9. Dia, Jiwa yang Rapuh

Start from the beginning
                                    

Decakan terdengar dari bibir Gabrino.

"Gue kan cuma ngomong dia sakit."

"Gue kan cuma nanya sejak kapan lo peduli," balas Frans cepat.

Gabrino terperanjat.

Frans menatap Gabrino dengan senyum geli, tangannya terulur untuk merangkul bahu laki-laki itu. "Bro, sudah nyerah juga lo sama si Valen?"

Gabrino menoleh, menatap Frans dengan mata yang menyipit. "Nyerah apaan?"

"Nyerah untuk akhirnya buka hati lo buat dia," kekeh Frans.

"Apaan sih."

"Sudah lo ngaku aja."

Gabrino menurunkan lengan Frans yang berada di bahunya, kemudian laki-laki itu berdiri dan bersiap pergi meninggalkan Frans yang masih saja tertawa. Lantas Gabrino benaran pergi meninggalkan Frans.

"EH MAU KEMANA?" Frans menjerit.

Gabrino menjawab tanpa menoleh, "MAU MANDI WAJIB, TAKUT KETIBAN SIAL ABIS DIRANGKUL DA'JAL," balasnya memekik sambil terus meneruskan langkahnya.

-Hung Out-

Jam terus saja bergerak hingga jarum pendeknya kini menyentuh angka delapan, senyum Valen yang tadi merekah sepanjang siang hingga sore mendadak redup. Ia menatap jendela di kamarnya yang remang-remang memancarkan sinar dari lampu luar. Tubuh Valen menyamping menatap jendela tersebut.

"Dia tidak datang," bisik Valen kepada dirinya sendiri. Valen tersenyum pedih, senyum merekahnya yang tadi sudah lenyap.

Valen kembali membisikkan kalimat lain pada dirinya. "Dia mana mungkin peduli sama kamu Len, kamu harus ngerti dia baik sama kamu kemarin karena kamu sakit bukan karena dia peduli."

Air yang menggenang pada mata Valen sudah berada di ujung, namun Valen sama sekali tidak berminat untuk membuat air mata itu jatuh. Terlebih dahulu ia mengusapnya sebelum air matanya itu jatuh.

"Aku berharap banyak pada dirinya, sampai-sampai aku melupakan fakta bahwa aku tidak berarti apa-apa baginya," batin Valen berkata.

Darah segar menggalir dari hidung perempuan tersebut, Valen menggetahui itu dan ia hanya menaruh tangan kanannya untuk menghentikan darah tersebut. Valen menarik napas sedalam mungkin, lalu memilih untuk memejamkan matanya alih-alih mengambil obat untuk menyembuhkan mimisannya.

-Hung Out-

Laki-laki itu duduk sambil menatap perempuan di hadapannya dengan raut wajah gamang, sedangkan sosok wanita di sampingnya berulang lali menghela napas

"Dia tidur," kata wanita itu.

Gabrino mengangguk pelan. Matanya tak henti menatap Valen yang kini terbaring tenang di hadapannya.

Wanita itu mengusap bahu Gabrino lalu mengajak laki-laki itu untuk beranjak dari tempat tersebut, namun Gabrino menggeleng kepada mama Valen, kemudian ia tersenyum tipis.

"Sebentar tante."

Vivian mengangguk. "Tante tunggu di ruang keluarga ya."

"Iya Tante."

Lalu Vivian keluar dari kamar Valen yang didominasi dengan warna merah muda dan beraroma strawberry cream, Valen memang menyukai warna dan bau itu. Bahkan Gabrino pernah diam -diam juga tahu itu dari bau parfum perempuan tersebut.

Strawberry cream

Vivian meninggalkan Gabrino sendiri yang saat ini masih terduduk di kursi yang berada di samping tempat tidur Valen.

Gabrino menarik napas dalam. Tangan Gabrino mengusap kepala Valen dengan pelan, wajah perempuan itu terlihat redup berbeda dengan yang biasanya Gabrino lihat.

"Lo itu kayak lubang hitam, berulang kali gue berusaha menghindar tetap saja akhirnya gue terhisap masuk ke dalamnya," bisiknya. Gabrino menatap Valen dalam pandangan lurus.

"Gue khawatir."

-Hung Out-

Gabrino duduk di hadapan Vivian, keduanya terdiam cukup lama semenjak Gabrino kembali dari kamar Valen. Jarum jam pendek sudah hampir menyentuh angka sebelas dan Gabrino tahu kedatangannya benar-benar sudah telat malam itu.

Vivia menyorongkan segelas teh untuk Gabrino, hal yang membuat senyum sopan Gabrini hadir menghiasi wajahnya.

"Gabrino Fadel?"

Gabrino mengangguk, Vivian tersenyum. "Valen banyak cerita tentang kamu," ungkap Vivian.

Gabrino tetap mempertahankan senyum sopannya.

"Valen cerita kalau kamu itu orangnya baik, suka bikin orang tertawa," Vivian menggulang cerita mengenai Gabrino dari Valen. Satu hal yang membuat Gabrino hanya diam.

Vivian lalu menceritakan beberapa cerita tentang Gabrino yang ia tahu dari Valen. Cerita terakhir Vivian di tutup dengan kalimat. "Makasih ya sudah buat Valen begitu bahagia."

Gabrino diam saja, bibirnya tidak melepas senyum. Sekadar senyum formal. Dari percakapan itu Gabrino tahu jika sifat ceria Valen banyak diturunkan dari mami perempuan tersebut. Vibia menarik napas dalam, ia menghentikan ceritanya membiarkan sunyi menikam kedua manusia yang tengah duduk berhadapan di ruang kelaurga kediaman Vivian.

Lalu kebisuan tetap merajai keduanya selama beberapa saat, Gabrino paling tidak suka kondisi seperti ini. Sampai ia mulai berkata pelan. "Tante, Valen sa..."

Vivian mendongak perempuan itu tersenyum pedih.

"Dia sakit."

Vivian tersenyum pedih.

Gabrino berniat ingin bertanya namun Vivian sudah duluan menjawab. "Dia nggak seperti orang kebanyakan, Valen cuma hidup dengan satu ginjal."

Napas Gabrino tercekat, dadanya seolah menolak semua oksigen yang berniat masuk ke dalam paru-parunya.

Vivian berkata pelan. "Dari kecil dia sering sakit-sakitan, namun Valen selalu menganggap dirinya baik-baik saja. Padahal tante tahu dia nggak baik-baik saja."

Lalu setetes air mata Vivian jatuh pada wajah perempuan yang masih terlihat cantik di usianya yang sudah menginjak kepala empat itu.

"Tante cuma punya dia, satu-satunya alasan yang membuat tante bertahan hanya dia. Valen." Vivian menghapus air matanya untuk tersenyum, pada saat itu ia melihat Gabrino yang kehilangan kata-kata semenjak ia menceritakan mengenai kondisi Valen. "Tolong jangan pernah kamu kasih tahu mengenai ini, Valen sama sekali nggak mau satu orangpun tahu kalau dia sakit."

Gabrino tetap diam.

"Dia yang kadang terlihat baik-baik saja, nyatanya tidak seperti yang kamu lihat. Dia rapuh, dia seperti sebuah kertas yang telah dibakar hingga menjadi abu. Sekali kamu menghembuskan udara, maka kertas tersebut abu-abu itu akan berterbangan."

"Tante."

Vivian tersenyum. "Tante nggak egois Gab, tante nggak akan maksa kamu dengan minta kamu di sisi Valen atau buat dia bahagia. Enggak, tante nggak seegois itu."

Mata Gabrino menatap lekat manik mata Vivian, seolah ia tersedot pada hitam pekat mata itu. Mata itu ... Gabrino merindukan seseorang lewat manik mata itu.

"Kadang meninggalkan tanpa kata lebih baik daripada bertahan tanpa rasa."

"Tante," Gabrino memanggil Vivian. Ia tidak mengerti ucapan wanita tersebut

"Jangan jadikan ini alasan kamu kasian sama Valen, tolong jangan. Dia memang suka sama kamu, tapi dia mengerti kalau emang kamu nggak suka sama dia. Dia pasti akan berhenti, anggap saja tante manggil kamu malam ini hanya agar kamu tahu jika anak saya benar-benar suka sama kamu," lanjut Vivian.

Tangannya mengusap bahu Gabrino. "Semoga kamu mengerti."

Bersambung

Kurang ya feelnya? Haha. Maaf ya.

Hung OutWhere stories live. Discover now