2: Ketika Penyihir Konvensional Bertemu (Calon) Penyihir Millenial

9.1K 1.5K 114
                                    

Sekarang sudah lewat tengah malam dan aku masih membersihkan diri di kamar mandi. Bayangkan, betapa banyak daki yang bisa kamu kumpulkan setelah dua abad lebih tertimbun di bawah peti berdebu di dalam katakomba lembap. Bayangkan, betapa banyak kotoran yang menumpuk di mata, hidung, telinga, dan celah-celah tersembunyi lainnya. Bayangkan, betapa kamu harus menggosok badanmu kuat-kuat untuk menyingkirkan semuanya, terutama di bagian-bagian terpelosok yang sensitif. Ya, kondisiku semenjijikkan itu. Ketika aku memasuki kamar mandi dan melihat pantulan diriku di cermin, aku sendiri nyaris menjerit. Tidak heran si bocah asing sebegitu ketakutan sewaktu melihatku. Mantra 'Tidur Panjang' jelas tidak akan kugunakan lagi.

Namun, apa boleh buat, harus kuampuni reaksi berlebihan dari si bocah asing karena tanpa dirinya aku takkan bisa membersihkan tubuh dengan menyeluruh seperti sekarang.

Usai sambutan meriah di pemakaman dan meloloskan diri dari raungan mengerikan yang Mogwa sebut sebagai 'sirine mobil polisi', si bocah asing menghentikan langkahnya di depan rumah bertingkat dua berwarna putih pucat. Mogwa langsung meloncati undakan menuju pintu, tampak sudah familiar dengan area ini. Kelihatannya Mogwa sudah mengenal si bocah selama beberapa waktu, tetapi aku teralihkan dari menanyakan hal tersebut. Begitu si bocah membukakan pintu dan memintaku untuk segera masuk, aku terkesiap menyaksikan isi rumahnya.

Perabot-perabotnya terlampau aneh. Semuanya bermotif, berwarna-warni, berbentuk unik, serta sebagian terbuat dari besi atau baja. Dinding rumahnya rapat, rata, dan mulus; tidak berongga seperti umumnya dinding kayu pada jamanku dulu. Kemudian, yang paling meresahkan, pencahayaannya terang. Terlalu terang, malah. Seperti di pinggir jalan setapak di luar sana, kulihat cahaya-cahaya terperangkap di dalam penjara kaca berbentuk bundar atau kotak. Tidak seperti lentera yang berbahan bakar minyak atau lilin, cahaya tersebut seakan muncul dari ketiadaan. Apakah ini bentuk sihir di masa sekarang? Menjawab keherananku, Mogwa yang sudah melompat ke atas kursi berinisiatif menjelaskan, "Cahaya-cahaya itu bernama 'Lampu Bohlam', Alamanda. Dan bukan, mereka bukan sihir."

"Lalu bagaimana mereka bisa muncul?" tanyaku dengan alis mengernyit.

Mogwa membuka mulut mungilnya lebar-lebar, "Dari listrik, fenomena fisika yang melibatkan muatan arus—"

"Kamu punya tempat untuk membersihkan diri?" tanyaku kepada si bocah, memotong ucapan Mogwa. Firasatku mengatakan Mogwa akan memberi kuliah panjang lebar, sehingga lekas kuakhiri sebelum terlambat. Kucing hitam di hadapanku mendengus, tidak suka acap kali ucapannya tidak benar-benar didengarkan olehku. Aku sadar aku ketinggalan banyak hal di dunia dan aku harus mempelajari mereka satu per satu, tetapi sekarang sungguh bukan waktu yang tepat.

Masih mengatur napasnya yang terengah sehabis berlari, bocah asing itu mengangguk dan menunjuk satu pintu di ujung kanan rumahnya. Tanpa mengulur waktu, aku bergegas ke arah sana dan memasuki ruangan (yang juga bercahaya terang) di balik pintu. Kukira aku akan menemukan bak mandi berisi air untuk berendam di dalam ruangan tersebut. Alih-alih, aku mendapati kotak persegi berbahan kaca dengan pipa dan selang besi pada bagian dinding dalamnya.

Bagaimana cara menggunakannya?

Namun masa bodoh, aku tinggal mencobanya karena kulitku sudah sangat gatal. Sebelum kututup pintu kamar mandi, kukatakan kepada si bocah, "Siapkan baju bersih untukku di depan pintu. Hm, siapkan makanan hangat juga. Tanyakan Mogwa apa menu kesukaanku."

Mogwa mendengus lebih keras, tetapi pintu sudah terlanjur kututup. Kini, entah sudah berapa lama, aku masih menikmati guyuran air dari pipa besi yang tergantung pada dinding kamar mandi. Mulanya aku tidak tahu cara menggunakannya. Ada tuas-tuas di bawah pipa itu; tampak rumit, tetapi—setelah aku mencoba memutar serta menariknya—pipa di atasku menumpahkan limpahan air bersih yang sangat sejuk dan menyegarkan. Hal menarik lain adalah ketika kucobai satu per satu botol beraneka warna di dalam kamar mandi. Semuanya berisi cairan kental nan wangi yang ternyata adalah sabun. Lebih praktis daripada sabun batangan, yang merupakan komoditas mewah pada masaku. Jamuan dari si bocah asing boleh juga, pikirku.

Alamanda (dan Sihir yang Berujung Salah) (Novel - Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang