IV

5.9K 305 3
                                    

|Let This Go as Far as the Fallen Star|

---

Upacara pemberkatan tadi dilanjutkan dengan pesta kebun dan prasmanan untuk tamu yang hadir. Kebanyakan dari mereka adalah saudara jauh, kerabat dekat, serta beberapa teman, serta kolegaku dan Lizzy.

Namun, di hari bahagia ini aku hanya sendiri di sini, berdiri di pojokan dan menjadi pengamat yang baik. Nicolas... Entahlah, pria itu pergi lagi. Aku mencarinya sejak tadi dia berkata akan pergi ke toilet.

Aku tanpa pasangan tentunya. Di pesta yang cukup ramai, aku merasakan apa yang orang sebut dengan kesepian. Memandang ke arah pengantin yang sedang berbahagia di sana, menari dan tertawa. Ada secercah rasa iri yang hinggap di hatiku.

Dari sini juga, bisa kulihat Lizzy melambaikan tangannya yang menggenggam sebuket bunga pengantin ke arahku. Baby breath, tulip, white roses, dan calla lilly, dibalut dalam pita putih dan pink. Sangat kontras dengan kulitnya yang sewarna madu.

Senyum cerah tidak pernah pudar dari raut wajahnya yang berseri-seri. Sorot matanya yang penuh cinta memancarkan kata bahagia. Mereka menarikku untuk mendekat. Beberapa saudariku juga menarikku untuk pergi bersama mereka. Hanya aku saja yang tak ingin bergabung.

Aku tak ingin merusak kebahagiaan itu dengan wajahku yang terlihat suram. Aku menyesap champagne mahal yang tinggal sedikit, ikut tersenyum dan membalas lambaian tangannya.

Aku ikut bahagia untukmu, batinku.

***

Diam-diam aku kembali ke dalam rumah, berjalan seakan tanpa tujuan. Aku sedang memikirkan banyak hal. Kakiku menapaki lorong panjang tanpa melihat ke depan sama sekali. Hanya terus menunduk dan sibuk dengan pikiranku sendiri. Dalam kepalaku berputar banyak hal yang enggan untuk kukatakan. .

Dengan pergi tanpa pemberitahuan seperti itu, kupikir tidak akan ada yang menyadari bahwa aku sudah meninggalkan pesta. Dalam perjalanan ke kamar, tanpa sengaja aku menabrak suatu benda keras, ada bunyi gemerisik yang tidak biasa. Aku membuka mata perlahan.

Kain? Sejak kapan di dinding ini ada kain yang terpasang? Kemarin tidak ada yang memasang apa pun di sekitar sini. Juga tercium bau yang aneh. Apa tembok ini baru saja dicat ulang?

Seingatku, tidak. Baunya sungguh menggiurkan. Aroma yang menguar menggoda indra penciumanku. Campuran antara aftershave, cedarwood, bergamot dan musk. Parfum mahal. Hanya itu yang bisa aku simpulkan dari aroma yang sekilas bersandar di hidungku.

Aku meraba tembok di depanku. Otakku berjalan lamban kali ini. Sebeginikah efek minuman yang kutenggak? Membuat tingkat intelejensiamu menurun drastis?

Heh? Tidak datar? Tanganku melaju ke atas dan sesuatu yang semakin terasa hangat dan membentuk potongan ... oh!

"Sampai kapan kau akan menempel seperti kotoran, hm ...?" Suaranya lembut, tetapi dingin dan terkesan arogan.

Apa?!

Aku terkejut, tentu saja. Kurasa aku sudah gila mendengar tembok yang bisa berbicara. Lagi-lagi rasa mabuk menggayutiku. Nada suara sinisnya seperti itu sungguh amat menyebalkan. Terlalu lama dalam kesendirian, semakin membuat kewarasanku mulai menipis. Dan aku semakin tak peka.

Sial.

Aku mendongakkan kepalaku perlahan-lahan untuk memastikannya. Holysh**!! Di depanku kini berdiri si tembok yang bisa berbicara tadi. Lengannya kini bertaut. Tatapannya seolah mampu menguliti setiap senti tubuhmu. Iris gelapnya mampu menarik jiwa terdalamku.

Kerah kemejanya sudah separuh terbuka. Dalam warna serba hitam, dia seolah sosok malaikat pencabut nyawa. Kontras dengan watna kulitnya yang berwarna zaitun.

Aku tidak mengenal sosok yang sedang berdiri di hadapanku ini, tetapi seakan sudah pernah bertemu dengannya. Pria yang aku tidak tahu darimana asalnya.

Iya, sepertinya aku pernah melihatnya, tapi di mana?

Di mana, ya? Aku mencoba mengingat kembali, tapi tak ada dalam kotak sampah memoriku. Ah, aku ini memang benar-benar pelupa. Terlalu banyak berbaur dengan benda mati membuatku tidak mudah mengingat nama dan rupa makhluk selain keluargaku.

"Ma-ma-maaf ... a-a-aku tidak melihat ke depan," aku tergagap mencari alasan, sambil membungkuk.

Hanya itu yang sanggup keluar dari mulutku. Lidahku terlalu kelu untuk mengucapkan hal lainnya. Aku tergesa-gesa pergi dari hadapannya ketika dia masih menunjukkan raut wajah jengkelnya.

"Permisi!" teriakku sambil berjalan.

Setelah sampai di koridor, aku berbalik ke arah kamarku di lantai atas. Hanya untuk bertemu dengan Nico kembali yang sedang berdiri di samping pintu kamarku.

Napasku tersengal dan aku memegang dadaku, berusaha menenangkan debaran yang timbul. Entah setelah aku berlari atau karena pertemuan dengan pria sombong itu.

"Kau dari mana saja, Nic? Aku mencarimu dari tadi?" omelku. Aku sendirian dan menjadi objek bulan-bulanan sepupuku, pria berengsek ini malah berdiri santai. Sialan sekali!

Nico mengamatiku. Tatapannya tak bisa kuartikan, selain pertanyaan yang jelas terpampang di wajahnya. "Kau habis ngapain sih?"

Aku mendiamkan ocehan pria itu. Lalu membuka kunci kamar yang kutempati. Dan menepi untuk mempersilahkan Nicolas masuk. "Nice view!" tanggapnya melihat isi kamarku.

Bola mataku berputar mendengar pernyataan itu. Memangnya kamar yang dia tempati tak seperti ini?

"Kau mau apa, Nico? Kupikir kau sudah pergi," tanyaku ragu saat dia berada di depan jendela besar dengan pemandangan ke bawah. Aku melihatnya sekilas tadi, saat dia menyelinap di antara kerumunan tamu yang datang.

Nico tak mengindahkanku sama sekali. Dalam diam dia berjalan ke arah mini bar di kamar suit-ku. Jasnya sudah dilepas dan tersampir di sofa depan televisi besar.

Pria itu juga menyingkap lengan kemejanya hingga ke siku, menampakkan guratan tinta hitam yang aku tahu hingga ke bahunya yang kokoh. Rambut yang biasanya tersisir rapi, kini acak seolah terkena angin.

Dia mengambil wiski di rak, menuangnya ke dalam gelas, dan memasukkan beberapa blok kecil es.

"Kau mau?" Nico menawariku sambil lalu. Kemudian dia duduk di sofa, menyandarkan punggungnyanga,  dan merebahkan lehernya di bantalan. Wajahnya terlihat pucat dan lelah.

Kurebahkan tubuhku yang lelah entah kenapa lebih terasa hari ini. Mungkin pengaruh pernikahan saudariku atau karena bersilang jalan dengan pria itu.

"No, thanks," jawabku singkat. Bicara soal kejadian tadi membuatku tiba-tiba ingin minum lagi. Kali ini yang lebih ringan.

Mungkin cukup satu gelas saja kali ini. "Tuangkan untukku, please."

Aku melihat salah satu alis Nico terangkat dan berkerut dalam tanda tanya saat tanganku terjulur memintanya.

***

One Night Marriage (unedited)Where stories live. Discover now