Prolog. [edited]

356 59 25
                                        

   
I Believe I'm Fine - Robin Schulz.

💞💞💞

Kantin adalah tempat ternyaman setelah kelas. Bagi orang yang nyaman diantara banyak orang, tentunya. Retta salah satunya, ia bisa menghabiskan seharian penuh di kantin bersama teman-temannya. Tapi, hari ini belum ke kantin sama sekali karena ulah anak-anak OSIS sialan yang memintanya menyiapkan ini dan itu.

    "Kak, nanti biar saya urus sama Nisa masalah roti basahnya. Sekarang saya lapar mau ke kantin, Kak. Boleh?" Retta berharap ucapannya sudah memenuhi syarat kesopanan.

    Tio menatap Retta tajam, "Baru gua panggil udah laper. Yaudah sono gedein badan lu!"

    Barusan pantat lu tepos, udah tiga jam gua jadi babu lu ah elah, batin Retta.

    "Makasih, Kak. Ntar saya ngga kesini lagi, ya?" Ia memelaskan wajahnya.

    "Serah. Udeh sono!" Tio mengibaskan tangannya.

    Segera Retta lari meninggalkan ruang OSIS dan mencari-cari batang hidung temannya. Untuk apa? Biar ngga kelihatan kek anak terbully aja, batin Retta.

    Terlihat sesosok yang menyerupai Nia. Retta meng-zoom penglihatannya. Sepertinya memang Nia. Sebenarnya, Nia adalah sosok yang tertutup dan enggan dengan keramaian. Tapi karena sudah terbiasa dengan kebiasaan Retta dan kawan-kawan, Nia ketularan sedikit demi sedikit.

    Retta mendekatinya, "Heh, bocah!"

    "Bocah-bocah. Udah selesai kerjaan lo?" Nia menyenggol pinggul Retta.

    "Udah selesai-pun bakal ada lagi," jawab Retta malas.

    Ia bukan anggota OSIS, hanya panitia acara kecil. Tapi, Retta benar-benar menyesal telah menerima ajakan mereka menjadi sukarelawan. Peduli apa soal pengalaman, hampir enam belas tahun hidupnya penuh dengan pengalaman yang jauh lebih berarti daripada mengikuti kegiatan semacam itu.

    "Rett, ntar langsung balik aja. Gue belum ngerjain PR Sejarah," Nia menggandeng tangan Retta karena kantin masih sangat ramai.

    "Lo udah?" tanya Nia.

    "Udah. Setengah doang. Males gua, banyak banget kek telur ikan," jawab Retta santai.

    Nia menarik tangan Retta menuju Kopsis, membelah sejuta umat di depannya. Sedangkan, Retta sibuk meminta maaf pada anak-anak lain yang ditabrak Nia. Retta sudah berjanji pada dirinya sendiri ia akan mengadili Nia nanti.

    "Kak, Aqua botol satu. Rett, lo apa?" tanya Nia disertai tatapan mata yang membulat .

    "G-gua. G-gua Aqua kecil. E-eh, Aqua gelas empat."

    "Oke. Sebentar ya, dek," ujar sesosok malaikat di depan Retta dengan seulas senyum.

    Retta masih tidak percaya ini. Yang ada di depan matanya. Adalah malaikat baginya. Malaikat dengan senyum termanis yang pernah Retta lihat. Meskipun Retta masih belum tahu namanya. Sekuat jiwa ia menahan gelombang aneh dalam tubuhnya. Berharap semoga raut wajah terpesonanya ini tak terbaca siapapun.

    "Ini, dek. Lima ribu, ya?" Nia menyahut Aqua botol miliknya. Disusul Retta yang menerima Aqua gelasnya dari tangan 'Sang Malaikat' dengan gemetar.

    "Iya, Kak. Rett, sini duit lo."

    ''I-iya tunggu," ia bingung setengah mati. Dua tangannya sudah terisi penuh dengan Aqua gelas. Dengan susah payah ia membawa keempat gelas Aqua gelas dengan satu tangan, lalu ia mengambil uang disaku seragamnya dengan gemetar yang tak kunjung reda.

    Cpppaakk!

    Dadanya sesak. Tangannya gemetar. Ia malu. Di tengah keramaian begini, ia menjadi tonotonan semua mata. Retta speechless, apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Se-per-satu detik kemudian, darah di otaknya berjalan lagi. Ia segera mengeluarkan uangnya, kemudian memberikannya pada Nia. Ia menatap sosok malaikatnya sekilas, dia tersenyum!

    "Rett, pel dulu itu. Ntar mbak Kopsis marah."

    "I-iya, iya."

    Retta membalikkan badan berniat mencari kain pel. Namun maksud Retta telah didului seorang cowok berbadan tinggi. Ia mengepel air yang ditumpahkan Retta. Dada Retta terasa sangat longgar, ia lega ada seseorang yang mau menanggung rasa malunya tanpa pamrih.

    "Nah itu udah dipel. Balik dah, yuk. Gue malu jadi tontonan gegara lo," Nia menarik lengan Retta.

    "M-maaf ya ngerepotin. Makasih," Retta berterimakasih pada cowok itu sebelum digeret Nia jauh-jauh.

    Retta tidak mendengar cowok itu membalas ucapan terimakasihnya. Ia tetap menundukkan kepalanya. Menatap kain pel yang di bawanya. Retta hanya ingat sekilas wajahnya.

    Yang paling Retta ingat adalah mata kecilnya yang tajam. Mata itu menyiratkan kelembutan, dan sesuatu yang belum bisa Retta terjemahkan.

Lovin' An IntrovertWhere stories live. Discover now