Sangatlah menyedihkan apabila malaikat sepertinya berbuat dosa karena seorang manusia.

Azrael tak tahu apa yang dia baru saja perbuat. Tetapi dia sangat tahu bahwa kuasa Tuhan melebihi kehendak siapa pun, termasuk dirinya sendiri. Jadi jika dia bisa membuat perubahan bagi Carolina, Tuhan bisa saja menggunakannya sebagai benang baru bagi rajutan takdir yang telah ada, kendati Azrael sama sekali tak membenarkan tindakannya. Sekali lagi dia memohon ampun terhadap tindakannya, dan dia merasa bahwa dia harus menghabiskan seluruh sisa hidupnya dengan memohon ampun kepada-Nya karena ini.

Saat itulah Azrael mendapat tatapan mata-mata yang prihatin dan penasaran; seluruh pengguna kendaraan menepi dan mengelilinginya. Tak lama, sepasang mata cokelat pun menghadang di atas wajahnya. Azrael mengayunkan kepalanya ke depan untuk memperhatikan keadaan Carolina yang saat itu bergetar kedinginan, basah kuyup, dan terlihat luar biasa ketakutan.

Carolina berteriak, lantas Azrael menegakkan tubuhnya dan menggenggam pundak gadis itu kuat-kuat.

"Aku baik-baik saja, tenanglah!" seru Azrael padanya ketika Carolina menangis tersedu di hadapannya.

"Bagaimana bisa kau baik baik saja?? Kau melindungiku dari gedung setinggi itu!!" Carolina membantah dan memegang wajah Azrael cemas. Azrael membiarkan tangan gadis itu memeriksa tulang-tulang pada wajahnya dengan sirat mata terluka. Begitu Carolina selesai memeriksa kondisi pemuda yang sama basahnya dengan dirinya itu, Carolina masih sesenggukan tak percaya.

"Aku baik-baik saja, Carolina." Azrael berbisik sambil menyimpulkan senyuman tipis, pertanda bahwa dia tak lagi merasakan sakit. Entah mengapa, seluruh nyeri itu menghilang, seperti rambatan kilat yang menyambar menara pencakar langit yang kemudian teredam dan musnah di dalam bumi. Azrael segera memapah Carolina dan berdiri di antara khalayak yang terpaku mengerumuni mereka, menatap dengan iba. Azrael bisa saja kebal terhadap musibah macam apapun, tetapi Carolina hanyalah gadis manusia dengan tubuh kurus yang lemah.

"TOLONG PANGGILKAN AMBULANS! GADIS INI BUTUH PERAWATAN SEGERA!" Azrael berteriak, dan pertolongan itu tiba tepat pada waktunya.

*

Suara sirene ambulans menemani mereka melintasi New York dengan cepat walau kota itu sedang tidak terkena macet saat ini. Ambulance stretcher tempat Carolina tidur ikut bergoyang-goyang dan mengguncang tubuhnya yang pucat-pasi. Selang oksigen yang melingkupi hidungnya mampu membuat syoknya terkendali, tetapi Carolina tetap meratapi pemuda pirang yang duduk di sampingnya itu, sang penyelamat yang tak pernah dia harapkan. Bola mata Carolina masih gemetaran melihat sosok pemuda yang telah jatuh berpuluh meter bersamanya dan entah bagaimana sanggup melindungi Carolina dari maut yang diinginkannya. Mata gadis itu menyipit miris, tak tahu dia harus berterima kasih atau justru marah karenanya.

Azrael tersenyum ketika dia menerima tatapan itu. Tangan hangat malaikat itu menggenggam jemari ramping Carolina, membuat gadis itu semakin heran dengan kepedulian yang ditunjukkannya. Azrael mulai mengelus jemarinya dengan lembut untuk menenangkannya. Carolina mengira-ngira bahwa saat itu Azrael tengah membisikkan kata-kata penenang yang tak dimengertinya, padahal malaikat itu tengah mengomat-ngamitkan doa-doa keselamatan padanya.

Benak Carolina mulai meluapkan berbagai tanda tanya. Gadis itu berpikir apakah dia benar-benar sedang bermimpi, bukan karena dia selamat dari keputusasaannya, tapi karena seseorang telah menyelamatkannya. Terutama ketika dia sama sekali tak mengenal orang asing yang sedang bersamanya di ambulans itu. Carolina mulai beranggapan jika pemuda itu adalah kerabat jauhnya, tetapi dia pikir itu tidak mungkin, karena dia tak pernah melihat pemuda itu di seluruh acara keluarga yang pernah didatanginya ketika orangtua Carolina masih bersatu. Tetangganya pun tidak mungkin--mereka semua selalu sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing, dan kebanyakan urung mengunjungi kamar Carolina untuk sekadar menanyakan kabarnya karena kematian tragis Nyonya Sullivan di kamar itu. Sang pemilik apartemen bahkan menyerahkan kamar itu secara cuma-cuma pada Carolina, karena dia yakin tak ada yang mau menempati kamar bekas seseorang menggantung diri di langit-langit. Gara-gara kasus itu, banyak di antara penghuninya yang meninggalkan apartemen itu demi mencari tempat tinggal yang tak lebih menakutkan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 16, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

A Cup of CocoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang