Sabtu, 1 Maret 2008
Karena persiapan try out hari Senin nanti, aku tidak berlatih bersama Romi di OPUS. Romi mengajakku belajar bersama di Blue Romance, namun aku menolaknya dengan halus. Aku butuh bicara dengan teman-temanku ini, setelah seminggu ini aku berusaha untuk tidak menceritakannya.
Kami berlima berkumpul di kamar Jihan, bersila di lantai membentuk lingkaran di sekeliling meja tempat kami menaruh buku-buku latihan kami. Aku mulai angkat bicara tentang keadaan Ayah dan permintaan Ayah untuk tidak meneruskan aplikasi beasiswa itu.
"Ayah lo sama sekali enggak ngasih lo pilihan ya? Dan kenapa harus bilang dia akan keluar dari rumah kalau lo nggak akan pilih jadi pengacara?" tanya Gilang sambil memeluk kedua lututnya.
Sarah terus mengelus-elus punggungku dengan tangan kanannya. Setiap kali ia melakukannya, rasanya aku ingin menangis. "Ya, gue merasa dia egois banget, sih. Dia nggak ngasih gue pilihan..."
"Sof, lo kalau mau nangis gapapa..." ujar Jihan lembut. Ia juga ikut mengelus-elus punggungku dengan tangan kirinya.
"...Tapi dia kayak gitu karena dia ngerasa dia nggak punya banyak pilihan dalam hidupnya, kan?" jawabku kembali pada Gilang. Ia hanya terdiam sambil menunduk.
Mereka semua terus mengatakan padaku untuk sabar. Aku tahu mereka tak bisa berikan banyak saran, karena kepelikan masalah ini bukan hanya sekadar masalah cita-cita yang tak disetujui orang tua. Cita-citaku, jika diteruskan, bisa membuat Ayahku tak punya harapan lagi.
Kami melanjutkan pekerjaan kami berlatih soal-soal Kimia yang akan diujikan pada hari Senin. Kami semua terdiam hingga Dimas memecah keheningan dengan bertanya "Romi udah tahu soal ini?"
Aku menggeleng, yang dibalas dengan "Serius?" oleh semua.
"Gue nggak tahu cara ngejelasinnya gimana..."
"Ya, lo bilang dong, Bokap lo sakit," celetuk Dimas terus terang, membuatnya dipelototi Sarah. "Lah, aku bener dong, Yang?" tanyanya kembali, meminta pembelaan.
"Gue akan bilang... Tapi gue punya waktu sebulan lagi untuk bisa terus main piano sama dia," jawabku.
"Ya tapi, dia harus tahu main pianonya ini agendanya bukan untuk dapatin beasiswa lagi. Ini karena lo nggak akan bisa sentuh piano lagi, sama kayak dulu-dulu sebelum informasi beasiswa itu," ujar Dimas. Ucapannya telak membuatku terdiam.
Ya, betul. Romi berhak tahu tentang semua ini. Tak adil baginya jika ia masih menganggap aku berlatih dengannya karena kami sama-sama ingin melamar di aplikasi beasiswa four hands piano itu.
Aku menghela napas, berat dan panjang.
"Gue ngerti sih. Mungkin, karena lo suka sama dia kan? Makanya lo jadi susah ngomongnya?"
Suara itu berasal dari Gilang.
Aku terdiam, memikirkan ucapan Romi. Selama ini, Romi menjadi orang yang memintaku mencoba terlebih dahulu. Aku bisa melihat kesenangan di wajahnya saat kami sepakat untuk bermain bersama. Dan juga, belakangan ini kami lebih sering mengobrol. Hal itu membuat segalanya lebih sulit.
"Iya, jadi sulit," jawabku sambil mengangguk. Jihan dan Sarah semakin merangkulku dengan erat.
Romi dan aku mengobrol banyak hal. Ia tak memberiku ruang untuk menjauh, terutama setelah ia selesai dengan Kikan.
Aku bisa membayangkan, jika hubunganku dengan Romi tidak seperti sekarang, akan lebih mudah berkata terus terang pada Romi. Jika ia masih bersama Kikan, akan lebih mudah mengatakan bahwa Ayahku sakit, bahwa semua rencana ini harus dibatalkan.
YOU ARE READING
Recalling the Memory [Completed]
Teen FictionRecalling the Memory "Dua pasang tangan, satu kisah cinta" Novel oleh Sheva Sofia hanya tahu satu cita-cita: bermain piano. Namun cita-citanya untuk bisa kuliah seni musik formal dan menjadi pianis dilarang oleh ayahnya. Pada saat-saat sulit itu...
![Recalling the Memory [Completed]](https://img.wattpad.com/cover/87554897-64-k468158.jpg)