Dream

18.3K 802 27
                                    

"Merdeka!"
Pekikan suara lantang itu memecah heningnya pagi di tengah-tengah Bumi Intanpari, kota kecil di kaki Gunung Lawu.

Semua masyarakat baik muda maupun tua berlomba mengucap syukur. Atas apa yang telah Allah SWT berikan kepada bangsa ini. Kemerdekaan, keberagaman, persatuan dan alam yang menyimpan sejuta kekayaan. Tanah surga katanya...

Layaknya orang-orang dewasa yg sudah paham betul dengan arti kemerdekaan, seorang gadis mungil ikut mengucap syukur. Derai air matanya jatuh tatkala merah putih itu berkibar di ujung tiangnya, tepat saat teks proklamasi itu kembali menggema. Deras sekali aliran darah nasionalisme mengaliri seluruh tubuhnya. Bibirnya terus tersenyum tipis. Angin sepoi-sepoi meniup rambut pendeknya. Setiap detak jantungnya adalah kata syukur.

"Hari ini tepat 60 tahun Indonesia merdeka" kata gadis itu dalam hatinya.

"Upacara selesai, Pembina upacara meninggalkan lapangan upacara, pasukan dibubarkan"

Suara protokol itu membangunkan Isnantara Ranandika dari rasa syukurnya. Tara, begitu dia biasa disapa.

Dihari yang spesial untuk Bangsa Indonesia dan juga untuk warga negaranya ini. Hanya ada upacara peringatan kemerdekaan untuk anak-anak sekolah. Begitupun di sekolah Tara.

"Ayo, nanti ketinggalan upacaranya" ujar Ayah Tara sambil memberikan helm kepada putri kecilnya.

"Bukannya mulai jam sepuluh ya, Yah?" Tanya Tara memastikan.

Jam tangan bergambar Doraemon di pergelangan tangan Tara masih menunjukkan pukul 08.30 WIB.

"Iya, tapi kamu harus lihat persiapan upacaranya" kata Ayah Tara yang terdengar sedikit panik. Menengok ke belakang untuk memastikan putrinya duduk dengan nyaman.

Tara mengangguk paham.

Jarak sekolah Tara dengan rumahnya hanya sekitar 1 Km. Di hari biasa ketika Ayahnya masuk kerja, Tara berjalan kaki bersama teman-temannya. Tapi untuk hari yang spesial seperti ini, Ayah Tara selalu mengantar dan menjemputnya.

Turun dari sepeda jadul tahun 80-an, Tara langsung berlari menuju kamarnya. Namun, langkah Tara terhenti ketika melewati televisi yang menyala di ruang keluarga.

"Tara" panggil Ibunya dari arah dapur. "Ganti baju dulu, Nak" lanjut Ibu Tara.

Tara menengok pintu dapur rumahnya. Tak nampak sesosok wanita yang dipanggilnya "Ibu", lalu berkata dalam hatinya, "Ibu tahu saja kalau aku sudah pulang".

Huft... Tara menghela napas dan bergegas menuju kamarnya.

Tak butuh waktu lama untuk berganti baju bagi gadis kecil berumur 10 tahun itu. Cukup 2 menit dan dia sudah berada di depan televisi.

Duduk terdiam dengan mata berbinar. Selalu seperti itu setiap tahunnya, di tempat yang sama, hari dan jam yang sama serta tayangan televisi yang sama. Gadis itu tak melewatkan satupun prosesi peringatan kemerdekaan yang disiarkan live oleh stasiun televisi. Memang itulah tayangan favoritnya juga Ayahnya. Sedang di hari spesial ini Ibunya selalu sibuk di dapur menyiapkan makanan peringatan kemerdekaan. Sederhana, cukup untuk keluarga dan beberapa tetangganya yang dirasa kurang atau dalam kata kasarnya, mereka yang tidak makan di hari merdeka.

Pembawa acara televisi masih sibuk memberikan penjelasan mengenai persiapan apa saja yang sedang berlangsung di Istana Negara, tapi Tara tidak peduli dengan semua kata yang terdengar oleh telinganya. Sebagian besar otaknya melalui matanya terus fokus pada setiap detail pasukan yang berbaris di tengah-tengah lapangan. Banyak hal menarik di sana. Barisan ABRI-POLISI.

Tak hanya itu, pasukan putih yang sesekali masuk ke dalam kamera juga membuatnya tertarik dan melupakan dunia sekitarnya. Pasukan yang nantinya akan mengibarkan Sang Saka Merah Putih diiringi oleh lagu kebangsaan Indonesia Raya. Ya, Pasukan Pengibar Bendera Pusaka atau PASKIBRAKA.

Macam baru beberapa menit Tara duduk terpaku di depan televisi, nyatanya sudah 1 jam.

Jam yang berdetak di atas dinding rumah Tara sudah menunjukkan pukul 10.00 WIB. Upacara bendera peringatan hari kemerdekaan RI ke 60 di Istana Negara telah dimulai. Mata Tara kian tak mau berpaling.

"Lihat itu, Nak" Ayah Tara bersuara dari belakang Tara. Memang sejak tadi beliau duduk di sofa yang berada tepat di belakang Tara. "ABRI--nya gagah-gagah".

Tara terdiam tapi matanya mencari barisan orang-orang yang disebut oleh Ayahnya. Dan dapat. Pasukan bersenjata itu berada di tengah-tengah lapangan, berdekatan dengan taruna-taruni.

"Mereka yang menjaga NKRI, jauh dari keluarganya, kecil uang yang di dapatnya tapi mereka rela berkorban jiwa dan raga untuk maju digarda terdepan pembela bangsa. Mereka orang-orang hebat yang Allah SWT ciptakan untuk Indonesia" ujar Ayahnya dengan nada yang lembut.

Mata Tara mulai berair di ujungnya. Entah bagian mana yang membuatnya terharu.

Bayang dan angan Tara melambung jauh, tinggi setinggi-tingginya. "Kalau saja suatu saat aku bisa memakai seragam dan menggenggam senjata seperti itu, berada digarda terdepan bangsa juga rela mati demi keamanan bangsaku" katanya dalam hati. Sampai tak sadar senyumnya semakin lebar.

Sekian menit bayang dan angannya pergi, dia kembali ke dunia nyata. Meski barisan berseragam dan bersenjata itu tetap menjadi fokus utamanya. Bagi Tara saat ini, hanya itu yang menarik.

Tak lama, pasukan yang dinantikannya akan segera keluar dari sarang. Pasukan putih yang diimpikan banyak remaja.

Langkah derap kaki pasukan itu terdengar mantap. Langkah semacam itu langkah tegap namanya. Cantik dan ganteng yang berada di dalamnya. Apalagi dengan balutan seragam putih dan peci hitam dengan pin Garuda. Pasukan itu benar-benar luar biasa.

Bola mata Tara semakin membulat, binar serta sinarnya teramat kuat. Pasukan putih Pengibar Bendera itu benar-benar telah menghipnotis Tara.

"Lihat, Nak" Ayah Tara kembali bersuara. "Mereka itu Pengibar Bendera dari seluruh provinsi yang ada di Indonesia. Mereka adalah orang-orang pilihan. Mereka adalah anak-anak yang pintar. Betapa bangganya orang tua mereka" Beliau terdengar penuh harap. Kemungkinan beliau membayangkan sesuatu yang indah di masa depan.

Meskipun matanya fokus pada pasukan putih, Tara tetaplah seorang putri yang mendengarkan apapun yang Ayahnya katakan. Setiap kata yang terdengar tanpa basa-basi langsung masuk ke dalam hati dan otaknya. Membangun sinergi tidak terduga.

Lamunan Tara kembali melayang. Membayangkan setiap kejadian. Dengan sebuah kata yang selalu terngiang "Seandainya kelak aku..."

17 Agustus 2005 telah lahir dengan suci. Sebuah mimpi besar milik gadis kecil yang sangat mencintai negeri ini.

Entah sadar atau tidak, seorang Ayah telah mengantarkan little pricess-nya untuk bermimpi. Bukan hanya satu mimpi. Tapi dua mimpi yang memiliki ikatan.

Mimpi yang dibangun dari usia dini adalah motivasi terbesar untuk sukses. Itu yang sedang banyak dibicarakan orang.

- Bermimpilah setinggi langit, karena saat kamu terjatuh, kamu akan jatuh diantara bintang-bintang - Bung Karno

***

Baru belajar, harap maklum, dan cuma buat menyalurkan hobby juga melepas semua beban dari mimpi kok 😉
***

MY SOLDIER : My Last Dream (Complate)Where stories live. Discover now