The Reason Why

13 2 2
                                    

"Kring...Kring...Kring..." Alarm itu benar-benar memekakkan telinga. Kepalanya pusingmendengar suara yang kian bising itu hingga membuatnya mematikan paksa alarm itu. Tapi baru saja ia tidur tenang, seseorang mengetuk pintu kamarnya. Ingin ia mengumpat kalau tidak saja suara itu membuatnya sontak berdiri. Tante Erna.

Sesaat setelah mengiyakan, ia mandi dan berganti pakaian sekolahnya dan turun ke meja makan di lantai sembari menatap Alfandi yang sudah rapi serta makanan yang sudah habis. God, sudah berapa lama aku terlambat? batinnya.

"Tidak usah khawatir, Lisa, Alfandi pasti mengantarmu, ia memang selalu menghabiskan sarapannya lebih awal." Tante Erna memang penebak yang handal, benar-benar di luar dugaannya, manusia aneh bisa berlaku lebih baik daripada manusia normal. Tidak, sebenarnya mereka sama-sama manusia.

Sepanjang makan, ia hanya memerhatikan Alfandi. Tidak ada topeng di sekitar wajahnya, tapi kacamata itu tetap melekat. Ia bertanya-tanya apa yang disembunyikan Alfandi.

Setelah ia makan, ia menyalam Tante Erna dan mengikuti Alfandi yang hanya diam masuk ke mobilnya. Sambil melambai pada Tante Erna, ia duduk di depan bersama Alfandi.
Alfandi menyetir dengan sangat hati-hati. Ditatapnya wajah Alfandi yang sangat kuat, rahang dan pipinya yang kuat, dan bibirnya yang sangat ... menggiurkan.

Maksudnya, berwarna merah tapi terkesan seksi. Dan ini cukup membuatnya mengalihkan pandangannya karena sebentar lagi imajinasinya akan lewat batas.

Dan satu fakta antara ia dan Alfandi adalah, mereka satu sekolah. Sebelumnya ia tak pernah melihat laki-laki itu datang ke sekolah, padahal seingatnya ia adalah seorang yang hampir mengenal seantero sekolah ini. Tapi tidak ada yang bernama Alfandi dan predikat orang aneh yang disandang Alfandi.

Dan ternyata, Alfandi tidak bergerak sebelum ia bergerak. Entah itu kebetulan, atau memang, Alfandi anak baru di sini? Tapi Tante Erna tidak pernah mengatakan hal itu. Saat diam menyelimuti, tiba-tiba Alfandi terjatuh saat berada di anak tangga menuju lantai dua kelasnya. Kelas XI IPA 2. Dan kacamata laki-laki itu terlepas. Seketika jantungnya berdegup kencang. Ya Tuhan... matanya...

Saat ia sibuk memandangi mata itu, Alfandi berdiri sendiri dan memakai kacamata kembali. Laki-laki itu menarik seringaian sedikit, seakan kata-kata yang terpikir olehnya tadi terucap begitu saja. Ini bukan dusta, laki-laki itu wajar menutup matanya. Karena ... matanya indah sekali. Sebening warna biru laut dan sangat langka ditemukan. Tapi Alfandi memilikinya.

Bahkan setelah sampai di kelas yang masih sepi dan ternyata masih jam setengah tujuh, Ia masih menatap Alfandi yang hanya menatap ke depan dan menyampirkan tasnya ke belakang. Dan Alfandi duduk di sampingnya di baris tengah.

Tidak berapa lama, ia mendengar suara-suara kian mendekat yang ia tebak suara Putri, perempuan paling ambisius dan akan melakukan apa saja demi mencapai keinginannya.

Perempuan yang lebih pendek dan mempunyai rambut sebahu itu seketika terpaku ketika melihat ia duduk bersama Alfandi, si murid baru.

"Well, this is surprise, actually," kata Putri sembari mendekat dan menatap lekat Alfandi yang hanya diam seribu bahasa. Riana yang berdiri di samping Putri semakin bingung dengan tingkah laku yang Putri lakukan.

"Menjauh darinya." Lidah ini, tanpa sadar membantah senyum licik yang terukir di wajah Putri. Ia tahu Putri hanya meledek agar emosinya terpancing seperti yang pernah terjadi sewaktu kelas sepuluh. Dan ia sangat heran mengapa Putri masih sekelas dengannya. Walaupun tidak bisa dipungkiri, Putri lumayan cerdas.

"Ah, ketemu lagi. Bukankah namamu tidak ada di ruangan ini? Ah, aku tahu. Mungkin kau hanya mengantar murid baru ini, 'kan? Kau tahu kuota di sini hanya dua puluh orang dan kau mengganti dirimu dengan dirinya," ucap gadis itu sinis sambil melipat kedua tangannya diselingi senyum licik yang tanpa sedar membuatnya gerah. Benar-benar jengah.

Tapi Putri masih berdiri dengan tas sampingnya. Diletakkannya tas itu tepat di samping kanannya dan sontak membuat ia benar-benar geram. Apa lagi yang akan dilakukan wanita ini?

Riana hanya mendelikkan bahu sembari meletakkan tasnya pula di samping kanan Putri hingga menyisakan satu bangku paling ujung. Giginya bergemeletuk dan tangannya gatal ingin menampar sesuatu dan memilih untuk mengetuk meja secara perlahan.

Dalam sepersekian menit itu, teman-temannya yang lain mulai berhamburan masuk ke kelas. Mengambil tempat duduk secara berebutan dan menimbulkan keributan. Hari ini sepertinya tidak ada baris berbaris karena cuaca yang lumayan mendung dan membuatnya harus menunggu lebih lama agar jam itu menunjuk pukul tujuh pagi. Hingga wali kelas mereka datang, dan duduk memperkenalkan diri. Bu Fuji. ***

The Freak ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang