Chapter Twenty Three : The Unconsidered Jailbird

13.2K 2.3K 135
                                    

Aku masih terjaga malam itu. Hanya berbaring di sudut kamar di lantai yang beralaskan kain tempat biasa aku tidur. Menatap lurus ke arah langit-langit kamar nan gelap, sambil terus memikirkan pembicaraan Jhonny dan Alex di ruang bawah tanah beberapa saat lalu.

Kalau Davine memang hanya menggunakanku untuk melaksanakan rencana apapun yang disusun oleh pemimpinnya dari balik dinding, maka itu berarti dia tidak benar-benar menginginkanku kembali.

Aku akan kehilangan tujuanku. Tidak ada gunanya aku keras kepala dan terus bertahan pada garis kehidupan yang sangat genting di dunia baru ini. Aku tidak cocok dimanapun. Karena kelompok survivor hanya akan menampung orang yang berguna bagi kelompok mereka.

Memikirkan hal itu saja sudah cukup membuatku sangat takut. Manusia tanpa tujuan maka akan sama dengan mati.

Kedua mataku perlahan tertutup, sementara tanganku mengusap-usap dadaku untuk menenangkan debaran jantungnya dan menghilangkan perasaan ini.

Aku tidak ingin mati.

Ketika itu, Alex di tempat tidurnya terdengar mengganti posisi. Membuatku menoleh ke arahnya. Dia bergumam pelan, hal yang dulu sering dia lakukan waktu luka di tubuhnya masih basah dan mengerikan.

Tanpa pikir panjang aku bangkit dari posisiku dan mendekatinya perlahan. Belum sempat aku duduk di tepi ranjang agar bisa mengusap kepalanya dan membuat dia tenang, matanya langsung terbuka. Tubuhnya tegang, seperti akan membunuhku.

"Mia?"

"I-iya ini aku. Kau baik-baik saja?"

Alex mengerang dan mengusap wajahnya. Kembali seperti dirinya yang biasa.

"Jangan suka mengendap-endap seperti itu! Kau bisa terluka kalau terus melakukan itu waktu aku tidur. Astaga..." Katanya kesal, lalu mengerang lagi.

"Maafkan aku." Bisikku pelan.

Dia masih memperhatikanku lekat-lekat, bahkan dengan penerangan yang minim sekali aku bisa melihat alisnya bertaut kesal.

"Apa yang kau butuhkan? Kenapa kau belum tidur?"

"Aku... aku tadi mendengarmu bergumam. Kukira kau bermimpi buruk makanya aku mendekat. Kau selalu bermimpi buruk waktu kau sakit." Ujarku gugup, masih terkejut karena kupikir dia marah padaku.

"Lalu kenapa kau belum tidur?" Tanyanya lagi, jauh lebih tenang. "Kesini, aku tidak bisa melihatmu." Dia memanggilku.

Aku mendekat dan membiarkan Alex menarikku ke pinggir ranjangnya. Dia sendiri tidak lagi berbaring dan ikut duduk.

"Aku tidak bisa tidur."

Dia mengusap matanya, "Kenapa?"

"Tentang Davine..." kepalaku menunduk, mataku terasa panas ketika mengatakannya. "Dan keberadaanku."

Alex terdengar menghela napas, "Sudah kukatakan itu masih kemungkinan. Besok, saat aku pergi ke Selatan, kita baru bisa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sampai saat itu tiba kau tidak perlu menyiksa dirimu. Dan yang terpenting jangan pernah mengendap-endap lagi saat aku tidur, aku serius itu berbahaya untukmu. Kau mengerti?"

"Maaf. Aku tidak tahu."

"Sekarang kau tahu." Katanya cepat. Mengusap wajahku yang ternyata sudah basah karena air mata. "Ayo tidur lagi, aku butuh istirahat untuk perjalanan besok."

Kepalaku mengangguk. Aku baru mulai bangkit dan akan berjalan ke arah tempat tidurku waktu Alex kembali menahanku, dan dengan santai mengatakan. "Disini saja."

Aku masih tidak tahu apa yang harus kurasakan. Alex tanpa beban menahanku agar tidak kembali ke sudut ruangan, dengan satu tangannya yang sangat berat dia sampirkan di balik tubuhku. Ini memang bukan kali pertama aku tidur di dekatnya, tapi waktu itu dia sakit. Tidak memiliki kekuatan apapun untuk memaksaku. Tapi sekarang, walaupun belum sembuh sepenuhnya dia tentu lebih kuat dariku berkali-kali lipat.

Behind The Wall (Behind The Wall Trilogy #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang