D u a

36 5 0
                                    

Sekarang aku pasrah. Memangnya apalagi yang bisa kulakukan kalau aku sudah terkunci di mobilnya. Kabur? Mana bisa. Lagipula cepat atau lambat dia akan membahas kejadian di San Fransisco juga. Tapi sebisa mungkin aku akan melakukan perlawanan kalau dia bicara.

Aku mendengus jengkel menatap jalanan. Kalau dihitung sudah tiga kali kami melewati jalan ini. Selama duapuluh menit Sean berkendara tanpa arah tujuan dan selama itu pula aku bicara (lebih terdengar seperti protes) tanpa henti dan Sean sama sekali tidak merespon, dan demi tuhan aku benar-benar ingin mencekik lehernya. Apa gunanya aku disini? Dia pikir aku patung? Maksudku kalau dia hanya diam saja, lebih baik menurunkanku di McDonalds atau KFC. Buat apa dia buang-buang bensin dan buang-buang waktu hanya untuk berkendara di jalanan yang sepi tanpa tujuan.

Sekarang aku diam karena tenggorokanku kering setelah bicara panjang lebar. Benar-benar menjengkelkan. Beberapa menit tak ada yang bicara, yang aku lakukan hanya mengumpat dalam hati. Aku terus-terusan memasang ekspresi jengkel sementara Sean hanya berekspresi yeah-yeah-terserah-kau-bicara-apa-aku-tak-peduli.

“Kenapa diam?” tanya Sean tiba-tiba.

Aku melongo menatapnya dengan ekspresi yang-benar-saja? “Apa gunanya aku bicara kalau kau sama sekali tak merespon. Rasanya seperti bicara dengan batu, kau tahu?”

“Tanyakan beberapa hal padaku. Dan please bicara dengan normal dan tenang, oke? Pertanyaanmu tadi terlalu banyak dan aku bingung mana yang harus kujawab terlebih dahulu. Jangan berteriak kalau aku sedang bicara. Dan oh, kau harus ingat, aku sekarang sedang mengemudi jadi jangan memecah konsentrasiku.”

Aku mendengus, berusaha untuk tidak meneriakinya di wajah. Lalu aku memikirkan apa yang harus kutanyakan terlebih dulu. “Oh ya, bagaimana kau tahu kalau aku ada disini?”

Aku bisa melihatnya tengah menaikkan alis lalu dia menoleh padaku sebentar. “Kau pikir apa gunanya wajah tampan?”

Dasar narsis. Aku benar-benar tak habis pikir kalau responnya seperti itu. “Hah? Jawaban macam apa itu?! Aku serius!”

“Kau benar-benar butuh hiburan. Sudah kubilang santai saja. I got it from your beautiful lil sis.

“Apa?!” Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak berteriak. Yang benar saja? Adikku? Alyssa? Aku langsung membayangkan Alyssa sedang bicara dengan Sean. Bagaimana ekspresi bocah empat belas tahun itu ketika melihat Sean dari dekat? Maksudku hey, Alyssa pernah mengatakan padaku kalau Sean sangat tampan dan dia akan sangat senang jika bisa bicara dengan Sean. Oh yang benar saja, Alyssa benar-benar mengorbankan keselamatanku hanya karena cowok belangsak seperti Sean.

Sean terlihat tenang, ada kebanggaan dalam senyum tipisnya. “Tentu saja. Aku bahkan tak perlu susah-susah untuk memohon. Alyssa dengan sukarela memberiku alamat rumah dan sekolahmu.” Sean berdeham lirih, “Dan ngomong-ngomong Alyssa itu cantik sekali, berbanding terbalik dengan kakak perempuannya.”

Oh jadi dia mengejekku? Adikku memang anggun dan tak suka mengumpat, yang jelas sangat berbeda jauh dariku, tapi tidak seharusnya dia membanding-bandingkan aku dan adikku kan? Aku hanya sangat benci membicarakan perbedaan antara aku dan saudariku karena aku selalu berada di peringkat paling bawah.

“Ada lagi?”

“Sudah,” jawabku ketus.

“Yakin? Kau bisa tanyakan hal lain lagi padaku.”

“Tidak ada.”

“Oke, sekarang aku yang bertanya. Kenapa kau repot-repot untuk menghancurkan seisi apartemenku? Maksudku kau bahkan tak memikirkan resikonya.”

Aku menghembuskan napas, berusaha untuk tidak meledak saat ini juga. “Itu bukan sepenuhnya salahku. Kau yang memulai semuanya. Kau tak hanya membuat beasiswaku dicabut tapi juga dikeluarkan dari sekolah. Kau pikir bagaimana perasaanku?!” Mengingat kejadian itu benar-benar membuatku sakit hati. Aku memang bukan seorang pelajar yang pintar, mungkin aku hanya sedang beruntung untuk mendapatkan beasiswa di salah satu SMA terbaik di San Fransisco, dan itu adalah satu-satunya hal yang membuat orang tuaku sedikit memberi perhatian padaku. Lalu setelah beasiswa itu hangus dan terancam drop-out? Boom, hubunganku dan orang tuaku memburuk dan aku dipaksa untuk pergi ke Oakland dan tinggal dengan kakak-perempuanku-yang-sempurna. Rasanya aku ingin menangis kalau mengingatnya, tapi tentu saja tidak melakukannya. Aku tidak boleh terlihat menyedihkan di depan Sean.

Simple ExistenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang