"Iya, saya editor dari majalah Ladies. Nama saya Rahayu Audya. Anda bisa panggil saya Audy."

"Audy... Salam kenal. Senang bertemu dengan kamu." Miranda mengulurkan tangannya, dan aku pun menjabat tangannya. Bahkan tangannya begitu halus, beda dengan tanganku yang sekasar tangan kuli bangunan ini.

"Jadi gimana? Mau kita mulai wawancaranya sekarang?" tanyanya.

"Boleh, kalau mbak Miranda ada waktu sekarang."

"Panggil aja Mia. Aku merasa udah tua banget kalau dipanggil mbak."

"Oh, iya... Mia..." aku merasa dia enggak jutek seperti yang mbak Lilian ucapkan ke aku. Mungkin karena bentuk wajah dan raut wajahnya yang membuatnya terlihat seperti angkuh atau jutek.

"Kita duduk di sebelah sana aja ya. Soalnya orang-orang ini suka pada ikut ngerumpi kalau aku lagi diwawancara." Miranda menunjuk ke sekelompok orang-orang yang sedang mengobrol dari tadi itu, termasuk Dennis.

"Kalau ada pertanyaan yang Mia enggak mau jawab, tanya saya saja. Saya udah tahu sedalam-dalamnya Mia!" celetuk salah satu pria di kelompok itu.

"Gue juga tahu siapa Mr. Perfect-nya Mia yang lagi diomongin banyak orang itu tuh!" pria yang lain ikut menyambar dan menggoda Miranda.

"Jangan pada asal ngomong aja deh!" akhirnya Miranda membela diri.

"Ciee... Cieee... Mukanya merah tuh! Pasti langsung kepikiran Mr. Perfect lo itu kan!" wanita yang duduk di sebelah Dennis pun enggak kalah ikut menggoda Miranda.

"Shutt! Diem! Udah yuk, kita duduk di sana aja, daripada kelamaan ngeladenin orang-orang ini." Miranda pun mengajak aku duduk di pojok kafe lain yang cukup jauh dari kursi orang-orang itu.

Aku dan Miranda duduk saling berhadapan.

"Oh iya, ini beberapa pertanyaannya. Silakan dilihat dulu. Kalau ada pertanyaan yang tidak ingin anda jawab akan saya coret dan tidak akan saya masukkan ke daftar pertanyaannya." aku memberikan dua lembar kertas yang berisi print pertanyaan-pertanyaan yang aku buat semalam.

Pada akhirnya aku membuat dua jenis pertanyaan, pertanyaan yang standar dan sederhana, dan pertanyaan yang agak berani dan to the point.

"Karena saya enggak tahu pertanyaan seperti apa yang bisa anda terima, jadi saya membuat dua jenis pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan yang ada di halaman pertama adalah pertanyaan yang sederhana, dan yang di halaman kedua... agak lebih dari sederhana." ujarku.

Miranda membacanya dengan cukup serius, dan ketika dia membaca halaman yang kedua tiba-tiba dia tersenyum. Mudah-mudahan enggak ada yang salah sama daftar pertanyaanku itu. Atau, di antara pertanyaan itu ada yang berlebihan ya? Hah... Harusnya aku bikin pertanyaan yang standar saja kali ya.

"Mmm... Menarik. Ini pertama kalinya aku menerima daftar pertanyaan yang dibuat rapi dan di print di kertas kayak gini. Biasanya wartawan kasih lihat daftar pertanyaan yang mereka tulis di buku catatan mereka sendiri."

"Saya juga sudah menulis semua pertanyaan itu di buku catatan saya. Tapi karena mbak Lilian minta untuk memperlihatkan daftar pertanyaannya kepada anda lebih dulu, jadinya saya pikir akan lebih baik saya print pertanyaannya untuk anda."

"Oke, kita mulai wawancaranya sekarang."

"Sekarang...? Apa tidak ada pertanyaan yang mau mbak Miranda pass atau coret dari daftar?" aku lumayan bingung dan kaget karena Miranda sepertinya tidak masalah dengan daftar pertanyaan yang aku buat.

Well... Seharusnya aku merasa senang, cuman aku enggak sangka saja.

"Enggak ada. Aku oke sama semua pertanyaannya. Kamu boleh tanya yang mana aja kok." Miranda mempersilahkan.

SEMPURNA [END]Where stories live. Discover now