Sebuah Pengakuan

1.3K 113 3
                                    

Seperti biasa, Brian melakukan pekerjaan di kafe Meddy. Bekerja sebagai pelayan yang menerima pesanan dan menghidangkan ke meja tamu. Laki-laki itu menyibukkan dirinya dengan kegiatan-kegiatan yang sengaja ia cari. Seperti terlihat lebih sering membuang sampah. Lebih sering mengelap meja maupun membersihkan dapur. Ia terlihat... menyibukkan diri.

"Akhir-akhir ini aku melihatmu sengaja menyibukkan diri Brian."sapa salah seorang teman kerjanya.

"Ohh! Aku hanya ingin mendapatkan hal yang lebih."balas laki-laki sambil membuang beberapa sampah ke tempatnya.

Sibuk dengan dunia, bukan berarti Brian tidak merasakan sesuatu yang aneh di sekitarnya. Iya. Semenjak ia mencecap darah sang nona bangsawan keturunan vampir murni, laki-laki itu memiliki penciuman yang lebih tajam. Ia tahu. Bahwa Lucy, beraada di dekatnya dan memperhatikannya. Karena itulah ia sengaja menyibukkan diri agar gadis itu tak datang mendekat.

Brian dengan sengaja berjalan menuju dapur. Kemudian ia berbelok ke luar. Kembali ke tempat ia pertama kali bertemu dengan Lucy dan pertama kali diserang vampir. Ia menyandarkan tubuhnya. "Berapa lama kamu akan melakukan hal ini?"ucapnya tiba-tiba.

Gadis yang beberapa hari ini mengikuti Brian terperanjat. Terdengar suara helaan yang panjang. Perlahan gadis itu melangkah, keluar dari persembunyiannya. "Kau mengetahuinya?"tanyanya sambil menunduk.

"Tentu saja. Kau terlihat sangat jelas."balas Brian.

"Tidak mungkin. Tiada yang tahu bagaimana aku membuntututimu. Eh? Maafkan aku."ucap Lucy cepat.

"Apa kau lupa nona muda. Aku bukanlah manusia kebanyakan."

"Ahh! Iya! Aku melupakannya."gadis itu terlihat bersalah.

"Nah sekarang. Apa yang kau inginkan? Mengapa mengikutiku?"Brian mulai menyampaikan maksudnya.

Lucy mengedarkan pandangan. Manik merahnya mengitari tanah yang ada di sekitarnya. Gadis itu menelan ludah. "Aku... aku..."terbata. Ia tak mampu mengutarakan alasannya.

"Mengapa?"ulang Brian. Ia maju selangkah. Mendekati Lucy yang terlihat mulai gugup.

"Ahhh! Aku bisa menjadi gila!"teriak Lucy tiba-tiba. Brian terheran. "Kau tahu? Aku? Aku tak bisa berada jauh darimu! Aku selalu ingin berada di dekatmu! Aku tak tahu apakah karena darahmu yang terlalu menggoda! Atau karena aku yang bodoh dengan perasaanku mulai menyukaimu!"lepas. Lucy melepaskan semua hal yang ditahannya selama ini. Nafasnya memburu.

Hening. Tak terdengar balasan pengakuan seorang Lucy. Brian diam seribu bahasa. Matanya menatap Lucy lekat.

Lucy mengangkat wajahnya. Sejenak gadis itu terhanyut oleh indahnya manik biru di depannya. Namun, ia tersadar. Gadis itu membuang wajah. "Maafkan aku. Setelah ini aku tidak akan menganggumu!"ucapnya lirih.

"Apa semua itu benar?"tanya Brian.

"Ap... apa?"

"Pengakuan itu. Apa aku bisa mempercayainya?"

Lucy menggigit bibirnya. "Apa aku perlu mengulanginya?"tanyanya sedikit malu.

"Tak perlu." Tiba-tiba Brian berjalan cepat dan memeluk Lucy. Begitu erat.

Lucy tercekat. Ia menahan nafas ketika rasa hangat menjalari tubuhnya. Ia merasakan damai dan tenang ketika laki-laki itu mendekapnya. Apakah ini nyata?

"Brian..."panggil Lucy lembut.

"Apa?"tanyanya.

"Apa aku boleh bertemu denganmu lagi?"tanya Lucy.

Queen Of Midnight (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang