Chapter Fifteen: The Explosion (part 2)

17.1K 2.5K 150
                                    

***

MIA

Waktu aku terbangun, tubuhku sudah tidak lagi dalam kondisi meringkuk di sudut kamar untuk menunggu pagi. Seseorang memindahkanku ke atas ranjang, bahkan meletakkan bantal dibawah kepalaku. Tidak ada seorang pun di sini, pintu terlihat tertutup. Kamar terdengar sunyi. Hanya ada suara gemerincing lonceng dari setiap gerakan kaki kiri yang ku perbuat, mengingatkanku pada bel kucing peliharaan yang diikat di lehernya.

Aku meluruskan kakiku dan menoleh ke arah jendela. Hari sudah berganti. Cahaya matahari terlihat sudah menerobos masuk dari jendela, menerangi seisi kamar. Kamar ini tidak lagi semengerikan semalam, sesepi dan mencekam semalam. Aku tidak lagi memikirkan mati walau masih ditinggal sendiri. Perasaanku tenang, bebas dari perasaan bersalah setelah tahu Alex baik-baik saja. Walau masih ada kerisauan berapa lama aku akan bertahan hidup setelah ini.

Pintu kamar terdengar dibuka, dan Alex berjalan masuk dengan wajah datar sambil menyandang duffle bag yang ku ingat dia jinjing sepanjang jalan menuju wilayah Baron Rahmad. Dia menutup pintu kembali dan menghampiriku.

"Akhirnya kau bangun. Lapar tidak?" tanyanya duduk ditepi ranjang, meletakkan tasnya di lantai dan mulai menunduk untuk membuka kancingnya.

"Iya." Aku mengangguk. Tapi perhatianku tersita pada isi tas yang ada di bawah lantai.

Tiba-tiba saja Alex menoleh ke arahku, membuatku terkejut. Lalu tanpa aba-aba dia mencocokkan sesuatu ke dadaku. Memasangkannya begitu saja.

"Sudah ku duga ukurannya pas." Dia nyengir melirik hasil kerjanya. Butuh beberapa detik sampai otakku berhasil mencerna apa yang sedang dia lakukan. Aku langsung memukul tangannya menjauh, setelah dengan seenaknya dia mencocokkan cup bra, seringan memasangkan topi ke kepalaku.

"Jangan lakukan itu!" sergahku galak.

Tapi laki-laki itu hanya tertawa. Dia bahkan tidak marah ataupun meringis walaupun tangannya ku pukul.

"Aku hanya ingin memastikan, kalau ukurannya pas." Senyum miringnya membuatku mulai berpikir kesehatan pikirannya. Ku lirik dia tidak senang masih memegangi dadaku. "Karena, aku sudah ambil banyak yang seperti itu. Lihat." Dia mengeluarkan lebih banyak bra beraneka warna dari dalam tas, beserta beberapa potong pakaian dan celana perempuan. "Sayangkan kalau tidak muat."

Mataku membesar melihat semua pakaian dalam di atas ranjang. Hampir lima tahun menghabiskan waktu di sekolah asrama Katolik untuk anak perempuan, membuatku jarang bertemu dengan laki-laki. Sekarang, memikirkan Alex yang memilihkan benda-benda ini untukku, membuat otakku beku. Darah mengalir cepat ke wajahku.

"Ini untukku?"

"Untuk siapa lagi? untuk Carlos?" Alex memutar bola matanya dan melempar tasnya sembarangan ke dekat lemari. "Kau perlu banyak pakaian karena sepertinya, kau tidak akan sebentar berada disini." Alex merebahkan tubuhnya ke belakang. Kepalanya berada dekat dengan kakiku. Menatapku dengan posisi seperti itu.

Aku tahu apa yang dia maksud, aku lebih dulu mendengarnya dari Jimmy.

"Dari ekspresimu yang tidak terkejut, kau pasti tau apa yang ku maksud?"

Aku tidak menjawab. Tanganku terus bergerak dengan gelisah meremas seprai.

"Mereka mencurigai sesuatu. Apa mungkin kau juga tahu?"

"Aku tidak menyembunyikan apapun." Kepalaku menggeleng cepat.

Alex berbalik, kali ini terlungkup di atas ranjang. Tangannya yang berbalut sarung tangan menyentuh luka tusukan yang dia lakukan untuk menyelamakanku dari bisa ular beberapa hari yang lalu.

Behind The Wall (Behind The Wall Trilogy #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang