|3.1| Harusnya Tidak Kembali

102 48 10
                                    

"Ini yang kesekian kalinya, aku tidak butuh kamu ada. Bisakah kamu pergi saja?"


-Dania S. pada Agam Artha P.

***

"Buruan, Nia!" seorang anak laki-laki berseragam putih biru yang duduk di atas sepeda berteriak di depan rumah yang pagarnya terbuka.

Seorang gadis kecil yang dipanggil Nia itu mempercepat langkahnya. Ketika tiba di depan anak laki-laki itu, ia menggigit setengah roti tawar yang dibawanya lalu setengahnya dijejalkan pada anak laki-laki itu.

Anak perempuan itu juga mengenakan seragam putih-biru, bedanya ia terlihat lebih heboh dengan topi toga dari karton, kalung permen, tas karung serta papan nama menggantung besar menutup dada.

"Ata nggak pake atribut?"

"Ngapain? Kayak orang sinting."

"Ata! Nanti kena marah. Pake!" pemilik nama lengkap Dania Sabrina itu, melepas topi toga miliknya lalu memasangkannya pada anak laki-laki yang dipanggilnya Ata itu.

Namanya, Agam Artha Prasetyoaji, karena Dania dulu tidak bisa mengucapkan Artha dengan benar, maka dibiarkannya ia dipanggil Ata oleh anak itu.

"Cepet naik, tar kesiangan." Dania lantas menurut, duduk di boncengan.

Agam mengayuh sepedanya dengan penuh kekuatan, tidak mudah bagianya membawa Dania yang bahkan lebih besar darinya. Ia juga tidak mungkin membiarkan anak itu yang memboncengnya, mau di taruh di mana mukanya?

"Cepet, Ata! Nanti kesiangan!" Dania berteriak sambil menggoyang punggungnya

"Siapa yang telat, siapa yang disalahin," gumam Agam sebelum mengayuh sepedanya lebih cepat lagi.

Baru beberapa meter sepeda itu melaju dengan kecepan 'sedikit' tinggi, Dania kembali berteriak, "Jangan kenceng-kenceng, nanti Nia jatuh."

"Astaga!" Agam melemahkan kayuhannya sambil menggerutu. Ia yakin akan seperti apa nantinya Dania kalau sudah besar, pasti akan seheboh, seribet, semenyebalkan cewek-cewek kakaknya.

Sepeda itu baru saja akan dibelokkan pemiliknya ketika sebuah motor melaju dengan kencang yang sontak mengejutkan Agam. Sepeda itu lantas terlepas begitu saja dari genggamannya dan jatuh.

"Woy! Kalau sakit jangan bawa motor! Goblok!" teriak Agam pada pengendara motor yang sudah jauh itu. Ia baru akan mengangkat sepedanya ketika melihat Dania terduduk sambil melihat sikunya.

"Sakit?" anak laki-laki itu ikut berjongkok di depan Dania.

Dania menggeleng. Menyatakan ia baik-baik saja. Padahal yang ia rasa sebaliknya. Ia bahkan harus mengigit bibir bawahnya untuk menghalau tangis agar tidak keluar.

Salah jika Dania menganggap kebohongannya akan terkamuflase hanya karena gelengan. Agam ikut khawatir awalnya, tapi demi terlihat percaya pada sahabatnya itu, ia kemudian tersenyum.

"Bagus. Nggak boleh cengeng." Ucapnya lalu mengoleskan ludah pada luka gores Dania menggunakan jarinya.

Anak perempuan berkepang dua itu menjerit seketika, "Ata, Jorok!" air matanya pecah saat itu dan semakin menjadi ketika tidak menemui benda apapun untuk mengelap saliva Agam itu.

"Biar nggak perih pas kena air," Agam menghentikan gerakan brutal tangan Dania yang mulai merotoki daun di pinggir jalan.

Mata cokelat anak itu seakan menghipnotis Dania, pasalnya hanya ada keyakinan yang terpancar dari sana.

"Beneran?"

Agam mengagguk, lalu membantu Dania berdiri.

Bagian dari kilasan masa lalu itu kembali membayang tanpa diminta. Mengulik kembali luka lama yang sejatinya ingin dilupa. Menghadirkan rasa sesak yang terasa begitu nyata untuk alasan yang tidak seharunya. Mata itu penyebabnya, mata hitam yang tiba-tiba menyapa. Setelah sekian lama tiada.

Bersama runtutan aksara novel karya Johanna Lindsey itu Dania melebur asa. Seberapa kuat pun ia memaksa, bayangan menyakitkan itu tidak akan begitu saja sirna.

Gadis itu baru saja memejamkan mata, ketika sesorang merampas paksa susu stroberi yang sejak tadi mengaliri tenggorokannya melalui sedotan. Dan yang ditangkap irisnya pertama kali adalah Agam. Duduk dengan santai di sampingnya sambil menikmati susu kemasan yang baru saja dirampasnya. Mengabaikan ngelu sebab tebasan angin pada wajahnya yang lebam di mana-mana. Sejenak Dania menahan aliran udara yang masuk ke rongga paru-parunya.

"Lo nggak boleh minum susu stroberi, ntar mencret," ucap Agam santai tanpa mempedulikan wajah datar Dania.

Cowok yang tadinya memandang lurus hamparan ilalang yang tumbuh liar di belakang sekolah mereka itu, menoleh pada Dania. "Apa kabar?"

Dua pasang bola mata itu bertemu menghantarkan beku. Senyum jenaka yang tadi menghias wajah tegas Agam, menguap tanpa bekas.

Cewek itu tidak menjawab. Menutup novelnya untuk kemudian beranjak.

Rahang Agam mengeras seiring suara daun kering yang terinjak Dania semakin samar terdengar. Ia meremas kotak susu itu hingga isinya mengenai tangan. Seolah hal itu gambaran dari apa yang tengah ia coba remukkan. Semua pertanyaan. Dan semua kalimat basa-basi yang ingin ia beritahu pada gadis itu. Semua ia remukkan.

***

Dania menjatuhkan tubuhnya begitu saja di kasur, sempat menringis saat punggungnya menyentak benda keras yang mungkin kotak pensil di dalam tas yang belum ia lepas. Matanya terpejam, seakan tengah mengabsen satu-satu kelu yang ada. Membiarkan dingin membelai setiap jengkal dari dirinya. Memasrahkan indra penciumannya menghirup bau hujan yang tak pernah ia suka juga amis keringat bercampur wangi maskulin parfum yang menenagkan.

Tersentak, Dania membuka mata. Gelap. Hanya ada kilatan petir yang menyambar kaca jendela. Ia lantas terduduk. Kaku. Mengambil napas dengan berlebihan, seakan baru saja menemukan udara. Yang tadi itu terasa sangat nyata. Wangi parfum Jimmy Choo yang ia kanal, efek nyaman yang ia suka sekaligus aroma kehancuran yang ia benci itu, rasanya benar-benar dekat. Bagai memeluk ditengah ketidakpastiannnya.

Lalu ke mana perginya? Tidakkah itu terlalu nyata untuk sebuah mimpi? Dania bahkan yakin belum terlelap. Tapi, tidak sedikit pun sisa dari aroma itu yang tertinggal untuk bisa menyebutnya benar-benar ada.

Kembali Dania merebahkan tubuh di kasur setelah meletakkan tas di kaki ranjang. Matanya nyalang menatap langit-langit yang terselimut warna hitam pekat. Karena memang ia belum menyalakan lampu. Petir di luar sana kian hebat menggelegar, tapi ia tidak peduli. Tidak sama sekali. Ia terlalu kosong. Terlalu sibuk dengan nyerinya.

Matanya kembali terpejam. Beberapa saat brikutnya harum itu hadir lagi, bermain-main samar di indra penciumannya. Tanpa sadar, setetes air mata jatuh dari sudut matanya. Menggiringnya pada sebuah pengakuan. Pengakuan atas rindu di tengah kebebenciannya.

Hingga pagi menyapa, gadis itu tidak pernah benar-benar lelap dalam katup matanya.

Tbc...

Gelap ya?

Ayo sama-sama kita temukan terang pada part berikutnya.

See ya😘

IneffectiveWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu