Katalis Koagulasi (2)

73 2 0
                                    

Tiada tanggal yang bergerak, tanpa suara di redam bisu aksara. Bukan diam yang membungkam, tetapi hadirnya telah menyeretku dalam kelam. Kau terlalu repot mengelak, padahal bersamanya kau telah merencanakan masa depanmu kelak. Kau terlalu repot berbaik hati, padahal bersamanya kau telah siapkan penghulu untuk mengikat janji. Aku kalah, kau memilih jatuh dalam pelukan yang kau rasa lebih mewah.

Kau pembohong.

Kau tak pernah sibuk. Hatimu yang tak pernah terketuk.

Kau pendusta.

Kau tak pernah punya waktu. Hatimu yang telah terisi sosok baru.

Aku masih ingat satu waktu ketika kau menyambutku dengan teh hangat di ruang tamu. Kau dan aku bertukar janji akan seperti apa kita nanti di masa tua. Aku menyanjungmu begitu dalam, kau memujiku seperti tak ada pria lain yang pernah dilahirkan.

Di dekatmu, cita-citaku hanyalah menjadi telinga. Mendengarkan suaramu adalah alasanku tetap ada di dunia. Di kejauhanmu, tujuan hidupku hanyalah pulang. Melihat kau menua adalah alasanku menjaga egub jantungmu tetap tenang.

Bibirmu terus berirama mengeja kata demi kata. Kau menjadi begitu angkuh menceritakan kejadian. Semua hal yang kau banggakan, semua bahagia yang ingin kau sampaikan. Bukan karyaku yang kau beri tanda seru, bukan pula setiaku yang meriuh haru. Kita berpisah jarak, dan di situlah muara cinta bergejolak.

Adalah satu lelaki, awal semua ceritamu tak bisa berhenti.

Perih.

Nadiku berdenyut lirih.

Kita berada di bawah angkasa yang sama, tetapi kenyataannya atmosfer kita jauh berbeda. Kaulah poros kenapa rinduku bisa terisi, tetapi bukan aku yang kau jadikan alasan rasa berotasi. Aku termakan delusi. Aku terlalu percaya janji.

Mimpi-mimpi kita sudah tak ada bedanya dengan dongeng menjelang tidur. Aku tak mau berdebat lagi tentang hal-hal yang bisa membuat dadaku semakin sesak dan harapku semakin terbentur. Telah berulang kali kau mengakui, aku menyukaimu tanpa alasan! Lalu bagian mana lagi yang terus menerus kau pertanyakan?!

Aku masih ingin mengungkap indahmu lewat karyaku. Terlalu lama aku menggoreskan warna, sekejam itu kau balas dengan menggoreskan luka.

Aku salah.

Aku bukanlah telinga. Aku hanya terpesona.

Aku bodoh.

Aku bukan tak mau pergi. Aku hanya lelaki yang enggan melangkah lagi.

Baiklah.

Aku bersumpah.

Akan tiba saatnya kau mencariku kembali. Ketika mulutmu tak sabar memberi jawaban atas semua tindakan, ketika kau ingin membela hakmu sebagai pemilik perasaan, ketika rasa sesalmu memuncak dan rindumu akhirnya meledak.

Waktu akan menamparmu dengan sangat bijaksana. Terima kasih atas kesadaran yang terlambat, di titik ini hanya akan terucap kalimat:

Menangislah...

Created By: Muhammad Nazamuddin

Inspired By: Distilasi Alkena (Wira Nagara)

Ruang SendiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang