BAB 14

945 34 0
                                    

Hari ke 14

Aku duduk di taman menikmati angin pagi. Duduk di bangku taman rumah ditemani novel yang aku baca. Nyaman sekali rasanya.

Saat membaca novel tiba-tiba ada yang memanggil namaku dan ternyata itu adalah Lavis.

"Ada apa ?" Aku bertanya.

"Aku butuh bantuanmu di perpustakaan." Dia berkata.

"Oke. Ayo segera kesana."

Kita berjalan ke perpustakaan bersama dengan Lavis yang berada di sebelahku.

Kita masuk ke perpustakaan dan duduk di kursi kayu. "Apa yang perlu aku lakukan ?"

"Temani aku disini." Lavis berkata dengan simple.

"Jadi kamu membutuhkan bantuanku itu ternyata bantuan untuk menemanimu ?"

"Diam. Lanjutkan saja novelmu itu." Lavis berkata.

Aku sedikit sebal dengan sikap dia yang aneh itu. Sikapnya berbeda dengan Lavis yang dulu.

"Lavis, aku lebih baik diam di ka-"

"Diam. Kamu akan tinggal disini sampai aku selesai membaca."

"Tapi aku bos-"

"Ikuti perkataanku." Lavis berkata.

Aku menatapnya sebal dan kembali fokus membaca novelku. 'Dasar. Memang semua laki-laki itu menyebalkan.' Aku berpikir. Aku benci harus terjebak dengan dia.

Tanpa sadar, saat aku membaca Lavis memperhatikanku. Aku tidak sadar karena terlalu fokus. Saat aku merasa diperhatikan, aku melihatnya dan dia kembali fokus ke bukunya.

'Aneh sekali.' Aku berfikir.

Sampai siang kita berada di perpustakaan. Aku merasa sangat bosan karena hanya bisa membaca buku.

"Ayo kita pergi ke desa. Aku mau jalan-jalan." Lavis berdiri dari kursinya dan menggeret aku untuk keluar rumah.

Kita berjalan cepat menuju desa. Selama diperjalanan, kita berdua tidak ada yang memulai percakapan. 'Kenapa rasanya canggung ya ?' Aku bertanya dalam hati.

"Kamu lebih baik nemulai pembicaraan." Kata Lavis.

"Kenapa kamu menyuruhku." Aku berkata.

"Suasananya canggung." Dia berkata.

"Baik." Aku mengucapkan dengan pasrah. "Bagaimana kabarmu ?"

"Kamu bodoh ya." Lavis berkata.

"Kalau itu menurutmu. Menurutku sih, aku tidak pintar tapi cerdik." Aku menjawab.

"Terserah kamu." Lavis berkata.

"Kenapa kita berjalan cepat ?"

"Terserah aku." Lavis menjawab. "Seru ya, saat jalan sama kamu." Lavis berkata.

"Menurutku tidak." Aku berkata.

Setelah itu kita sampai di desa. Kita berjalan-jalan dengan tangan Lavis yang masih menggenggam tanganku.

"Kenapa kamu masih menggenggam tanganku ?" Aku bertanya.

"Agar kamu tidak hilang." Dia berkata sambil menguatkan genggamannya. Tanpa terasa pipiku memerah. "Kamu sakit ?" Tanya Lavis. "Wajahmu memerah."

"Aku baik-baik saja." Aku menjawab.

Tiba-tiba Lavis menggeretku ke toko bunga. Dia mengamati beberapa bunganya. "Aku mau bunga carnation dalam bentuk buket." Lavis berkata ke penjual bunga.

"Untuk kekasihnya ya ?" Penjual itu bertanya.

"Dia bukan kekasihku." Lavis tersenyum. "Aku hanya ingin memberinya bunga."

Kita menunggu penjual itu sampai selesai membuat buket. Setelh buket itu selesai, Lavis memberikan buket itu ke aku.

"Terimakasih." Aku mengucapkan ke Lavis sambil tersenyum kecil.

Kita melanjutkan perjalanan kita. Aku tidak tahu dia akan membawaku kemana. Aku hanya menurut saja. Menurut lebih baik.

Dia memasuki sebuah toko buku. Saat kita masuk toko tersebut, Lavis menggeretku ke bagian buku fiksi.

"Kamu mau pilih yang mana ?" Dia bertanya.

"Bagaimana jika Swan Lake ?" Aku bertanya.

"Itu terserah kamu. Aku akan mengambilkan untukmu dan membayarnya." Lavis berkata sambil mengambil buku yang aku mau dan segera membayarnya.

Saat keluar, di depan toko sudah ada Stephanie yang menatap kita dengan tatapan sinis.

Dia berlari dan memeluk Lavis. "Lavis, apa yang kau lakukan dengan kekasih Travis ? Apa dia ingin berselingkuh ?" Stephanie berkata.

Lavis menatapnya dengan jijik. "Maksud anda apa ? Anda telah mengolok orang lain."

"Kenapa pakai kata 'anda'. Kita sudah dekat, pakai kata 'kamu' saja." Stephanie berkata.

"Sayangnya aku tidak mengenal kamu." Lavis berkata dan menggeret tanganku untuk segera pergi. Kita berjalan cepat lagi.

"Lavis, lebih baik kamu berbicara lebih baik ke Stephanie deh." Aku berkata.

"Untuk apa ? Dia telah mengolok sahabatku." Dia berkata.

"Tapi tidak begitu juga." Aku berkata.

"Aku lebih baik menyakiti dia dari pada menyakiti kamu." Lavis berkata.

"Yasudah lah, terserah kamu deh." Aku menjawab pasrah.

Setelah sampai rumah, dia mengantarku ke kamar. Aku merapikan diri untuk makan malam.

Setelah makan malam, aku mengganti pakaian jadi sebuah daster putih. Aku menunggu Lavis untuk datang ke kamarku.

Dia masuk kamarku dan duduk di sebelahku. "Aku minta maaf masalah Stephanie tadi." Dia berkata.

"Memang kamu salah apa ?" Aku bertanya.

"Aku terlalu kasar dengan dia. Aku tahu kamu sebenarnya tidak tega dengan sikapku memperlakukan dia, tapi dia sudah terlalu mengolokmu dengan kalimat yang bisa menyakitimu. Aku tidak ingin melihatmu sakit." Lavis menjelasan ke aku.

"Aku mengerti kok." Aku tersenyum. "Kapan kamu akan memberitahu keluargamu tentang identitasku yang sebenarnya ?"

"Aku akan memberitahu mereka saat waktu sudah tepat." Lavis tersenyum.

"Yang terakhir. Kenapa kamu baik denganku ?" Aku bertany iseng.

"Karena kamu sudah baik denganku." Dia tertawa.

"Memang aku berbuat baik apa terhadap kamu ?"

"Mau menemani aku tadi pagi walau sebenarnya aku mau isengin kamu." Lavis berkata.

"Dasar." Aku memukul bahunya.

"Sakit !" Dia mencibir. "Lebih baik kamu tidur." Dia mengacak-acak rambutku dan meninggalkan kamarku.

Aku segera tidur sambil membayangkan apa yang akan terjadi besok.




Bagai Angin BerhembusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang