Prolog: Tiba-tiba Saja

24.2K 2.5K 206
                                    

Ini Bumi tahun 2017.

Menakjubkan, harus kubilang, dan aku sudah berusaha tidak bersikap ironis. Mengerikan, harus kutambahkan, tanpa bermaksud hiperbolis. Berdasarkan sudut pandang seseorang yang tidak melihat dunia selama dua abad belakangan, terlampau banyak hal untuk diamati dan dipelajari di Bumi masa kini. Barangkali kota sekecil Surrey tidak akan mewakili kesemuanya, tetapi dewasa ini kamu bisa melihat dunia melalui benda kotak yang menampilkan gambar bergerak. Mogwa yang memberitahuku tentang benda bernama televisi itu.

Pertama aku melihatnya, kukira itu adalah salah satu praktik sihir hitam. Aku bahkan nyaris meledakkannya. Serius! Penyihir abad 21 mungkin saja sudah berevolusi menjadi lebih canggih, kendati aku belum menemukan satu pun penyihir selain Rasmus—dan kuduga dia sekadar mengaku-ngaku saja (aku belum bisa memastikan keaslian identitasnya sebelum aku benar-benar pulih). Kembali ke televisi, sekarang kudapati diriku sulit sekali menjauhkan diri dari hadapan benda tersebut. Pandanganku selalu kutancapkan terhadapnya. Siang malam kugunakan untuk menjelajahi saluran-salurannya. Mogwa seringkali mengeluh acap kali aku berkomat-kamit menirukan suara yang keluar dari si benda persegi. Paling tidak aku benar tentang satu hal, bahwa televisi memang 'menyihir.'

Mogwa bilang, dari sekian banyak waktu yang kupunya, sebaiknya aku menghabiskan lebih banyak jam untuk beradaptasi dengan kondisi Bumi saat ini, terutama melalui televisi dan sihir-hitam-lain bernama internet. Katanya, aku perlu mengetahui keseluruhan gambaran umum supaya aku dapat lebih berbaur dengan dunia kontemporer. Bukan hanya Mogwa, Rasmus juga memberi rekomendasi serupa. Lalu, persis seperti dua abad silam, aku masih saja tidak menghiraukan Mogwa. Terlebih mempercayai si bocah Rasmus yang baru kukenal dua minggu belakangan. Masa bodoh dengan adaptasi-apalah-itu, aku harus bergegas.

Tidak boleh ada waktu yang terbuang, tak peduli berapa banyak pun detik, menit, jam, hari, bulan, bahkan tahun yang aku punya.

Aku harus segera menemukan mereka.

Karena ... aku telah melakukan kesalahan besar. Terlalu fatal untuk diperbaiki. Tidak bisa dipulihkan oleh ramuan apa pun. Tidak bisa diputarbalikkan oleh segala jenis mantra. Orang berlagak bijak mana pun yang berkata tidak ada kata terlambat hanya beromong kosong. Kalau tidak ada kata terlambat, aku tidak akan menghuni dunia selama dua ratus lima puluh delapan tahun. Kalau tidak ada kata terlambat, aku tidak akan berkeliaran di Bumi dalam kondisi menyedihkan seperti ini; menghirup udara busuk peradaban manusia dan menghadapi sihir-sihir hitam bernama Teknologi sembari menunggu kesempatan itu datang. Kalau tidak ada kata terlambat, Dave pasti akan hidup lebih lama. Atau, setidaknya, hidupnya tidak akan berakhir dengan cara yang sangat buruk.

Yang pasti, kalau tidak ada kata terlambat, aku tidak akan menjelma makhluk tolol seperti sekarang.

Namun, seperti yang kusiratkan sebelumnya, semuanya sudah terlambat. Tidak ada cara untuk memperbaiki kesalahanku. Satu-satunya alasan aku tidak mengakhiri hidupku dengan mantra pencabut nyawa detik ini juga adalah secuil kemungkinan untuk bertemu mereka: Dave dan dia yang telah merenggut kehidupan yang pernah kupunya.

Bukan, ini bukanlah kisah romansa, seperti yang mungkin aku—dan sebagian dari kalian—harapkan.

Ini adalah balas dendamku.

Alamanda (dan Sihir yang Berujung Salah) (Novel - Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang