5

62 3 5
                                    

"Tidak, tidak, tidak." Ophellia menggelengkan kepala cepat-cepat sambil mengencangkan seluruh sabuk pengikat pisau-pisaunya. "Kita harus segera pergi, Lynn. Pria itu—dua-duanya—mereka tidak dapat dipercaya."

Lynn memaksakan sebuah senyum. "A-aku mengerti ketakutanmu—"

"Aku tidak takut!"

"Tapi Sven dan Kazherion berada diluar untuk menjaga kita, tidak akan ada yang terjadi, Lia." Lynn menambahkan.

Sejak tadi ia terus berusaha menenangkan Ophellia yang terlihat kesal, meski tidak ada satupun perkataannya yang sampai pada telinga Ophellia. Emosi gadis berambut merah itu membuatnya kini tidak terlalu aman untuk didekati.

"Kau tidak akan bisa mengerti!" Ophellia mengacak-acak rambutnya. "Sudah jelas-jelas kalau ini adalah perangkap."

"Ta-tapi," Lynn memaksakan senyumnya. "Sudah lebih dari satu jam berlalu, dan tidak ada hal buruk yang terjadi, bukan?"

"Dan sudah kukatakan sejak tadi," sergah Ophellia. "Masalah bisa datang kapanpun, dan pria hantu itu sudah cukup menjadi masalah bagiku!"

Lynn menghela nafas. "Dia tidak akan mencelakai kita, aku yakin itu."

"Bagaimana kau bisa seyakin itu?!" Ophellia menggertakkan gigi, kemudian kembali menggumamkan bantahannya, dan tuduhan-tuduhannya atas pria bernama Ruen. Ophellia tak sedikitpun memberi Lynn celah untuk balas berbicara, atau pun memberi waktu bagi Lynn untuk memahami semua perkataannya.

Lynn hanya bisa menggelengkan kepala lemah sambil menghela nafas, dan akhirnya berbalik ke arah pintu. "Kaz? Sven? Apa semua baik-baik saja?" ujarnya lembut, gumaman Ophellia masih melatari suaranya.

"Ya, Lynn, Ophellia juga." Sahut Kazherion ditengah giginya yang bergemeletuk, "Selain kedua tanganku yang mulai membeku, semua baik-baik saja."

Selain suara tawa kecil, tidak terdengar lagi suara sahutan Lynn dari dalam. Kazherion kembali menyandarkan punggungnya dan menghela nafas.

"Sudah satu jam Ophellia merajuk dan bersikeras untuk pergi ke kota." Gumam Kazherion datar. "Aku bahkan tak tahu kalau ia bisa merasa takut sampai seperti ini."

"Aku bisa mendengarmu, Tsaeri bodoh! Aku tidak takut!" Seru Ophellia dari dalam.

Kazherion meringis dan terlihat menyesal.

Sven menghembuskan udara hangat melalui mulutnya, yang langsung berubah menjadi uap putih oleh udara dingin diluar. "Meski ia berasal dari klan pembunuh, ia tetap adalah seorang wanita." Gumamnya samar.

"Aku bahkan lupa kalau ia adalah seorang wanita."

Ophellia terdengar menggumamkan sesuatu lagi dari dalam, namun suaranya terlalu pelan dan jauh, jadi tidak ada satupun diantara ketiga pria yang berjaga di luar itu yang mendengar umpatan kesalnya. Kazherion harus kembali berpuas diri mengobrol dalam hati dengan semilir angin.

Sejak awal, Sven memang tidak banyak berbicara, atau bahkan bergerak. Hanya sesekali suara deritan logam zirahnya terdengar ketika ia menoleh atau menggerakkan tangan. Zirah besi itu sudah pasti terasa dingin, entah latihan seperti apa yang telah dilalui pemuda itu sampai ia tidak sedikitpun mengindahkan dinginnya potongan-potongan besi yang langsung menempel pada kulitnya. Kazherion bahkan tidak yakin kalau pemuda itu sempat mengedipkan mata, karena ia masih terus menatap punggung Ruen seolah tengah berusaha menggali lubang dibelakangnya.

Pria bernama Ruen itu menunjukkan hal yang lebih parah. Sedari tadi ia berdiri bahkan tanpa sedikitpun menggerakkan otot-ototnya. Padahal tidak mungkin ada orang yang dapat tahan berdiri di tengah malam dingin sambil bertelanjang dada. Melihatnya saja sudah membuat gigi Kazherion bergemeletuk riuh.

A Tale of Dravenia : Legend of the Phoenix Masters #1Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon