-BAB 1-

14.4K 808 7
                                    


"Pa."

Sentuhan tangan mungil membuat Dave sontak menghapus airmatanya dengan satu tangan yang terbebas.

"Papa nangis?" pertanyaan dengan nada polos dari putranya membuat Dave tersenyum.

"Papa enggak nangis kok," bohong Dave. Pada kenyataannya ia memang masih sering menangis karena kepergian Devina masih sangat terasa.

Abrar memeluk erat Dave seolah dia tahu kalau papanya sedang berbohong.

"Papa jangan nangis. Kalau papa nangis, All juga nangis nih." ucapnya seraya memasang wajah sedih.

"Papa enggak nangis, Ar." Dave masih saja mengelak seraya membalas pelukkan Abrar selama beberapa saat sebelum melepaskannya, "lihat... papa enggak nangis kan."

Dengan wajah polos Abrar memperhatikan wajah Dave tanpa berkedip.

"Tapi tadi papa ---- "

"Sudah sore Ar ... kita pulang yuk," potong Dave cepat sebelum putranya itu terus mencecarnya dengan pertanyaan yang akan menambah kebohongannya. Walaupun usia Abrar belum genap lima tahun, entah kenapa rasa kepekaannya terhadap perasaan orang-orang di sekitarnya sangatlah tinggi.

"Tapi pa ---- " Abrar melepaskan pelukannya dan menatap Dave dengan tatapan berbinar, " ---- sebelum pulang All mau mam es klim dulu."

Dave memasang wajah berpikir sejenak sebelum menganggukkan kepalanya.

"Benel, Pa?"

"Iya," jawab Dave seraya mengusap lembut puncak kepala Abrar, "sekarang pamit dulu sama mamah."

Abrar menganggukkan kepalanya. Lalu kembali menatap makam Devina dan berkata, "Ma, All sama papa pulang dulu ya. Nanti All kesini lagi nengokin mama. All mau mam es klim dulu sama papa. All sayang sama mama."

Dave tersenyum saat melihat Abrar, putranya dengan Devina bermonolog. Ada perasaan miris melihat sang putra harus tumbuh tanpa sosok seorang ibu.

"Ar enggak sayang papa?" tanya Dave seolah cemburu karena Abrar hanya mengatakan sayang pada Devina.

"All juga sayang papa," jawab Abrar sambil memeluk erat Dave.

Dave tersenyum. Tanpa putranya bilangpun, Dave tahu kalau Abrar juga menyayanginya.

"Kita pulang?" tanya Dave membuat Abrar melepaskan pelukannya lalu menganggukkan kepalanya.

"Aku pulang dulu ya, Vin." pamit Dave sebelum menjauh dari makam Devina dengan menggandeng tangan mungil Abrar.

***

Sudah hampir empat jam Dave dan Abrar menghabiskan waktu di salah satu mall terkenal di Barat kota Jakarta. Beberapa goddie bag bertengger di kursi makan sebelah Dave. Kalian tahu apa saja isi goddie bag itu? Ya, tepat sekali. Goodie bag itu berisikan mainan Abrar. Putra dari Dave dan Devina itu, selalu saja khilaf mata saat melihat toko mainan.

"Habis ini kita pulang ya," ucap Dave setelah menghembuskan nafasnya panjang seraya melihat sang putra yang tengah melahap es krim kegemarannya.

Abrar menganggukkan kepalanya.

"Tapi nanti bungkusin es klimnya satu lagi ya, Pa." pinta Abrar membuat Dave terperangah.

Simfoni Cinta (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang