3. Semoga

42 4 0
                                    


Think Before I Talk - Astrid S.

💞💞💞

Demi apapun aku benci hari rabu!

     Bukan apa-apa.

     Hanya, banyak predator alias guru killer. Ya, meskipun aku belum pernah menjadi korban kebuasan beliau-beliau itu. Dilemanya, kalau masuk kelas bisa saja jadi korban, kalaupun bolos pelajaran hanya akan menambah masalah.

     Uh! Rasanya ingin bolos sekolah beralasan sakit saja. Tapi, itu berarti aku melewatkan satu hariku tanpanya. Tidak, aku tidak mau. Baiklah, aku akan ke sekolah karena kewajiban dan karena malaikatku! Ah ya,  Kak Davi namanya. Berkat stalking Instagram kelasnya semalam, aku menemukan Instagram pribadinya. Tak usah ditanya lagi, sudah pasti aku follow.

***

     Bu Ani masih saja melanjutkan ocehannya yang diulang-ulang. Yap, pelajaran inilah yang paling diwaspadai teman-teman sekelasku. Bahasa Inggris. Bukan karena pelajarannya, tapi gurunya ini loh. Orang ini selalu saja sensitif dikelasku, tapi tidak di kelas lain.

     Akarnya? Hanya karena masalah pribadi dengan salah satu teman sekelasku. Cih, guru macam apa. Eh, astaghfirullah. Tapi emang salah, kan?

     Seperti sekarang ini, hanya karena kabel proyektor yang kurang rapi saja sudah menghabiskan satu setengah jam pelajaran. Yang lalu-lalu justru lebih aneh-aneh lagi. Baik dan tidak yang kelas kami lakukan, bagi Bu Ani semuanya tetap saja salah.

     "Pokoknya saya tidak mau tahu, saat pelajaran saya minggu depan kabel-kabel ini harus rapi," seru beliau dibarengi langkahnya menuju pintu.

     "Iya, Bu! Siap!" balas seisi kelas dengan sedikit ditambah penekanan tanda kekesalan.

     "KALAU BISA MINGGU DEPAN IBU SUDAH TIDAK ADA DISEKOLAH INI!" suara lantang ini membuat seisi kelas terkejut dan mencari-cari asalnya. Di pojok sana, ketua kelas kami berdiri sambil memegang dadanya. Sepertinya dari sang ketua kelaslah suara itu.

     "Eh, Mak! Jangan keras-keras, nambahin masalah ntar!" ujar Bobby, murid termanis di kelas kami. Bhak.

"Bodo amat! Gue udah ga sanggup hormat ke dia lagi! Guru apaan lu, buaya!" sekali lagi ketua kelas kami murka sambil menghentak-hentakkan kakinya.

     Seisi kelas-pun setuju dengan ketua kelas kami, Ade. Sejak hari pertama kami sudah diperlakukan berbeda dengan kelas lain. Awalnya, kami mengira mungkin memang kelas kami yang salah. Namun, setelah sejauh ini ternyata Bu Ani memang sengaja menjatuhkan nama kelas kami. Heran, masih ada saja model guru seperti itu. Jadul sekali.

     Bahkan beliau kerap kali menceritakan kejelekan kelas kami pada guru lain dengan menggebu-gebu. Untuk hal ini, aku pernah membuktikannya sendiri saat menyetor buku absen di ruang BK. Childish sekali, yakan?

     Oke, kita lanjutan lain kali saja. Sekarang aku ingin membawa Ade ke kantin untuk sekedar melupakan kekesalan. Anyway, Ade itu cewek. Ide bagus, bukan?

     "Mak, mending ikut gua ke kantin. Minum es kopi. Uh, enak pasti." Aku memperlihatkan wajah kenikmatan berharap ia tergoda akan ajakanku.

     "Ayo dah! Buru! Emosi jiwa raga gue," balas Ade kemudian menarik lengan seragamku.

     "Yeee, sabar dikit napa, Mak!" tubuhku terpaksa mengikuti derapan langkah Ade yang begitu luar biasa cepatnya.

     Bukan hanya cepat, tarikan tangan Ade begitu kuat hingga otot-ototku berteriak. Tak heran, Ade berawak sangat bertolak belakang denganku. Tubuhku tak tinggi juga tak pendek, dan minim lemak. Sedangkan Ade, tingginya sekitar 168cm dengan berat 70kg. Perlu diingat kembali, dia adalah seorang perempuan. Yap, perempuan. Tak heran kalau tenaganya bak kuda liar. Ah, karena itu pula Ade dipanggil 'Mak' selain karena tubuhnya yang bongsor, Ade juga memiliki sifat keibuan yang menjadikannya layak meraih jabatan ketua kelas.

     Ade mendadak menghentikan langkahnya saat kami berada di tengah lapangan utama yang cukup sepi. Bingung dengan maksud perempuan satu ini, aku menyapu pandangan ke seluruh sudut-sudut yang dapat ditangkap retina mataku.

     "Kenapa, Mak?" tanyaku dengan gaya leher membentuk sudut siku-siku.

     "GANTENG BANGET PARAH!!! AHHH!!" teriak Ade menggema di telingaku. Tak lupa hentakan kakinya yang luar biasa.

     Aku mencoba mengikuti arah pandang Ade. Ada lima objek di depan kami, agak jauh memang. Perlahan kuperbesar objek itu di mataku. Kuposisikan kacamata minus-ku sedemikian. Ah, rupanya kakak kelas.

     ALLAHURABBI! ALLAH YA SALAM!! ALLAH YA KARIM!!

     BUKANNYA ITU KAK DAVI? IYA KAN? BENER KAN?

     "Sumpah, Rett. Liat deh disana, yang paling tinggi dan jangkung!" seru Ade padaku kemudian melanjutkan langkah diikuti langkahku setelahnya,

     "Yang ada jambulnya, bukan? Sumpah gua demen banget sama itu umat!!" balasku dengan satu pukulan gemas di  lengan gempalnya.

     "Hah? Bukan! Sebelahnya!!"

     Heh? Bukan Kak Davi yang dimaksud Ade? Terus siapa?

     Langkah kami semakin mendekati sang objek yang berdiri di samping lapangan belakang. Mataku tak dapat menangkap objek yang dimaksud Ade karena kini, ia berdiri membelakangi kami. Jadi kuputuskan untuk melihatnya dari dekat saja nanti ketika kami melewati kawanannya.

     Ade membisikkan ciri-ciri lelaki yang dimaksudnya itu selama perjalanan. Dan sepertinya sekarang aku tahu mana yang dimaksud Ade. Aku berdiri dekat sekali dengannya, kupalingkan wajahku untuk meliat wajahnya dengan penuh perasaan keingintahuan.

     Oemjihelaw! Putih banget! Parah! Not bad, sih. Tinggi, putih, alis bagus, mata kecil, idungnya mancung banget. Tapi itu standart banget bagiku. Aduh, gimana ya semacam kurang tertarik gitu lah. Masih kiyut malaikatku lah!

     "Gede idungnya doang gini, De." tak sengaja aku menyentuh bahu kakak kelas ganteng bagi Ade itu.

     ADUH! MULUT GUA! DIA DENGER GA YA? ADUH!

     Aku buru-buru melangkah lebih cepat sambil menepuk bibirku berulang kali. Kegoblokan yang ter-ter-teramat sangat ini membuatku ugh!!

     Aku hanya bisa berharap semoga dia tidak mendengar.


***

Doain supaya rajin update ya hihi,

makasih yang udah vomment,

yang belum vomment yuk,

biar nambah semangat nulis akunya hehe.

thankyou<3

Lovin' An IntrovertWhere stories live. Discover now