Nafas Jeno terengah-engah. Maniknya menatap Umi-nya yang tengah berkaca-kaca. Semua pandangan meminta penjelasan. Salah Dia? Kenapa?





"Ini semua salah Jeno...... salah kenapa Jeno......" Ia menahan air mata. "Salah kenapa Jeno terlalu peduli dengan Jeni."


Pecah.

Hati Jeni makin sakit. Disatu sisi dia membenci Papa-nya, disatu sisi dia juga sakit hati dengan perkataan Jeno.

Jeni pikir, untuk apa Jeno peduli dengan dia? Bukannya di awal-awal Jeno memang ga suka sama dia? Kalau tau nyesel udah peduli, kenapa masih dilakuin?

"Kamu peduli dengan anak semacam dia?" tanya Umi-nya sarkas.

"Anak semacam apa maksud Umi?" Jeno bertanya balik.

"Anak nakal tak tahu tata krama. Iya, kamu peduli dengan dia?"



Jeno memejamkan kedua matanya. "Jeno punya alasan kenapa Jeno peduli dengan dia."

Umi-nya mendelik. "hEH? Sejak kapan kamu gini?"




"Jeno tau kalo Jeni bukan kayak anak yang bahagia,"




"Maksud kamu?"






Jeno diam.




"Heh, kamu anak kecil, ga usah ikut campur urusan orang gede. Tau apa kamu tentang keluarga saya? Darimana kamu tau kalo Jeni ga bahagia? Dengan saya, jelas dia bahagia! Jadi jangan asal nyeblak kamu itu."




"Bahkan Om sendiri ga tau kalo sebenernya anak Om itu nyimpen kebencian dan sakit di hatinya,"



Papa Jeni tercekat. Dia mandang Jeno dengan tatapan benci. Cara ngomong Jeno, sama kayak Umi-nya.


"Udah, Bu. Sekarang, siapa yang harus di drop-out. Anak saya, atau anak Ibu ini?" Papa Jeni mengalihkan pembicaraan.




Semuanya diem, menunggu keputusan.

Guru BK tampaknya juga bingung ngambil keputusan.













Akhirnya setelah menunggu beberapa saat, perwakilan mereka bilang,



"Untuk kasus ini, kami belum memberi sanksi untuk kedua murid. Tapi kami hanya memberikan hukuman ringan, seperti membersihkan lingkungan sekolah. Tapi di harapkan dengan sangat untuk kalian berdua, sengaja atau tidak di sengaja, jangan mengulangi perbuatan itu lagi, terutama untuk Jeni. Surat panggilanmu masih tersisa 1 kali lagi, setelah itu, antara 2 pilihan, hanya di drop-out atau diberhentikan dengan tidak hormat."





Umi Jeno menghembuskan nafas kecewa. Ia nampak tak terima. "Tapi Bu, itu kan sudah jelas kalau dia mabuk di sekolah!"




Guru BK bersangkutan mengangguk. "Iya, tapi kami belum mempunyai bukti yang kuat."



"Butuh bukti apa lagi?!"




"Sudahlah, Bu. Kalau kalah, ya kalah saja. Toh, anak saya ga bersalah."



Ingin rasanya Umi Jeno menampar mulut laknat laki-laki itu. Tapi kalo bukan Jeno yang menggenggam tangannya erat, niat jahat itu pasti terlaksana. Karena Jeno, sumber kekuatannya.





Tak lama kemudian, tanpa penghormatan dan tanpa pamit, Umi Jeno keluar ruangan dengan menarik kasar pergelangn tangan anaknya.


Begitu pun juga dengan Papa Jeni. Ia menarik paksa anaknya itu dengan amarah yang sedari tadi dia pendam.


























Rusuh ✕ ljn ✔Where stories live. Discover now