama, tutup mata, jangan lihat, ya, Riko nggak apa-apa kok, ini nggak sakit kok Ma.” Gue mencoba untuk menenangkan mama, membuat mama agar tidak menangis supaya tidak terkena tamparan lagi. Mama akhirnya menurut dan menutup matanya rapat-rapat walaupun ia masih menangis dalam diam.

“Oh, jadi tidak sakit? Oke” Azka menambah tekanan di pelipis gue, pusing, sakit, ingin rasanya gue berteriak sekeras-kerasnya, tapi sebisa mungkin gue tahan supaya mama yakin gue nggak kesakitan.

Melihat gue diam aja membuat Azka makin marah, sekarang dia memegang kerah baju gue dan melayangkan tinjunya di muka gue secara beruntun, mata gue menjadi buram, rasanya seperti mau mati, gue udah mulai kesusahan untuk bernapas.

“sekarang bukan saatnya lo membunuh, lagi pula belum tentu dia harus mati, kita masih ada negosiasi sama mama anak ini, jadi nggak usah berlebihan” tutur bang Hamka ke Azka, membuat tangan kanan Azka berhenti di tempat dan melepaskan tangan kirinya dari kerah baju gue dengan kasar.

Hati gue hancur melihat mereka berdua, bagaimana mungkin mereka yang selama ini gue kenal baik-terutama Bang Hamka yang sudah gue anggap sebagai ayah sendiri melakukan ini ke gue.

“Kenapa Bang Hamka lakukan ini ? Salah gue apa bang?” ucap gue tertatih dengan tenaga yang masih tersisa.

“lo bakal tahu”  seringai bang Hamka lalu perlahan-lahan dia mendekatkakan bibirnya ke telinga mama sembari perlahan-lahan membuka lakban yang tertempel di mulut mama, “Miranda, sepertinya kamu tidak pernah benar-benar peduli pada anak mu, ya?” kata bang Hamka, sedangkan mama tetap pada posisinya yang memejamkan mata dan tidak bersuara sama sekali, hal itu membuat bang Hamka geram, “ngomong!!!” teriaknya, mama kelihatan menciut karena ketakutan.

“tentu mama peduli. Mama adalah orang yang paling benci kalau gue main band, ternyata ini alasannya” gue menengahi,

“diam!!” teriak bang Hamka dengan volume 200%, dengan spontan tenggorokan gue tercekat dan nggak ada rasa keberanian untuk mengeluarkan suara lagi.

“pergilah ke rumah sakit” tiba-tiba saja mama bersuara, rahang bang Hamka menegang, matanya memerah, dan lehernya memperlihatkan uratnya,

“ternyata kamu belum berubah, hahahah sudah puluhan tahun tapi kamu masih mengeluarkan kalimat yang sama” bang Hamka tertawa lalu menundukkan pandangannya, “apa aku ini benar-benar gila di matamu? Sudah aku bilang aku ini sehat, aku ini nggak sakit Miranda!” bang Hamka mencengkram bahu mama, sinar mata mama berubah ketika menatap balik mata bang Hamka

“kamu nggak gila, kamu hanya butuh perawatan”

“hanya butuh perawatan? Dulu aku sudah menjalani perawatan itu dengan baik demi kamu, tapi apa yang kamu lakukan ke aku, Miranda? Kamu lihat aku sekarang? Ini semua karana kamu”

“Hamka... ada sesuatu yang tidak bisa kita paksakan”

To be continue…

LIFE GENRETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang