BAB 22

910 27 1
                                    

Hari ke 25

Sejak hari itu semuanya kembali berjalan normal terutama hubunganku dengan Lavis. Iya, kita berdua menyatakan cinta satu sama lain akhirnya. Papa dapat cuti dari proyeknya selama beberapa minggu kedepan, Mama melakukan hal-hal yang biasa ia lakukan, dan tidak lupa Travis yang sekarang sering menjahili aku dan Lavis. 

"Hey ! Jangan ngalamun." Lavis menepuk pundakku untuk mengembalikan kesadaranku. "Kamu tidak apa-apakan ?"

Aku tersenyum kecil dan menjawab, "Aku tidak apa-apa."

Lavis merangkulku sambil melihat melihat pemandangan di balkon kamarku. "Pagi ini sangat cerah ya, kan ?"

"Iya." Aku diam sejenak dan melanjutkan, "Aku tidak percaya sampai saat ini."

"Kenapa ?" Lavis kebingungan.

"Aku tidak percaya saat usiaku 12 tahun aku bisa bertemu dengan kamu." Aku menggenggam tangannya. "Aku sebenarnya sudah sejak saat itu aku mencintai kamu. Kamu adalah cinta pertamaku."

Dia menatapku tersenyum. "Karena takdir. Kita berdua dipertemukan karena takdir. Tapi takdir kita terpisah di dunia yang berbeda. Jadi ingat, jika kita terpisah nanti dan kamu tidak dapat bertemu dan melihat aku lagi karena aku telah kembali, tetap jalani jalan takdir ini. Diakhirnya pasti kita akan bertemu lagi." Dia memelukku. Aku mencium pipinya dan tersenyum.

"Aku berjanji akan terus menjalani takdir ini. Tidak peduli banyaknya rintangan yang ada. Jika ada rintangan yang amat berat aku akan terus mengingatmu dan menjalani dengan tegar." Aku memeluknya tambah erat dan menatapnya.

"Yang mulia Pangeran Lavis dan Putri Gita~" Suara Travis yang menyebakan terdengar.

"Ada apa sih ?!" Lavis menjawab ketus ke Travis tapi masih memelukku.

"Maaf kalau mengganggu waktu romantis kalian berdua ya. Tapi Papa dan Mama ingin kalian ikut pesta minum teh di rumah kaca~" Travis tertawa dan keluar dari kamarku.

Lavis menarik tanganku dan berkata, "Kita tidak boleh telatkan Tuan Putri ?" 

Kita berlari menuju rumah kaca tempat dimana pesta teh. Dari luar saja sudah tercium bau teh yang wangi dan enak. "Wangi sekali." Kataku dengan pelan. Lavis hanya tersenyum masih menggeretku.

Saat sampai di tempat santai, terlihat Mama, Papa, dan Travis yang sedang asyik minum teh sambil berbincang. "Pasangan barunya sudah datang~" Goda Travis. Mama dan Papa tertawa melihat Travis yang menggoda kita berdua.

Saat aku ingin duduk Lavis menarikkan kursi untukku. Mama menuang teh yang berbau wangi kedalam cangkirku. "Ini adalah teh lavender." Kata Mama sambil tersenyum. "Baunya wangi dan rasanya manis." Aku meminum teh yang telah Mama tuang. Memang benar rasanya manis dan enak. 

Kita menghabiskan waktu berjam-jam disana untuk mengobrol dan bercerita. Melihat mereka jadi teringat dengan keluargaku. Aku tersenyum kecil sambil mendengarkan mereka yang sedang asyik bercerita.

"Gita kenapa dari tadi diam saja ?" Papa bertanya.

"Aku tidak apa-apa." Aku tersenyum.

"Kalau begitu cerita lah... Kamu belum pernah cerita apa-apa ke kita semua lho." Mama tersenyum. Aku terkejut dan tersenyum bingung karena tidak tahu mau cerita apa. Lavis menatapku sambil tersenyum dan itu membuatku semakin tidak konsen. "Gita ? Kenapa dari tadi diam saja." Mama tertawa kecil. "Ceritakan bagaimana di dunia manusia sekarang, apakah berbeda ?"

"Bisa dibilang berbeda jauh dengan ini." Aku menjawab.

"Apa perbedaannya ?" Mama bertanya dengan antusias.

"Kendaraan sekarang sudah memulai dengan mesin dan itu dinamakan mobil. Tekhnologi komunikasi juga sudah mulai maju. Tapi menurutku desain desa ini dikehidupan nyata hampir sama bangunan-bangunannya. Sebenarnya masih banyak lagi." Aku menjelaskan.

"Wah... Jadi enak ya hidup di zaman kamu." Mama berkata.

"Tidak juga. Justru di zamanku itu lebih kejam dari zaman ini." Aku tersenyum. "Semuanya mulai sibuk sendiri dan tidak memperhatikan sekitar mereka sehingga mungkin membuat orang lain terkucilkan karena mementingkan dunia mereka sendiri."

Mama menatapku dengan tatapan sedih. "Apakah kamu seperti itu ?"

"Tidak juga kok." Aku tertawa kecil. "Zaman kalian juga sangat enak." Aku melihat ke arah Lavis yang dari tadi sangat fokus saat aku berbicara. 

"Tumben sekali ada manusia yang betah hidup disini." Papa tertawa.

"Iya. Mama tidak percaya jika Gita sangat betah disini." 

"Iyalah, ada Lavis." Lavis berkata dengan bangga.

"Apa aku tidak ? Bagaimanapun aku juga sering menemani Gita saat kalian bertengkar." Travis ikut-ikutan. Aku hanya bisa tertawa melihat mereka. Lavis dan Travis berdebat tentang yang sering menemaniku saat aku sendiri.

"Sudahlah, hal itu tidak perlu diperdebatkan." Aku tertawa sambil melerai mereka yang sedang asyik berdebat.

"Tapi akhirnya Gita mau denganku." Dia mengejek Travis sambil tersenyum miring.

"Mungkin karena dia terpaksa..." Travis melihat aku dan melanjutkan, "Apa itu betul ?"

Aku menatap mereka berdua dengan tatapan bingung. "Tidak kok... Aku tidak terpaksa." Aku tertawa.

"Lihat !" Lavis menunjukku sambil tertawa dan merangkulku. "Paling tidak adikmu memiliki kekasih lebih cepat dari pada kakaknya."

"Sudahlah tidak usah dibahas lagi. Aku sih tidak apa-apa sendiri dan didahului oleh adikku." Travis meminum tehnya.

"Anak-anak, sudah cukup." Papa berkata sambil memegang kepalanya karena pusing mendengar Lavis dan Travis yang berdebat.

"Dengarkan sebentar Mama ingin berbicara. Empat hari lagi Mama dan Papa akan mengadakan pesta besar untuk Papa yang sukses dnegan proyeknya, jadi Mama ingin kalian bisa berdandan sebaik-baiknya pada pesta itu karena kita akan kedatangan tamu-tamu besar." Mama berkata dengan sangat antusias. "Mama juga membuatkan gaun pesta khusus untuk Gita." 

"Apa ?! Untuk aku ?!" Aku menunjuk dirinya sendiri.

"Kamu pasti akan cocok saat memakai gaun itu." Mama tersenyum. 

Kita mengobrol sampai sore hari di dalam ruang kaca. Saat sore kita kembali menjalankan aktivitas masing-masing. Seperti biasa juga saat malam kita berkumpul bersama untuk makan malam lalu tidur.

"Lavis." Aku memanggilnya.

"Iya ?!" Dia menghampiriku dan duduk di kasur.

"Aku cinta kamu." Aku tersenyum. "Sudahlah, aku hanya ingin mengatakan itu."

"Tidak ada pertanyaan seperti malam-malam biasanya ?" Dia tersenyum.

"Tidak ada untuk hari ini." Aku tertidur pulas setelah itu.



Bagai Angin BerhembusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang