BAB 19 Ingatan Mimpi

6.7K 699 25
                                    



Suara langkah kaki cepat terdengar dari arah tangga.

"Noah, jangan berlari di tangga. Nanti kamu bisa jatuh," kata Ibu dengan suara memperingatkan.

Suara langkah kaki itu langsung melambat, disertai suara terkekeh pelan. "Baik, Bu."

Sedetik kemudian, selimutku tiba-tiba tersibak, diikuti dengan sebuah tangan besar yang kini mulai mengacak-ngacak rambutku dengan cepat.

"Ayah," erangku, sudah menebak siapa pemilik tangan jail itu tanpa perlu mengecek sekali pun.

Ayah terkekeh lalu kembali mengacak rambutku lagi. "Kau tidak ada tugas sekolah sama sekali?"

Aku kembali menarik selimut itu menutupiku tanpa membuka mata sedikit pun. "Tidak ada. Ini hari pertama liburanku, jadi biarkan aku tidur," ujarku.

"Tidurlah di kamarmu, kalau begitu," ujar Ayah geli.

"Tapi makan siang dulu, Lauren," potong Ibu.

Suara langkah kaki terdengar dan aku menyadari Ayah sudah berjalan menjauh dari sofaku. "Aku tidak mengerti mengapa dia lebih suka tidur di sofa itu daripada kamarnya sendiri," gumamnya dari kejauhan.

Aku tersenyum mendengar pertanyaan Ayah. Sejak dulu ia selalu menanyakan kebiasaan anehku ini.

"Sofa ini dekat dengan kulkas dan dapur. Jadi aku tidak perlu repot-repot jika sedang kelaparan," jawabku dengan cukup keras, masih belum bergerak dari posisi tidurku.

Aku mendengar Ayah mendengus tidak percaya. Ibuku terkekeh. "Jawaban bagus, Lauren," katanya.

"Kakak selalu tidur di sini setiap kali ada hujan." Noah yang bersuara. Dan sama sepertiku, Ayah dan Ibu langsung terdiam, sama sekali tidak menyangka Noah benar-benar memperhatikan hingga sedetil itu. Perkataannya memang benar. Aku memang selalu tidur di sofa ruang tamu setiap kali ada hujan.

Dan sebenarnya aku yakin Ayah dan Ibu sudah bisa menerka sejak awal alasan mengapa aku selalu memilih tidur di sini daripada kamarku sendiri saat hujan datang.

"Apa Kakak takut dengan petir?"tanya Noah lagi. Isyarat keluguan terdengar jelas di dalam suaranya.

Aku kembali tersenyum dalam selimutku, menunggu apa yang akan dikatakan Ayah dan Ibu pada pertanyaan yang dilontarkan Noah. Tapi tidak ada yang menjawab.

Beberapa detik kemudian sofaku merosot turun. Aku akhirnya membuka mata dan mendongak ke ujung kakiku, mendapati Ayah sedang duduk di ujung sofa sambil membawa dua piring sandwich di kedua tangannya. Ibu dan Noah berada di sebelahnya, juga sedang membawa piring berisi sandwich.

Ayah memberikan cengirannya padaku, sambil menyodorkan sepiring sandwich itu ke arahku. "Jika kau benar-benar takut pada hujan petir dan memutuskan tidur di sini karena merasa lebih ramai-terutama karena kamarku dan ibumu hanya beberapa meter dari sini, kami bisa mengerti."

Aku menatap Ayah dengan diam, tidak bisa berkata apa-apa. Aku tidak tahu apakah Ayah memang sengaja berkata begitu karena ia memang tahu atau memang hanya kebetulan saja.

Aku tidak pernah menyukai dingin, dan hujan selalu membuatku merasa gelisah.

Alasanku tidur di sofa ini karena aku tau sepanjang malam aku akan bisa mendengar suara Ayah dan Ibu sampai aku benar-benar terlelap, seolah mendengar suara mereka saja sudah bisa membuatku merasa aman. Suara Ibu yang mengaduk segelas susu untuk Noah, suara Ayah yang baru pulang saat tengah malam atau suara langkah kaki mereka dari atas setelah mengucapkan selamat malam pada Noah. Suara-suara kecil seperti itu saja sudah bisa menentramkan malamku.

Silent GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang