4. Double Mampus

40 5 0
                                        

Bukan mata,
hanya hati.
Butapun,
kutetap pilih kamu.

💞💞💞

Retta pikir seseorang itu mungkin saja dengar.
Memang. Dan dia, tak mudah melupakan.

💞💞💞

Satu kesalahan telah Retta perbuat. Ia menggores berlian yang indah. Beruntung, berlian itu masih tampak indah.

"Rett, dia denger tau! Kalo dia masukin hati gimana?!" kicau Ade.

Aku tetap berjalan menuju salah satu kios, "Tolong deh, Mak. Jangan bahas itu. Gua merasa bersalah juga ini."

Retta bingung setengah mati. Apa yang harus ia lakukan. Minta maaf? Masalahnya, ia sering melontarkan ucapan pedas pada kakak kelas laki-laki yang tebar pesonyanya overdose.

Tapi setelahnya ia tak pernah minta maaf, tentu saja. Mereka pantas diperlakukan seperti itu karena mereka menjijikkan. Namun, kali ini Retta luar biasa bingung juga merasa bersalah. Ya, karena sepertinya kakak kelas yang tadi itu terlihat sangat lugu. Besar kemungkinan dia tidak seperti buaya.

"Bapak, yang biasanya 2, ya?" ucap Ade.

"Oke, non." balas bapak kantin dengan dua gelas plastik di tangannya.

   "Bisa gitu, ya. Bapak-bapak dan ibu-ibu kantin hafal banget sama lo." ujar Ade mengubah topik.

"Gimana nggak hafal, Nduk, kalo setiap jam 8 beli gudey priz," celetuk bapak kantin yang bahkan belum kutahu namanya.

Aku hanya cengar-cengir menyadari bahwa hal sepele bagiku ini justru terlihat mencolok bagi orang lain. Apa salahnya kalo aku punya jadwal rutin beli es? Itu tandanya hidupku tersusun dengan baik, bukan?

"Astaghfirullahaladzim! Ini masih jam pelajaran kenapa sudah mangkring di kantin! Ayo balik semuanya!"

Deg.

Itu pasti guru galak yang dulu itu. Sebut saja Bu Ser. Panjangnya sih, Serigala, tapi disingkat aja biar um.. agak sopan.

Ade spontan menengok ke belakang, kemudian aku ikut berbalik. Menonton aksi beberapa kakak kelas dan teman sebayaku lari terjungkal-jungkal. Ada juga yang masih mengelak ini-itu.

Dingin mendadak kurasakan di lengan kananku. Sepertinya tangan Ade.

Aku menatapnya penuh tanya, "Apaan?"

"Ayo kabur, bego!" wajah cemas Ade jelas terlihat.

Dengan segera kutarik lenganku dari genggaman Ade, "Ih, apaan. Ini es nya hampir jadi. Emangnya mau lu tinggal?"

"Heh, kalian kelas berapa? Saya sudah teriak-teriak masih berani berdiri disini!" sudah pasti ini Bu Ser. Pasti.

Kulirik raut wajah Ade, pucat! Kebetulan sekali, es kami sudah rampung. Aku segera mengambil dan membayar dengan uang pas. Dengan cepat aku memberi sedikit senyuman pada Bu Ser, kemudian kucium tangan beliau. Ya, salim. Lalu? ngacir secepatnya.

"Heh, kamu kelas berapa!?" teriak Bu Ser. Tak kugubris, aku menarik tangan besar Ade sekuat mungkin.

💞💞💞

Jam istirahat telah berlalu. Dan sekarang pelajaran paling terkutuk selain pelajaran Bahasa Inggris. Gurunya horror, bor!

Sejak beliau masuk, aku hanya menatap kertas dan gelas plastik bekas es tadi pagi. Aku berani menjamin kalau orang ini lah yang dipilih murid-murid di sekolah ini sebagai guru ter-ter-terhorror.

"Eh, ambilin kotak tissue yang dihias flanel bentuknya apa, ya? Cupcake kalo gasalah. Sono buruan!" teriakan Bu Amit terdengar sangat jelas di telinga kiriku. Lantas aku menatap sesosok di sebelah kiriku.

Oh, ternyata yang dimaksud beliau adalah aku. Aku berdiri dan mengambil kunci ruang kerajinan yang beliau sodorkan padaku. Aku menarik lengan Nia, mengajaknya bersamaku.

"Eh! Ngapain bawa temen segala?! Gegayaan banget. Sana sendirian!" mata bulatnya makin terlihat bulat 17x bulat.

Nia mengelus dadanya sambil menatapku menahan tawa. Guru ini benar-benar komodo!

        Muak, aku segera berjalan menuju lorong pemisah koridor kelas 10 & 12. Memang tidak terlalu jauh, tapi ruang kerajinan berada diantara kelas 12. Itu artinya aku harus melewati koridor kelas 12 yang aduhai horror bagi adik kelas lugu sepertiku.

        Ditambah lagi aku menyusuri koridor sendirian. Sendirian. Sendirian. Sendirian.

        Pintu lorong baru saja kulewati. Jelas sudah keadaan tempat horror di depan mataku. Sepi. Alhamdulillah. Tidak ada kerumunan anak kelas 12 yang akan memandangku bulat-bulat seperti yang ada dalam otakku.

        Ada, sih. Tapi, bukan kerumunan melainkan hanya seorang cowok tinggi duduk bersandar di tembok depan kelasnya. Kaki panjangnya menghalangi jalan yang memang lebih sempit dari koridor kelas 10.

        Langkahku semakin mendekati keberadaan cowok itu. Yak, rupanya ia menutup mata. Mungkinkah dia tidur? Lalu aku harus bagaimana?

        Oke, langkahi saja. Bodo amat.

        Dengan langkah agak takut, aku mengangkat kaki untuk melewatinya, "Misi,"

     "Bajing!" refleksku. Ah, kenapa begini padahal biasanya aku mengatakan "Allahuakbar" saat merasa kaget. Memalukan.

        Salah dia juga, sih. Tiba-tiba bangun dan menggerakkan kakinya yang membuatku jatuh tersandung. Aku berdiri lalu menengok ke arah cowok itu sebentar.

        Lah, bukannya dia cowok yang dipuja-puja Nia? Yang kata Ade ganteng itu? Yang aku bilang idungnya gede itu?

        Ah, bukan. Tapi, ia terlalu mirip. Ah, bodo aku harus segera kembali dengan kotak tissue itu.

💞💞💞

💞💞💞

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

💞💞💞

Boom!

Ada yang bingung sama part terakhir?
Luv dis part uh.

PLS VOMMENT.
AND THX A BUNCH.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 17, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Lovin' An IntrovertWhere stories live. Discover now