"Islam yang hingga kini kau benci, ketahuilah jika aku bukan penganutnya, aku tidak akan pernah sanggup melahirkan dan membesarkan anak yang sedang kau perjuangkan kini. Islam yang memberi tahu, bahwa setiap ujian tidak akan pernah diberikan di luar batas kemampuan manusia, bahwa setiap satu kesulitan akan ada dua kemudahan, dan bahwa setiap manusia yang mengaku beriman akan diberi ujiannya masing-masing.

"Agamaku juga yang menceritakan kisah Maryam ketika ia diusir dari kaumnya atas tuduhan zina yang tidak pernah ia lakukan. Ketika aku mengingat Maryam sanggup melahirkan sang putra di bawah pohon kurma seorang diri, hingga kemudian datang pertolongan malaikat atas ijin Tuhan, ketika itulah aku sadar. Aku bukan satu-satunya orang yang diuji dengan cobaan seperti ini. Dan aku percaya, Tuhan pun akan mengirimkan malaikatnya padaku dalam bentuk yang berbeda.

Sejak itu aku bertekad untuk mempertahankan Fatih yang masih berupa janin. Aku berjanji akan memeliharanya dengan cinta dan kasih. Sekali lagi, bukan kau yang hadir di masa-masa tersulit dalam hidupku, Sam! Dan jika kau ingin berterima kasih, berterima kasihlah pada agamaku. Karena mungkin, jika aku bukan seorang Muslim, aku sudah menggugurkan janin itu dan memilih terjun ke sungai yang beku."

Semua mata tertuju pada Naela. Sam menunduk. Entah apa yang sedang ia pikirkan.

"Sembilan bulan lebih dua belas hari aku mengandung Fatih. Setiap gadis yang belum menikah pasti pernah membayangkan masa-masa kehamilannya nanti. Dalam setiap hayalan mereka, sang suami akan memenuhi apa pun permintaannya, menemani ke mana pun ia pergi, dan bersama-sama berbelanja perlengkapan bayi dengan begitu romantis hingga membuat setiap gadis yang belum menikah merasa iri. Itu juga pernah ada dalam khayalanku. Dulu sekali. Hingga aku sadar bahwa hayalan itu hanya sebatas hayalan. Aku melewati musim yang silih berganti seorang diri di negeri orang. Tidak ada ibu, terlebih ibu mertua, bahkan aku tidak berani menceritakan apa pun pada siapa pun.

Untuk bertahan hidup dan untuk mempersiapkan kelahiran, aku memaksakan diri bekerja dari pulul 07.00 hingga pukul 08.00 malam. Beruntung temanku Caroline yang bekerja di sebuah majalah hukum online sudi membuatkan surat rekomendasi, sehingga aku tidak terlalu sulit mendapatkan pekerjaan di kantor majalah tersebut. Di saat yang sama, mungkin kau sedang menikmati kemajuan firma hukum milikmu.

Setidaknya, pikirkanlah perjuanganku ketika nanti kau memiliki niat untuk menelantarkan putraku. Aku tidak membesarkannya dengan mudah, hargailah itu sedikit saja.

Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri saat suster berambut pirang menarik Fatih keluar dari rahimku di penghujung musim gugur. Setiap wanita selalu berharap sang suami menggenggam tangannya di saat ia melahirkan anak mereka. Setiap wanita ingin suaminya juga menyaksikan detik-detik mendebarkan saat sang anak pertama kali datang ke dunia. Saat tangisan pertama anak mereka.

Tapi aku dilarang untuk memiliki harapan seperti itu, karena aku bukan perempuan bersuami. Bahkan saat itu, aku tidak tahu siapa ayah dari bayi yang baru saja kulahirkan. Di saat yang sama, mungkin kau sedang menikmati musim gugur dari balkon rumahmu, tersenyum bahagia saat daun warna-warni jatuh silih berganti.

Fatih alergi kacang almond. Pernah aku suapi dia dengan biskuit kacang almond, tapi baru menelan satu gigitan saja, bibirnya jadi merah-merah kemudian membengkak, napasnya sesak, dan ia mengeluh rasa gatal di dalam rongga telinga dan tenggorokan. Tangisan Fatih membuatku sangat kebingungan. Mulai hari itu, aku berjanji tidak akan pernah menambahkan kacang almond atau perasa kacang almond ke dalam makanan untuk Fatih. Tolong jangan kau abaikan tentang alergi ini." Air mata Naela kembali tumpah. Ia memandang Fatih yang juga sedang memandanginya. Meskipun belum sempurna memahami, bocah itu ingin menangis.

"Aku tidak akan memohon padamu untuk membiarkan Fatih tetap bersamaku, Sam. Tapi aku mohon ketulusan cintamu untuknya. Aku akan ikhlas dia hidup bersamamu. Tapi aku tidak akan pernah ikhlas jika dia kamu telantarkan. Maukah satu kali ini kau membuat janji, Sam? Maukah kau berjanji untuk menyayangi putraku dengan tulus?"

Bibir Sam terbuka dan tertutup, bingung harus menjawab bagaimana. "Tentu saja akan kusayangi Fatih dengan tulus. Aku ayahnya." Ia berucap, berusaha agar terdengar menyakinkan.

"Kau berani bersumpah atas nama hidupmu?" Naela melemparkan pandangan tajam.

Sedikit ragu, tapi akhirnya Sam mengangguk. "Ya, atas nama hidupku akan kucintai Fatih dengan setulus-tulusnya."

Persidangan ditutup setelah kedua belah pihak membubuhkan tanda tangan persetujuan. Beberapa orang yang sebelumnya duduk di barisan pembela Sam, kini kembali menaruh simpati pada Naela. Cerita yang diucapkan perempuan pengacara itu sangat jauh dari kesan cerita rekayasa, terlebih saat melihat Naela yang berkali-kali tidak mampu menahan tangis.

Kris, meski tidak bisa memberikan pembelaan, dadanya seperti terbakar saat mendengarkan penuturan Naela. Ia marah saat tahu para hakim hanya mendengarkan takzim tanpa ada pertimbangan apa pun lagi. Seolah-olah semua yang diucapkan wanita itu hanya nyanyian yang melenakan sesaat dan setelahnya semua kembali seperti semula.

Sebelum semua orang bubar, jaksa muda itu memilih segera keluar, menyalakan rokok di depan gedung pengadilan. Ketegangan dan ketidak adilan di ruangan sidang membuat kerongkongannya pahit. Kini ia mengerti bagaimana perasaan Naela dulu, ketika mereka saling berhadapan di persidangan. Dan kini Kris bersyukur untuk semua kemenangan Naela atas dirinya. Entahlah, Kris masih tidak mengerti kenapa ia masih saja mencari informasi terbaru tentang Naela, bahkan hadir di persidangan hari ini.

Usai sidang, Naela langsung mengambil alih putranya dari Umi Dian. Ia peluk Fatih seerat mungkin seolah tidak membiarkan satu orang pun mengambil anak itu darinya.

"Kak Naela. Sakit. Fatih sakit." Anak itu berkata.

Naela baru sadar kalau dekapannya terlalu erat. Air matanya mengucur deras. Sam melihat dari kejauhan. Ia tersenyum penuh kemenangan. Setelah merapikan kemeja, ia bergegas berjalan keluar. Melihat itu, Naela cepat-cepat berlari mengejar.

"Sam. Berhenti!" panggilnya.

Sebelum berbalik, seuntai senyum terlukis tipis di bibir laki-laki Amerika itu.

"Ada apa?" Tangannya terlipat di depan dada saat pertanyaan ini ia lontarkan.

"Sam, kumohon jangan bawa Fatih pergi. Dia masih kecil. Jika kau masih punya sedikit hati, kumohon jangan bawa anakku. Jika tidak bisa juga, biarkan dia hidup bersamaku paling tidak sampai berumur 17 tahun." Naela mendekat.

"Tidak bisa, Naela," jawab Sam kokoh, "lima tahun sudah cukup untukmu. Sekarang adalah giliranku yang bersamanya. Lagipula kau di penjara, tidak mungkin bisa mengurusnya."

"Aku tidak bisa mengalahkanmu di dalam sana. Tapi aku berharap kamu masih punya sedikit rasa kasihan. Tolong jangan bawa anakku. Ini demi kebaikan Fatih." Wajah Naela sembab oleh air mata. Ia harus mengorbankan harga diri untuk memohon seperti ini di depan laki-laki yang sudah menghancurkannya.

"Aku tidak peduli. Sudahlah! Siapkan saja semuanya, lusa kami akan pulang ke Amerika." Sam berbalik. Langkahnya mengarah pada taksi berwarna biru cerah yang sudah menunggu di depan gerbang.

"Sam! Kumohon jangan bawa Fatih pergi .... Bagaimana aku bisa hidup tanpanya?!" Suara Naela tertahan di tenggorokan. Melemah. Air matanya kini kembali tumpah. Tidak ada harapan lagi bagi Naela untuk tetap bersama Fatih.

Hati laki-laki Amerika itu sama sekali tidak tersentuh. Melihat Naela memohon, ia justru sangat bangga. Taksi yang ditumpanginya berjalan perlahan meninggalkan halaman gedung pengadilan.

Umi Dian yang baru keluar langsung memeluk Naela. Bibirnya terus berbisik agar Naela tenang. Mariam dan Kris berdiri di belakang. Keduanya hanya bisa menyaksikan.

Gerimis kembali turun. Angin kencang bertiup menggugurkan dedaunan. Siang itu udara dingin kembali mencekam di segala penjuru kota.

Di Tepian Musim SemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang