KUN FAYAKUN

208 8 11
                                    

Ghaza tidak sabar menunggu hari Minggu datang. Ia begitu senang dan berjingkrak ketika papanya mengabarkan bahwa perwakilan dari keluarga Alisha, ustadz Hamid, telah memberikan jawaban maksud kedatangan keluarga mereka tempo hari. Ia sampai melakukan sujud syukur ketika papanya mengatakan bahwa Alisha bersedia melanjutkan hubungan mereka berdua ke tahap yang lebih serius. Ini adalah sesuatu yang paling menggembirakan dalam hidupnya, melebihi ketika Ghaza berhasil menembus SNMPTN! Dulu.

"Beneran 'kan, Pa? Ma, kalian nggak becanda, 'kan?"

Papa menghela napas. "Sudah berapa kali kamu menanyakannya, kami dengar langsung Ustadz Hamid mengatakan itu." Ia menatap putranya heran.

Mata Ghaza berbinar namun ia masih menolak memercayai pendengarannya. "Aku nggak salah dengar, 'kan? Jangan-jangan hanya mimpi, akhir-akhir ini aku sering mimpi aneh." Ia mencubit lengannya sendiri dan mengaduh. "Sakit! Jadi, ini kenyataan ..." Ghaza mengusap bekas cubitan.

Mama tersenyum geli. "Sebegitu inginnya kamu menjadikan Alisha istri?"

Ghaza terkekeh. "Kalian sudah melakukan yang terbaik, Ma ... Pa ..." Ia memeluk kedua orang tuanya. "Terima kasih, seharusnya sejak awal aku nggak marah-marah karena perjodohan ini. Aku nggak akan membuat kalian kecewa." Ghaza berkata sungguh-sungguh. "Hanya itu yang bisa aku janjikan untuk kalian Mama dan Papa."

Papa mendengus. "Sejak dilahirkan kamu selalu mendapatkan yang terbaik, apa kamu nggak menyadarinya? Jangan membuat kami malu!" tukas papanya.

Ghaza menyeringai. "Aku akan selalu mengingatnya."

"Jadi, kami akan segera mendapatkan cucu?" Mama bersemangat. "Rasanya nggak sabar mendengar tangisan bayi di rumah ini. Kamu akan segera mengabulkannya 'kan, Za?"

***

Alisha berada di sebuah butik yang juga menyediakan segala macam pakaian batik khas kota Pekalongan. Butik rekomendasi Khumaira ini berada persis di sisi jalan Pantura, tidak jauh dari pusat grosir yang juga menyediakan bermacam jenis pakaian casual dan formal. Setiap hari, tempat ini buka di atas jam sembilan pagi dan tutup sebelum Magrib. Alisha memilih waktu sore karena bebas dari jam kuliah dan matahari pun tak terlalu terik. Lagipula, Khumaira hanya punya waktu senggang di jam tersebut.

"Itu bagus nggak? Moderen, tapi nggak meninggalkan ketradisionalannya. Aku rasa warnanya cocok di kulit kamu."

Alisha menoleh, mengikuti arah jari telunjuk Khumaira. Ia memandang kagum gaun kuning kunyit yang membalut manekin. Modelnya sederhana, beraksen gold di sepanjang tepian jahitan mulai leher sampai ujung lengan blazer, sedangkan bentuk bagian bawah gaun adalah rok melebar bercorak batik yang berlapis puring polos. "Kebagusan nggak kalau cuma buat acara lamaran?" tanyanya sambil terus mengamati gaun tersebut.

"Cuma???" Khumaira melotot. "Lamaran kamu bilang cuma??? Apa aku nggak salah dengar? Kamu sehat, Al?" Ia menyentuh kening adiknya dengan punggung tangan dan menggeleng setelah tak berhasil membuktikan apa yang ia khawatirkan.

Alisha mengangguk bodoh. "Cuma ..." ulangnya setengah sadar.

Khumaira mencibir. "Seleramu benar-benar payah, Al! Apa kamu mau memakai pakaian yang biasa untuk acara resmi sekelas lamaran? Calon suamimu itu pengusaha muda yang merupakan anak Pejabat!" Ia menggeleng heran. "Entah kenapa aku nggak percaya sama pilihanmu, jadi, biarkan aku yang memilih! Kamu hanya perlu diam dan menurut saja! Aku nggak akan membuatmu dan keluarga kita malu di hadapan mereka semua."

Alisha menggaruk kepala. Nggak ada gunanya mendebat Khumaira! "Kalau begitu, kenapa kamu nggak membelinya sendiri? Itu lebih praktis dibanding membuang waktu berdua di sini tapi kamu juga yang mengambil keputusan." Ia memprotes.

SECOND MARRIAGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang