Chapter XI : Nyanyian

55 7 0
                                    

"Ada yang ingin kubicarakan."

Abizar menghentikan aktivitas mencatat, "Bicaralah," serunya tenang. Cepat-cepat Rea menarik tangan Abizar keluar dari kelas.

Suasana hening menemani Abizar dan Rea yang berdiri di atap sekolah; tempat yang sering dijadikan sasaran empuk untuk membolos dari pelajaran lantaran sepi dan menenangkan; apalagi bisa melihat pemandangan langit yang indah.

Abizar menatap Rea yang mulai melepaskan genggaman. "Jauhi Ailee," tukas Rea tegas. Abizar terperanjat dan melengkungkan bibir, "Mengapa harus menjauhi Ailee?"

"Karena aku tak ingin kau bahaya. Ailee itu berbahaya."

"Apa bahayanya?"

Rea meneguk ludah, memerhatikan ekspresi Abizar yang meyakinkan ia kalau laki-laki di hadapannya itu tertarik pada Ailee. Telah terjerumus dalam jerat Ailee. "Dia keturunan keluarga yang sesat. Dia pembawa kutukan! Sebelum kematiannya, Vivi menceritakan padaku mengenai Ailee. Ailee pembunuh! Ketika SD, temannya meninggal setelah mengajaknya ke acara ulang tahun. Kemudian, ia pindah ke Jepang. Dan sekarang ia kembali, Vivi meninggal. Itu pasti karena Vivi mengetahui masa lalunya, Vivi tahu siapa dirinya. Sang pembawa kutukan."

Abizar memasang tampang marah. Ia melihat wajah Rea yang telah dikenalnya sejak lama dengan seksama. "Tidak ada yang namanya pembawa kutukan!" balasnya.

"Tolong, menjauhlah dari Ailee." Gadis tinggi itu memohon. Suatu kecemasan melesak dalam hati. Ia meraih bahu Abizar dan terus berbisik, "Menjauhlah dari Ailee."

Tangan Abizar melepas tangan Rea dari bahu. "Rea, tenangkan dirimu. Vivi tewas kecelakaan. Bukan dibunuh. Kau saksi matanya!"

"Tapi, dia keturunan sesat! Dia mungkin menggunakan santet untuk membunuh!"

"Hati-hati dengan kata-katamu. Kita tidak bisa menuduh orang sembarangan seperti itu," lanjut Abizar kesal.

"Dia..." ucapan Rea terpotong saat sudut matanya menangkap objek pembicaraan berdiri seperti patung; tak jauh dari mereka berdua. Mata biru Rea bertubrukan dengan mata hitam yang tengah dipergunjingkan.

"Ma-maaf." Ailee membungkukkan badan. Mendengar suara Ailee, sontak Abizar menoleh. Wajah Rea semakin emosi dan ia mendekati Ailee, "Kau minta maaf karena membunuh?" seloroh Rea sewot.

"Maaf." Ailee mengulangi ucapan. Ia tak bisa mengatakan bahwa ia bermimpi buruk tentang tanda adanya kematian seseorang beberapa waktu yang lalu. Ia tak bisa menceritakan bahwa ia 'tidak memprediksi' mengenai kematian Vivi. Ia tak memberi tahu tentang firasat kematian yang ia rasakan. Karena itu, yang bisa dilakukan hanya meminta maaf meski tak seorang pun mengerti mengapa ia meminta maaf.

"Terserah kau!" Rea histeris sambil berlarian meninggalkan Ailee dan Abizar.

"Mengapa meminta maaf?" Abizar terpaku, tidak habis pikir kalau Ailee akan berada di tempat ini. Mungkin, tadi ia membuntuti Abizar dan Rea lalu keluar sewaktu mendengar namanya dijelek-jelekkan Rea.

Ailee menggerakkan tubuh ke posisi tegap dan memerlihatkan senyum abstrak, "Karena banyak hal. Apa di keluarga kamu ada yang sakit?"

"Hah? Adikku sakit demam berdarah. Dia sedang dirawat di rumah sakit. Mengapa?"

"Jaga adik kamu baik-baik."

Raut haus keingintahuan terlihat jelas di wajah Abizar. Tapi, karena Ailee terkesan tak ingin membahas hal yang tak menyenangkan, diurungkannya niat bertanya lebih jauh. "Oh ya, sabtu nanti adikku ulang tahun. Bisa membantuku?"

●○●○

"Kak, kak Abizar datang!" teriakan Kaanan membuat Ailee yang membaca komik Sket Dance tersentak. Sesegera mungkin ia merapikan pakaian. Gadis yang menyemprot parfum mawar itu membuka pintu dan menuruni tangga. Didapatinya Abizar duduk bersama Kaanan di ruang tamu sambil minum air putih. "Tuan putri sudah datang," cibir Kaanan. Ailee membalas dengan kecut.

FIRASAT AILEETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang