Chapter 4. Latte & Brownies

Start from the beginning
                                    

"Mau ditemenin?"

Varo memandang ragu pada Anggra. Jujur saja, ia menginginkan hal itu, tapi mengingat Anggra yang sebelumnya sangat sibuk membuatnya tidak yakin. Varo belum merespon tapi cowok itu sudah duduk di hadapannya. Mereka terhalang sebuah meja berbentuk bundar dengan ukuran yang tidak terlalu besar.

Hal itu membuat Varo tersenyum. Mengesampingkan fakta bahwa ia merasa sangat senang karena Anggra mau menemaninya.

Varo memutuskan untuk memakan kue bronisnya terlebih dahulu. Untuk suapan pertama, sebuah desahan keluar dari bibirnya. Bentuk apresiasi mengenai bagaimana lezatnya kue buatan Bundanya sendiri. Kue bronis itu masih tetap menjadi kue paling enak yang pernah ia makan selama hidupnya.

Lalu ia beralih pada latte yang Anggra buatkan untuknya. Seperti sebelumnya, Varo merasa asing ketika cairan itu menyentuh lidahya. Ini adalah kali kedua ia mencoba minuman itu. Kopi yang pernah Varo minum sebelumnya hanya espresso dan perutnya bermasalah ketika ia meminum kopi tersebut.

Tetapi ketika perutnya baik-baik saja setelah Varo meminum latte adalah hal yang cukup mengejutkan baginya. Sepertinya Varo akan menyukai minuman itu mulai dari sekarang. Latte dan bronis adalah kombinasi yang tidak buruk.

Lalu matanya melirik Anggra di hadapannya dan ia tidak bisa menghentikan senyuman yang kian lebar pada bibirnya. Kali ini, Varo merasa bahwa latte, bronis dan Anggra adalah kombinasi yang sangat sempurna.

Dan sejak saat itu, Varo tidak bisa menghitung berapa kali ia mengunjungi coffee shop milik Anggra dan teman-temannya tersebut.

Varo hampir setiap hari datang ke Lullaby untuk minum satu cangkir latte. Dan hampir setiap kunjungannya itu, ia selalu meminta Anggra untuk menemaninya walaupun cowok itu tengah bekerja. Anggra tidak pernah mempermasalahkannya, bahkan dua temannya; Luke dan Bayu pun tidak pernah menegur Anggra ketika cowok itu mendapatkan kunjungannya.

Sekarang Varo mempunyai minuman favorit. Latte. Dengan itu, ia mendeklarasikan dirinya sebagai seorang penyuka minuman tersebut. Walau ia tidak meminum semua kopi tapi Varo mempunyai niat untuk melakukan itu secara perlahan.

Hari ini Anggra mengajak Varo ke tempat tinggalnya. Cowok itu berkata bahwa ia tinggal bersama dua sahabatnya dalam satu rumah. Mereka sudah melakukan itu sejak SMA.

Varo tidak menyangka bahwa Luke dan Bayu tinggal bersama Anggra di samping mereka yang sama-sama membuka usaha coffee shop mereka. Varo tidak begitu mengenal Luke dan Bayu. Mereka hanya sempat berkenalan tanpa mengobrol lebih jauh.

Luke adalah cowok bule yang pernah dilihat Varo tempo hari ketika ia mengantarkan kue bronis dari Sang Bunda untuk Anggra. Cowok bermata biru itu berasal dari Washington, ia dan Anggra bertemu saat SMP. Sedangkan Bayu mengenal Anggra lebih lama. Bisa dikatakan Anggra dan Bayu adalah sahabat sejak kecil.

Ketiganya memiliki perbedaan yang sangat mencolok, mereka juga kuliah di kampus yang berbeda satu sama lain tapi ketika sudah bersama, perbedaan itu seakan melebur menjadi satu dan menyisakan ikatan persahabatan yang kuat.

Varo senang bisa mengenal Luke dan Bayu.

Tidak terasa, berkunjung ke coffee shop dan tempat tinggal Anggra sudah menjadi hal rutin bagi Varo. Setiap hari ia akan melakukan itu dan selama Anggra tidak keberatan dengan hal itu, Varo akan terus melakukannya.

Bagi Varo, melakukan semua itu adalah hal baru baginya. Dan ia menyukai hal yang dilakukannya itu. Apalagi ketika mendapati sikap ramah dari Luke maupun Bayu. Kedua sahabat Anggra itu sangat welcome kepadanya.

Seperti saat ini, Varo tengah mengerjakan tugas akhirnya yang ia bawa ke rumah Anggra. Sedangkan cowok itu tengah bermain PS bersama Luke dan Bayu. Mereka berempat berada di ruang tengah rumah minimalis itu. Sekarang hari Minggu dan mereka berempat libur dari kegiatan kampus maupun pekerjaan, kecuali Varo sepertinya.

Kepala Varo terangkat saat ponsel milik Anggra berbunyi, sepertinya panggilan telepon. Cowok itu meletakkan stik PS begitu saja, menuai seruan dari Luke dan Bayu karena mereka sedang berada di tengah permainan. Setelah sekilas melihat layar ponselnya, Anggra menatap Varo dan mengatakan sesuatu dengan suara pelan, setengah berbisik.

"Bentar ya, angkat telpon dulu."

Varo hanya mengangguk.

Ia kembali menekuni pekerjaannya setelah Anggra pergi. Tidak beberapa lama, Varo tidak mendengar seru-seruan Luke dan Bayu yang berisik seperti sebelumnya. Mau tidak mau hal itu membuatnya kembali mengangkat kepala. Seketika dahinya mengernyit ketika dua cowok sahabat Anggra itu ternyata tengah memandanginya.

Varo merasa bingung. "Kenapa?"

Sesaat, Luke dan Bayu tidak menjawab pertanyaannya, tetapi kemudian Varo melihat Bayu memasang wajah jahil.

"Mau nelpon aja pake izin segala."

Varo tidak bisa untuk tidak mengangkat salah satu alisnya ketika mendengar perkataan Bayu barusan. Ia bisa melihat jika Luke tengah tertawa saat sahabatnya selesai mengatakan kalimat itu.

Akhirnya ia paham dengan apa yang dimaksud sepasang sahabat itu. Varo merasa tidak ada yang aneh ketika Anggra pamit padanya untuk menerima telepon. Justru ia merasa heran dengan reaksi Bayu akan hal itu.

"Maksudnya si Anggra mungkin biar nggak ada yang nyariin makanya dia pamit kayak gitu."

Reaksi Luke lebih berlebihan. Cowok bule itu tengah menaik-turunkan kedua alis tebalnya sambil memasang cengiran geli. Varo pun mendengus setengah tertawa, ia merasa terhibur dengan tingkah Luke dan Bayu.

Tepat saat itu, Anggra kembali. Cowok itu meleparkan sebuah senyuman dan tentu saja Varo membalasnya. Lalu dari ekor matanya, Varo sempat melihat tatapan geli dari Luke dan Bayu padanya dan Varo berusaha mengabaikannya.

Sikap konyol dan jahil milik Luke dan Bayu hanya membuat Varo menganggap itu adalah sebuah ungkapan welcome dari kedua cowok tersebut.

.

To be continued.

When Love Walked In [END]Where stories live. Discover now