One Secret

7 0 0
                                    


Cuaca kala itu tak semendung yang diduga. Karena panas itu benar-benar menyinari
wajahnya hingga matanya menyipit sepersekian senti sepulang sekolah. Alfandi menghilang saat masuk ke kamar mandi.

Sudah lima belas menit ia berdiri dan tak kunjung hadir batang hidung manusia aneh itu. Dan terlebih lagi, dihadapannya kini Putri dan teman-temannya sedang menyebar hoax yang membuat gadis-gadis itu tampak menjijikkan.

Sebelum Putri menatapnya dan menghampirinya, ia berlalu pergi dan nekat menyusul Alfandi ke toilet pria. Tepat setelah ia sampai, ia melihat Alfandi sedang duduk bersila di rumput dekat taman yang kebetulan dekat pula dengan toilet mereka. Benar-benar aneh. Apa yang sebenarnya laki-laki itu lakukan?

Lagi-lagi kakinya melangkah maju dan duduk di samping Alfandi tidak tahu malu. Berharap laki-laki itu menyadari kehadirannya, tapi ekspektasi memang tak sesuai realita, karena Alfandi sekarang bangkit berdiri dan berjalan cepat menuju lapangan. Apa lagi yang anak ini lakukan?

Itu hanya suara hati dan Alfandi sama sekali tidak menjawab. Mata laki-laki itu hanya berfokus pada satu titik, lapangan bola basket. Entah setan apa yang menyuruh laki-laki itu melakukannya, tapi Alfandi perlahan mengambil bola itu dan memantulkannya sembari melompat hingga bola itu masuk dengan mulusnya ke keranjang. Dan ini benar-benar di luar ekspektasinya. He's really great.

Tapi belum sempat ia bertepuk tangan, Alfandi mengembalikan bola itu ke tanah dan berjalan lurus tanpa menatap kiri kanan. Ia tidak tahu Alfandi benar-benar tidak tahu keberadaannya atau memang anak itu sengaja menjauh pergi dan menuju tempat ia tadi berdiri. Tepat di depan Putri. Dan ia mulai menyadari satu hal, Alfandi mencarinya. Alfandi benar-benar tidak tahu keberadaannya.

"I looking for you," ucapku refleks sambil menepuk pundak Alfandi yang hanya diam dan berhenti mencari karena mungkin, orang yang dicari adalah dirinya. Perlahan Alfandi menariknya menuju mobil dan membukakan pintu tanpa disuruh. Dan ini benar-benar awkward. Apa sebenarnya yang ada di pikiran laki-laki itu?

Sepanjang jalan seperti biasa, Alfandi hanya diam tak berkata. Semuanya hampa dan seakan mobilnya berjalan sendiri tanpa ada yang menyetir saking kehadiran Alfandi tidak berarti apa-apa bahkan terkesan menyeramkan.

Jam di mobil itu menunjukkan pukul lima sore saat mereka sampai di rumah Tante Erna, ibu Alfandi. Ia mengucap salam sembari membuka pintu tanpa mendengar ada yang menjawab.

Alfandi masih berdiri di samping mobilnya seperti mencari sesuatu, lagi. Dan kali ini ia benar-benar merasa aneh pada laki-laki yang sempat dipujinya itu. Karena ia merasa ... ada yang salah dengan keluarga ini dan ada setitik harapan kecil untuk memperbaikinya.

Sesaat ia masuk ke dalam kamar, ia menelpon Edgar yang sedang menikmati liburan ditemani Gara, teman Edgar yang berwajah tampan dengan lesung pipi yang sangat manis, ditambah Gara adalah sosok periang dan humoris, tidak seperti dirinya yang terjebak bersama Alfandi, sosok manusia yang ... benar-benar langka.

" A number you are call is not active---"
Ia melemparkan ponsel itu sebelum wanita yang menjawab melanjutkan perkataannya. Ia benar-benar frustasi, bahkan Edgar pun sengaja menonaktifkan handphonenya agar tidak diganggu. Ini sungguh bencana besar, ia seperti terjebak bersama Beast yang diperankan oleh Dan Stevens itu dan menjadikan dirinya Emma Watson. Tapi Beast yang ini berbeda.

Beast
yang sekarang bersamanya adalah sosok aneh dan seperti hantu yang bersuara tiba-tiba, lebih menakutkan daripada Beast-nya Emma, dan sayangnya, ia tidak sedang menyelamatkan ayahnya, tapi sedang berusaha berteman dengan Beast itu, manusia bernama Alfandi.

***
TOKTOKTOK! Ketukan pintu itubenar-benar mengagetkannya. Bahkan ia panik hingga mengambil tongkat sapu pelansembari berjalan. Ini mengingatkannya akan film The Conjuring yang pernah iatonton.

Saat suara itu terdengar lagi,ia buru-buru membuka dan berteriak mengangkat tongkat itu. Dan seketika tongkatitu jatuh saat bertatapan dengan wajah itu, wajah yang sangat tidak asingbaginya. Laki-laki berjambang yang memakai jas berwarna hitam seperti hendakmengajak seseorang kencan. Batinnya bergemuruh dan perlahan memanggil nama itu,"om Farrel."

Tapi yang disapa tidakmenyahut, bahkan terkesan tidak peduli dan tidak mengenal sedikit pun. Dan iamenyesali pertemuan itu, bahwa Om Farel bukan lagi orang yang ia kenal.

"Where is Erna?
Aku pikir, ini kamarnya. Anda siapa?" Om Farelmemang tidak berubah, gaya bicaranya sangat lekat hingga ia ingin menangismengingat kenangan dulu, wibawanya berkaitan erat dengan Tante Erna, danmembuatnya menyadari satu hal, apahubungan Tante Erna dengan Om Farel?

Dan sebelum pertanyaan ituterjawab, terdengar suara dari kamar "V" itu yang membuatnya diam takberkutik.
***

"Dad, is that you?"

Kata-kata itu seperti bom atom yang menghantam pembuluh nadinya, Alfandi adalah anak dari Om Farel. Dan Tante Erna adalah istrinya. Dan bagaimana mungkin ibu tidak pernah tahu tentang hal ini? Ia teringat akan kejadian bertahun silam.

"Clarisssa, don't make some noise, she is sleeping." Terdengar suara laki-laki dari tempat ia tertidur. Sebenarnya hanya pura-pura agar laki-laki itu mendekat dan membuat ia memeluknya. Tapi sepertinya ibu hanya diam menyaksikan itu, dan membuatnya harus terbangun untuk melihat apa yang terjadi.

Dan pemandangan itu menggetarkan isi perutnya. Di umurnya yang masih sepuluh tahun, ia harus menyaksikan ibunya dan laki-laki itu berpelukan. Sangat mesra bahkan ia tak sanggup menghentikan. Tapi saat itu, ia berpikir bahwa laki-laki itu adalah ayahnya sehingga tersenyum dan melempar kerikil kecil hingga ibu terkejut.

Keterkejutan ibu maupun laki-laki itu bukan seperti suami istri. Melainkan ketakutan akan sesuatu yang terjadi. Tapi ia hanya tertawa sembari memeluk laki-laki yang bersama ibunya itu seakan tidak terjadi apa-apa.

"This is all my fault, forgive me." Laki-laki itu berucap sambil menggenggam tangan ibunya, lagi-lagi ia bersembunyi menyaksikan kejadian itu. Ia tidak ingin sesuatu terjadi lagi setelahnya, dan dilemparnya kembali kerikil itu dan masuk ke tengah laut.

"Lebih baik kita pulang." Hanya itu, hanya itu yang bisa diucapkan ibunya dan berlalu pergi disusul laki-laki itu.

Saat sampai di rumah, laki-laki itu mendadah pelan dan menggendongnya sejenak. Saat itulah ia bertanya, "Om namanya siapa?"

Sesaat tidak ada jawaban, tapi laki-laki itu mengusap kepalanya sembari berucap, "Om Farel, panggil saja begitu."

"All I need a little love in my life, all I need a little love in the dark—" sebelum lagu Rixton nada deringnya itu terdengar habis, ia segera mengangkat, "Halo?"

"Hai, sister, what's up? Hahaha, apa freaking man itu benar-benar memakanmu? Astaga. Aku khawatir Tante Erna akan menghajarku karena anaknya obesitas," ucap suara di seberang telepon yang tanpa ia lihat, tahu siapa pemiliknya, Edgar.

"..."

"Okay, just kidding, kau akan berkata tidak lucu setelah ini, sorry. Jadi, apa kabar? Bagaimana perkembangan Al... al.. fandi itu?" tanya Edgar sekali lagi yang masih tidak ia gubris. "Lis, are you okay? Aku hanya bercanda soal tadi, aku benar-benar--"

"I'm fine. Dan tidak usah aktifkan handphone saat aku membutuhkanmu." Ia mematikan sambungan ponselnya. Ia benar-benar bingung dengan semua ini, apa yang sedang direncanakan ibunya hingga ia harus tinggal serumah dengan Om Farel yang notabene pernah ada di masa lalunya.

Bahkan Edgar hanya menganggap ini semua lelucon, andai laki-laki itu ada di posisi dirinya, ia tidak mungkin merasakan serumit ini. Sambil mematikan lampu, ia mengedipkan mata, berharap saat ia bangun, ia menemukan rumahnya.

The Freak ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang