10. Let me know even this will hurt me

4.8K 217 0
                                    

What?!

Menikah?!

Dengan lelaki itu?! Yang benar saja!

Namun, entah mengapa hal itu juga terasa benar, tapi juga merasa salah. Benar, karena aku seolah merasakan apa yang ia rasakan. Setelah kami tidur bersama, sudah seharusnya kami menikah saja sekalian. (Sebagian dari otakku yang waras menyarankan hal itu. Tapi, aku merasa sedang tidak waras saat itu.)

Salah, karena biar bagaimanapun jika kau diminta untuk menikah hanya karena meniduri kakak dari saudara iparmu akibat efek samping minuman keras, well, aku tidak mau. Hingga beberapa hari, aku hanya bisa termangu memandangi kamar ini.

Dan aku terus bertanya-tanya kepada diriku sendiri tepatnya, apakah aku sudah gila? Masih setengah waras? Ataukah ini hal yang tepat untuk dilakukan?

Menikah? Apa ada yang salah dengan telingaku? Otakku?!

Mungkin aku yang salah mendengar dengan pembicaraan mereka, kemudian otakku memproses hal itu dengan salah juga. Mengartikannya sebagai pengkomitmenan diri kepada orang yang bahkan belum kau kenal dengan baik. Demi Tuhan, aku dan dia hanya mengenal beberapa minggu ini. Apa-apaan itu?!

Harus kuakui jika dia memang tampan. Wajar saja aku sedikit banyak tahu tentangnya. Mengingat pria itu adalah salah seorang taipan yang paling disegani, juga bujangan yang paling diincar di negara ini. Selain karena kemampuan otaknya yang jenius dalam bidang bisnis, tetapi juga kadar ketampanan yang bisa dibilang di atas rata-rata.

Aku tidak bisa memungkiri, jika aku langsung jatuh hati kepadanya saat pertama kali kami bertemu. Di balik sikapnya yang dingin dan terkesan antipati, dia bisa bersikap manusiawi. Bisa berbicara layaknya manusia, seperti pria normal di hadapan wanita. Bahkan juga bisa membuatku merona hingga ke telingaku.

Kami hanya duduk-duduk di kursi café. Dia ingin kami bertemu, lalu duduk berdua untuk 'mengobrol'. Sembari menyesap minuman yang kupesan, dia mulai mengajakku berbicara. Awalnya hanya topik ringan tentang siapa diriku-dia sudah tahu dengan jelas 'kan? terutama dengan tubuhku, dan apa saja yang kulakukan-aku tidak bisa mengatakannya dengan jelas, biar dia mencari tahu sendiri. Aku pun melakukan hal yang sama, bertanya kepadanya.

Sejujurnya, aku tidak ingin berlama-lama di sini. Entah hanya perasaanku atau bagaimana, aku merasa nyaman ketika bersamanya seperti ini. Itu membuatku bergidik mengingat kebiasaanku tidak bisa duduk lama dalam jangka satu waktu bersama orang lain, apalagi dia hanyalah orang baru yang akan memasuki kehidupanku.

"Apa kau menyesal?" tanyanya tiba-tiba setelah mengaduk minuman yang sedari ada di hadapannya tanpa ada niat untuk dihabiskan.

Aku menengadahkan kepala, berlama-lama menikmati wajah aristokratnya, "Haruskah?"

"Mungkin saja. Aku merasa seperti itu," ujarnya. Dia tidak yakin dengan apa yang baru saja dia katakan. Lebih merupakan perkataan kepada dirinya sendiri.

Aku masih ingin tahu apa yang sebenarnya ingin dia katakan, "Kenapa kau merasa seperti itu?"

Dia mendengus perlahan, lalu menatap ke arah lain, "Maafkan aku, karena membuatmu merasa terjebak dalam pernikahan ini."

Lalu dia menghela nafas perlahan. "Aku tahu ini sesuatu yang sejak dari awal tidak kau inginkan. Setidaknya, aku ingin saat putraku lahir, dia akan mewarisi namaku. Aku hanya ingin ketika dia terlahir, dia tidak akan dicap sebagai anak haram."

Aku menoleh padanya, tidak percaya dengan apa yang barusan kudengar dari bibirnya yang seksi itu. "Kau berbicara seolah-olah aku sedang hamil."

Aku berdecak sebal. "Dan apa tadi yang kau katakan? Putra? Memangnya kau sudah tahu jika dia laki-laki?"

Huh. "Hebat sekali! Mungkin lebih baik kau menjadi cenayang saja daripada melakukan hal yang kau kerjakan sekarang. Mnungkin dnegan begitu uangmu terisi di rekeningmu lebih cepat," cerocosku.

"Aku hanya perlu menegaskan maksudku. Apapun jenis kelamin bayi kita nanti, aku tidak peduli. Yang aku inginkan hanyalah bahwa calon anakku kelak harus terlahir dalam ikatan pernikahan yang sah. Aku tidak ingin dia dicap sebagai anak haram," terangnya.

Aku sandarkan kembali punggku ke kursi, terhenyak akan pernyataannya yang frontal itu, "Dan mengapa kau berpikir aku mau menikah denganmu?"

"Karena menurutmu itu hal yang benar, yang sudah seharusnya kau lakukan."

Menaikkan salah satu alisku, dan bertanya kembali, "Apa yang membuatmu berpendapat seperti itu, sedangkan kita-anggap saja baru saja bertemu? Bukan. Kita memang baru saling mengenal."

Tatapannya tersirat spekulasi untuk menilai apakah dia perlu mengatakan hal yang penting itu atau tidak, "Apa aku pernah mengatakan, jika-katakan saja, aku sudah mengenalmu lebih dulu?"

"Apa? Apa maksudmu dengan kalimatmu barusan?" Aku terbata dan tubuhku serta merta menegang mendengar pernyataannya.

"Lain waktu aku akan menceritakannya padamu, Dear," dia mengatakannya dengan sesantai mungkin sambil menyeruput kopinya..

Aku mendengus, dan menolehkan wajhkuke arah lain, terdiam mendengar penuturannya itu. "Aku tidak mempercayainya, kau tahu."

"Aku tahu ini sulit, dan kau boleh percaya, boleh tidak. Tapi, aku memang telah mengenalmu sebelumnya."

***

tbc

One Night Marriage (unedited)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang