DTMS-42

22.5K 2.2K 84
                                    

Dua minggu telah berlalu. Selama itu pula sudah empat kali Fatih mencuri-curi kesempatan pergi bersama Sam. Dulu Fatih tidak pernah bohong pada Umi, tapi sekarang, semakin dilarang semakin ahli saja dia berbohong. Diajak ayahnya Aa Dwiki main ke Botani Square-lah, belajar kelompok di rumah Dhanny-lah, sampai pada alasan diajak Ibu Diana—wali kelasnya—ke Festival Buah Nusantara. Umi sampai kehabisan cara untuk melarang Fatih. Kini hubungan anak itu dan Sam semakin akrab.

Pada pertemuan kedua, mereka menghabiskan waktu di bioskop untuk nonton film animasi terbaru. Pertemuan ketiga, mereka menjajal semua wahana seru di Dufan. Lalu pertemuan keempat, mereka memetik stroberi di salah satu kebun di Bandung. Semuanya seru dan Fatih sangat senang. Saking senangnya, ia pernah menggambar Sam yang sedang menggandeng tangannya. Fatih juga membeli patung superman dengan sebuah kertas bertuliskan 'Om Dad' digantungkan di lehernya. Karena keseruan baru ini, Umi jarang sekali mendengar Fatih bertanya tentang Naela lagi.

***

Di musim hujan penghujung November, sebuah sidang terakhir dibuka. Persidangan selalu membuat Naela ketakutan, terlebih hari ini. Semua hal yang dilihat Naela menjelma monster yang melambaikan tangan pada Fatih, mengajak anak itu ke tempat lain yang sangat jauh darinya.

Dua puluh menit kemudian pengunjung sudah memenuhi barisan pembela Naela dan Sam. Sang sahabat, Mariam, datang dengan rambut tergerai kusut dan kemeja tidak selicin biasanya.

Majelis hakim memasuki ruangan persidangan dan tidak lama kemudian keputusan persidangan dibacakan. Kekhawatiran Naela tidak meleset sedikit pun. Pada akhirnya, semua usaha untuk mempertahankan Fatih harus berakhir pada hari ini, ketika Hakim Ketua menyatakan anak itu harus diasuh oleh sang ayah. Naela menarik napas sangat berat, menghembuskannya perlahan sambil memejamkan mata. Dari kedua sudut mata, dua tetes air mata meluncur cepat.

"Apakah keputusan ini bisa diterima oleh pihak Naela Alfiatul Husna? Ada yang ingin disampaikan?" Hakim Ketua melemparkan pandangan pada Naela yang masih menunduk. Umi Dian menangis lebih dahsyat, wanita itu sesenggukan memeluk sang cucu. Mariam berusaha menenangkan.

Di ujung sana, Sam bertepuk tangan dengan bangga. Saat keputusan yang dibacakan Hakim Ketua tadi usai dibaca, ia langsung memeluk sahabat Negro-nya yang paling setia. Jimmy menerima dengan perasaan campur-aduk, ditepuknya pundak Sam seolah sedang berkata 'Selamat, Bro. Aku turut bahagia atas kemenanganmu', namun pandangan Jimmy tidak bisa lepas dari Naela.

Jauh di dalam hati Jimmy sangat mengecam tindakan Sam yang kejam. Rasa kasihan pada Naela mengalir begitu saja. Di persidangan ini, dialah satu-satunya orang yang mengetahui kebenaran dan berada di pihak pembela Sam.

Ia tahu sahabatnya sudah menodai wanita baik hati—yang sejauh dikenalnya, hanya menjalankan agama dengan baik tanpa berniat mengusik hidup siapa pun, ia juga tahu niat Sam membawa anak itu ke Amerika bukan atas nama cinta seorang ayah kepada putranya. Di antara belasan manusia yang hadir di persidangan ini, Jimmy adalah orang yang merasa paling berdosa, paling bersalah, namun atas nama persahabatan ia hanyalah seekor keledai yang sangat takut pada tuannya.

Setelah mengusap air mata, Naela berusaha berdiri. Napasnya tidak beraturan. Hatinya berdetak. Ketika ia ingin mulai membuka bibir, air mata kembali mengucur deras. Ia tidak sanggup untuk mengeluarkan suara.

"Sekarang," Naela mengambil napas, berusaha keras untuk bisa berbicara. Ia seka air matanya, berusaha untuk berdiri kuat, tegar. "Sekarang aku tidak ingin berbicara untuk membela diriku, karena aku tahu semua itu tidak ada gunanya lagi." Suaranya masih terdengar bergetar.

"Oleh karena itu, pada kesempatan ini, ijinkan saya bicara untuk satu orang saja." Ia mengambil jeda, menggeser pandangan kepada Sam satu-satunya. "Aku mulai mual-mual hebat di pertengaham musim dingin, enam tahun lalu. Di saat yang sama mungkin kau sedang bersenang-senang dengan wanita berbeda setiap harinya. Aku ingin bunuh diri waktu itu. Berhari-hari aku menangis dan mengurung diri. Di saat yang sama, mungkin kau sedang berpesta setiap malam dengan sahabat-sahabat pengecut seperti Negro di sampingmu.

Di Tepian Musim SemiWhere stories live. Discover now