4

201 26 30
                                    

Oliver telah menghabiskan dua gelas penuh, tetapi minuman cokelat keruh itu tak sanggup melenyapkan rasa malu yang meluapi ubun-ubun sekaligus rasa sakit di sekujur tubuhnya setelah Jenderal Raymond membantingnya di tanah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Oliver telah menghabiskan dua gelas penuh, tetapi minuman cokelat keruh itu tak sanggup melenyapkan rasa malu yang meluapi ubun-ubun sekaligus rasa sakit di sekujur tubuhnya setelah Jenderal Raymond membantingnya di tanah. Di dalam kafe itu dia duduk di ujung meja bartender sembari mengusapi ruam-ruam merah di bagian wajahnya dengan es batu yang telah dipesannya. Sang bartender, yang merupakan seorang pria paruh baya berbadan gemuk, hanya sempat terheran sekilas dengan keadaan pelanggannya itu. Mungkin ekspresi geram Oliver membuat sang bartender cukup mengerti cobaan hidup macam apa lagi yang menimpa para pengunjung yang bersinggah di kafenya. Sementara Oliver mengacak-acak rambutnya sendiri begitu frustrasi, bartender itu menggosok-gosok gelasnya dengan santai.

"Lagi, Pak." Oliver mengentakkan gelas kosong terlalu keras di atas meja, dan sang bartender pun sigap menuangkan isi tekonya pada gelas itu sambil menggeleng pelan. Setelah gelasnya penuh, Oliver menyeruputnya lagi perlahan-lahan.

Bayangan seorang anak kecil yang tersenyum ceria dari atas kursi roda kembali meremukkan ketenangan Oliver. Entah dia lebih merasa nyeri karena membayangkan adiknya, atau karena kepalanya nyaris pecah di halaman istana--tetapi sepertinya karena keduanya. Lagi-lagi Oliver tercenung menentukan apa yang lebih membuatnya malu; tak mampu memperoleh Ambrosia setelah usahanya selama berbulan-bulan atau dilecehkan di hadapan khalayak yang tahu identitasnya sebagai produk gagal Sang Kesatria Legendaris--dan rupanya karena keduanya juga. Rasa sakit dan malu bertransformasi menjadi gerigis yang mengunyah mental dan fisiknya secara serentak.

Di perjalanannya menuju kafe itu, dia sempat meratapi sepasang sepatu kulit yang kira-kira pas dengan kaki mungil Ethan di balik kaca etalase sebuah toko. Uang sudah tersedia di dompetnya, menunggu untuk dibelanjakan ... tetapi dengan murka Oliver buru-buru berpaling dari toko itu, menampik niatan awalnya. Dia ingin sekali membelikan Ethan sepatu itu, tetapi belum saatnya. Tidak, Ethan ... aku akan membelikanmu oleh-oleh begitu aku diterima menjadi seorang kesatria. Aku tidak akan pulang tanpa pencapaian apapun dan hanya membawakanmu benda yang kauinginkan itu. Belum, aku belum mau pulang, Ethan, pikir Oliver sebelum dia berakhir di kafe kecil yang lumayan banyak disinggahi para pelancong itu. Di sini, Oliver dapat mendengar berbagai gosip yang terdengar riuh, dan Oliver hampir ingin kabur dari tempat itu ketika mereka membicarakan tentang seleksi para kesatria yang katanya masih berlangsung.

"Raymond memang hebat. Masa seharian ini dia sanggup mengalahkan puluhan petarung handal, dan hanya meloloskan satu orang yang terkuat!"

"Hahaha, apa kau sudah melihat seluruh peserta yang ditempelengnya? Rupa mereka sudah tak beraturan lagi, seperti daging yang sudah digiling!"

"Iya, hancur mereka di tangan Ray! Hahaha!"

TAK! Secara refleks, Oliver mengentakkan gelasnya sampai semua orang di kafe itu hening menatapnya. Para penggosip pun melanjutkan pembicaraan hanya dalam bentuk bisikan, takut akan aura ganas yang dipancarkan Oliver ke seluruh sudut kafe itu.

Knight BrothersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang