Chapter Fourteen: The Fire (part 1)

14.2K 2.5K 86
                                    

Sebenarnya masih belum puas sama hasilnya, tapi cerita ini sudah terlalu lama sendiri (?)

Maaf kalau chapternya sedikit di luar harapan.
Enjoy

***

"Alex..."

"Hallo, Mia..." Alex memiringkan kepalanya. "Terkejut bertemu aku?"

Mia kesulitan menemukan kata-katanya. Mulutnya terus terbuka dan tertutup tanpa ada suara yang terdengar. Sebenarnya Mia senang Alex baik-baik saja. Dia senang kalau perbuatan keji yang sempat dia lakukan hanya karena takut, tidak sampai menelan nyawa.

Alex tersenyum sinis. Kelunya lidah Mia disalah artikan oleh Alex sebagai pertanda gadis itu terkejut. Terkejut kenapa dia masih hidup.

Ekspresi Alex tampak seperti siap untuk menusuk Mia dengan benda tajam apapun di dekatnya.

"A...aku..."

"Selama ini kau bisa mendengarku kan?" Tangannya meraup dagu mungil Mia. Memiringkannya untuk melihat kedua telinganya lebih jelas.

"Dasar penipu. Tidak kusangka ternyata kau sudah bersekutu dengan Jimmy, aku mengerti sekarang." Alex melepas pegangannya dari dagu gadis itu dan mulai berdiri.

"A..aku minta maaf." Mia menatap Alex penuh penyesalan.

"Tidak tidak, aku mengerti." Alex melambaikan tangannya remeh, lalu menarik kursi kayu dan duduk di depanku. "Aku mengerti alasanmu melakukan itu, tidak perlu minta maaf. Semua orang pasti akan melakukannya jika ditawarkan sesuatu yang berharga."

"Benarkah?" Tanya Mia tidak percaya.

"Iya. Aku sangat mengerti." Dia mengangguk pelan. Senyumnya samar, seperti dipaksakan.

"Tapi bukan berarti aku tidak marah, dasar wanita busuk." Serta merta wajah Alex berubah bengis. Tangan berbalut sarung tangan itu meraup leher Mia, menghalangi tenggorokan gadis itu menyuplai udara.

Mata Mia melebar melihat Alex yang mengatupkan rahangnya. Dia tidak bisa melawan sekalipun ikatan tangannya terbuka. Alex marah, dan dia jauh lebih kuat. Satu-satunya hal yang menghalangi laki-laki dari membunuhnya adalah iming-iming hadiah dari Davine.
Tapi mungkin hadiah itu sudah tidak sanggup lagi menahan kemarahan Alex terhadapnya.

Mia terbatuk-batuk, wajahnya mulai merah ketika perlahan Alex menambahkan tenaga dalam cengkramannya. Air mata mengalir dari sudut matanya.

"Maaf." Mia menyampaikan penyesalannya sekali lagi, sebelum menutup mata dan menerima takdirnya.

***

Maaf

Bibirnya bergerak pelan membentuk kata itu. Membuat Alex lebih marah lagi. Dia salah menilai Mia sebagai gadis lemah dan polos. Alex bahkan malu untuk mengakui ketika sempat terbesit keinginan untuk melindunginya. Alex terlalu meremehkan gadis ini sampai menurunkan semua pertahanan diri yang dia jaga dan membuatnya tetap hidup hingga sekarang. Kenapa dia begitu bodoh sampai tidak melihat peluang yang ditemukan Jimmy si bedebah itu.

Wajah Mia terus berubah semakin merah.

"Gadis itu memang meracuni minumanmu. Tapi sepertinya tidak ingin melakukannya. Dia justru berusaha menyelamatkanmu." Penjelasan Baron kembali terngiang di kepalanya. Saat-saat dimana Mia berusaha mencegahnya minum, saat kepalanya terasa diangkat dan sesuatu masuk ke mulutnya. Membuat Alex memuntahkan sebagian racun.

Maafkan aku Alex. Maaf

Alex melepas cengkramannya dari leher Mia dan berdiri dari duduknya. Berjalan mondar-mandir untuk menenangkan diri sementara Mia terbatuk-batuk. Napas gadis itu sesak, lehernya sakit.

Alex mengambil pisau dan memotong tali yang mengikat tangan Mia dan membantunya duduk. Dia menangis takut. Rasa bersalah mulai menggerogoti hati Alex.

Dia berusaha membunuhku, lalu kenapa aku harus kasihan? Alex ingin tidak perduli, tapi kenyataannya dia justru mengusap-usap punggung kurus Mia.

"Ayo, bernapas pelan-pelan."

Mia tersedu namun patuh. Dia menarik napas perlahan mengikuti perkataan Alex.

"Berhentilah menangis. Aku tidak akan menyakitimu lagi."

Mereka tidak lagi bicara setelah itu, hanya menatap lurus ke langit-langit kamar yang gelap sementara Mia mengatur napasnya.

"Kau tidak tahu kalau itu bukan racun kan?" Tanya Alex heran. Dia masih tidak mengerti.

Mia menggeleng, masih terisak sesekali.

"Lalu kenapa kau menyelamatkanku? Kenapa berusaha mengeluarkan racunnya kalau niat mu ingin membunuh?"

"Aku tidak mau membunuhmu." Mia berbisik dengan suara serak. Alex menoleh kearahnya, sebelah alisnya terangkat tidak percaya.

"Omong kosong."

"Aku sungguh-sungguh! Aku menyesal karena bodoh mengikuti perkataan Jimmy."
Mia menatap Alex nanar, dia menangis lagi. "Aku ingin hidup, tapi tidak dengan penyesalan dan menjadi iblis."

Kini giliran Alex yang kehilangan kata-katanya. Dulu, dulu sekali ada seseorang yang juga selalu ingin berbuat baik dalam hidupnya. Yang selalu ada untuk Alex ketika mereka masihlah anak-anak polos dalam panti asuhan, dan ketika hidup mereka hanya diisi permainan dan perlombaan untuk mendapatkan kasih sayang orang dewasa. Mia terdengar persis seperti Helena-nya. Helena yang murni, satu-satunya semangat hidup yang dia miliki di neraka bumi ini. Dia sangat tidak pantas hidup di dunia yang kejam ini.

Alex mengalihkan pandangannya dari wajah Mia. Mengepalkan kedua tinjunya disisi tubuh. Kemarahannya beralih pada Jimmy seutuhnya. Sikap pasif-agresif Jimmy mulai membuatnya curiga, kalau ada hal lain yang diinginkan laki-laki itu darinya.

"Aku akan membalas si brengsek itu." Geram Alex, berusaha bangkit dari posisi duduknya disebelah Mia. Tapi mendadak, perutnya sakit lagi. Menjatuhkan sikap marahnya secara langsung.

"Alex." Mia berhenti menangis begitu mendengar Alex meringis. "Apa masih sakit?"

"Perutku masih sakit, tapi pantatku lebih sakit lagi." Jelas Alex, lalu meringis. Berusaha merangkak menuju ranjangnya. "Aku sudah dua puluh kali ke kamar mandi. Rasanya seperti habis disodomi dengan botol." Alex meringis mendengar perumpamaan yang diucapkannya sendiri. Namun tidak menemukan hal lain yang mampu mendeskripsikan perasaannya seakurat 'disodomi'.

Mia berdiri menatap Alex tidak tahu apa yang harus dilakukan. Gadis itu ingin membantu tapi juga tidak ingin memperburuk suasana jika ternyata Alex tak bersedia menerima bantuan darinya.

"Jangan diam saja, bantu aku ke kasur." Alex memudahkan keputusan bagi Mia. Dan tanpa buang waktu lagi, Mia langsung mengangguk dan membantu Alex berdiri. Dia membantunya berjalan ke kasur, dan juga membantu Alex untuk berbaring.

Perasaan benci itu perlahan lenyap dari Alex, setelah melihat ekspresi Mia. Dia hanya umpan. Tapi ini juga menyadarkan Alex kalau tidak seharusnya dia lengah.

Alex mengerti alasan gadis itu ingin membunuhnya. Jimmy ternyata jauh lebih jeli melihat kesempatan daripada dirinya. Mia yang lemah dengan keinginan hidup yang tinggi menjadikannya target manipulasi yang sangat empuk. Entah apa yang direncanakan Jimmy, tapi kalau itu hanyalah lelucon rasanya ini sudah terlalu jauh. Alex perlu berhati-hati padanya, karena kasus Mia ini juga menyadarkannya kalau tidak banyak yang dapat percaya bahkan di kelompok yang dia lindungi sekalipun.

"K... kau mau aku melakukan sesuatu?"

"Tidak usah." Suara Alex teredam bantal diatas kepalanya, "Pergi, beristirahat saja disana." Alex menunjuk sudut kamar.

Dia mengangguk.

"Dan satu lagi." sergah Alex sebelum Mia berhasil berjalan ke posisinya disudut kembali. "Aku tidak mau kau bicara dengan Jimmy lagi."

Mia terdiam. Sebelah tagannya terangkat menyentuh telinganya.

"Aku hanya akan mengatakan ini sekali, jadi dengarkan baik-baik. Kau tidak butuh perlindungan siapapun. Aku yang akan mengantarmu ke Balik dinding menemui Davine karena kau paketku. Cukup dengarkan aku, aku akan melindungimu."

Dan besok pagi setelah perutku sembuh akan ku balas bedebah itu. Tambah Alex dalam hati.

***

Behind The Wall (Behind The Wall Trilogy #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang