"Aku senang kamu bisa menerimaku walau sebenarnya aku masih hidup." Aku berkata.

"Kita semua pasti pernah hidup dan semuanya sama, betul ?"

"Iya." Aku menatapnya sebentar. "Bagaimana cara agar kalian bisa kembali ke Tuhan ?"

"Gampang sekali. Satu kata amat sederhana yaitu bahagia."

"Kalau itu gampang, kenapa kau tidak dengan cepat kembali ke Tuhan ?" Aku bertambah penasaran.

"Aku bahagia saat melihat Lavis bahagia. Selama ini dia belum pernah bahagia. Aku belum bisa kembali karena itu." Dia menjelaskan. "Saat hidup, dia kehilangan semua yang ia cintai termasuk aku dan Ibu." Dia mengambil nafas sejenak dan duduk di bangku di taman desa.

"Aku meninggalkannya karena aku terbunuh saat ada pemberontakan. Aku melindungi dia dari tusukkan seorang musuh, aku berhasil menembaknya, tapi tombaknya menusuk tepat di jantungku. Aku melakukan itu untuk menyelamatkan Lavis." Dia menatap langit. "Pesan terkhirku untuknya adalah 'Teruslah berbahagia tanpaku.'"

"Bagaimana dengan ibu kandung kalian ?" Aku bertanya.

"Dia meninggal saat usia kita 10 tahun karena penyakit yang bernama TBC. Saat itu TBC belum ada obatnya maka saat usia kita sekitar 10 tahun dia sering ke sanatorium." Dia mengambil nafas. "Itu hanya untuk pencegahan saja." Dia memelukku. "Dia berpesan padaku untuk terus menjaga Lavis dan buat dia bahagia. Aku gagal membuat dia bahagia. Aku tidak tahu cara membuat dia bahagia."

Aku mengelus rambut Travis. "Kamu pasti bisa membuat dia bahagia." Aku tersenyum kecil. "Saat aku sudah pergi nanti, aku ingin kalian bahagia." Aku memeluknya erat. "Waktuku disini tinggal 9 hari. Sembilan hari itu waktu yang pendek bagiku. Maka dalam waktu 9 hari aku akan membuat kalian semua bahagia. Aku janji."

"Kamu bagaikan ibu kandungku." Travis memelukku tambah erat. Dia melepaskan pelukkannya dan menggenggam tanganku.

Dia menggeretku berjalan-jalan sampai sore hari datang. Kita ke bermacam tempat-tempat indah yang belum pernah aku lihat di desa ini.

"Apakah kau sadar bahwa desa ini adalah masa lalu desa yang kamu tinggali di dunia nyata ?" Travis bertanya.

"Aku sadar. Tapi aku belum pernah mendatangi tempat seindah ini." Aku kagum. Kita berjalan-jalan menikmati desa sampai menjelang malam. 'Memang ya... waktu disini berjalan lebih cepat.' Kita kembali ke rumah sebelum Mama mulai khawatir.

Sampai di rumah, kita segera makan malam. Stephanie ikut makan malam dengan kita semua. Suasana sepi saat kami makan. Ditengah-tengah menyelesaikan makanan Stephanie memulai pembicaraan, "Kalian tahu, bahwa aku ingin sekali Lavis segera melamarku ?" .

Mama, aku, dan Travis tersedak sedangkan Lavis memasang senyumnya. "Oh, ya ?!" Mama mencoba menahan jijik.

"Kalian tahu bahwa Lavis akan bahagia denganku. Iyakan Lavis ?" Lavis hanya diam tidak menjawab. "Lavis ?"

"Iya, aku akan bahagia denganmu." Lavis menjawab dengan senyum kecil sambil menatap wajah Stephanie.

Aku dan Travis tersedak kaget. "Lavis ! Maksudmu ap-" Travis berdiri dari kursi dan memukul meja makan.

"Travis, lebih baik kamu tenang sejenak." Aku berkata sambil menatapnya.

"Tenang bagaimana ?! Otak dia itu sudah dipengaruhi oleh Stephanie !" Travis berkata. "Lavis tolong bilang jika ini bercanda !"

"Ini serius." Dia menjawab dengan datar.

"Dasar kamu idiot." Travis berbisik dan keluar dari ruang makan.

Tanpa sadar aku mengeluarkan air mata. "Lavis ?" Aku memanggilnya dengan suara yang sangat lemah. Dia menatapku sebentar. "Selamat tinggal." Aku berdiri dan meninggalkan ruang makan. Sekarang diruang makan hanya ada Mama, Lavis, dan Stephanie. Lavis terkejut dengan perkataanku.

Aku pergi menuju taman belakang untuk mencari ketenangan sebentar. Aku duduk di bangku taman sambil menikmati angin malam yang dingin mengenai wajahku. Air mataku semakin banyak keluar. Entah kenapa rasanya sedih saat mendengar dia bersama orang lain padahal aku hanya sahabatnya.

Tiba-tiba ada tangan merangkulku dan menyenderkan kepalaku ke bahunya. "Sudah, semuanya akan baik-baik saja." Mama mengelus rambutku. "Mama tahu jika kamu mencintai Lavis walau kamu tidak bilang apa-apa masalah itu." Mama memelukku tambah erat.

"Andai saja aku tidak pernah ke dunia ini." Aku berkata dengan pelan.

"Jangan bilang begitu. Sebelum kamu ada disini, Lavis tidak pernah sebahagia ini. Kamu kunci kebahagiaan untuk dia tapi sayangnya dia memilih orang yang salah." Mama mengelus rambutku.

"Stephanie bisa membuat dia bahagia." Aku berkata.

"Bahagia yang hanya bersifat sementara. Dia bersama Stephanie hanya akan mendapat kebahagiaan yang bersifat sementara. Jika dia bersamamu dia mendapat kebahagiaan yang sebenarnya dan abadi. Mama bisa melihat dari ekspresinya saat bersamamu." Mama berbisik.

"Kamu sebenarnya adalah orang yang tepat untuk Lavis." Mama memelukku tambah erat. "Mama tahu bahwa cintamu ke Lavis sangat besar."

"Aku benar-benar mencintai Lavis dan mendengar dia bahagia dengan orang lain rasanya sangat sakit." Aku menangis tambah kencang. Mama hanya berdiam sementara menenangkanku.

"Ini sudah malam. Kembalilah ke kamar." Mama berkata. Aku menangguk dan kembali ke kamar.

Aku mengganti pakaianku jadi baju tidur dan duduk di kasur sambil memeluk bantal. Aku menangis pelan-pelan agar tidak ada yang mendengar.

Sudah satu jam aku menangis dan aku tertidur dengan perasaan yang sangat sakit.



Bagai Angin BerhembusWhere stories live. Discover now