TIGA: Selera Tuan Muda

1.4K 273 11
                                    

"Aku nggak suka bukunya, ceritanya boring," Tiga hari setelah membaca buku yang kupinjamkan, Theo mengembalikannya. Sampul Good Omens yang amat kukenal, jadi terlipat di bagian ujungnya. Aku menahan diri untuk tidak geram karena dia merusak bukuku. Aku sengaja tidak meminjamkan buku perpustakaan padanya, karena takut akan kemungkinan semacam ini. 

"Katanya cari yang nggak percintaan?"

"Tapi buku ini boring. Alurnya lambat dan terlalu standar."

Aku hampir menyemburkan air kemasan botol yang sedang kuminum ketika Theo menyebutkan kata standar untuk menyebut karya penulis idolaku. "Kamu nggak tahu, siapa penulisnya? Itu Neil Gaiman lho, penulis novel yang menang banyak penghargaan internasional. Dan partner nulisnya, Terry Pratchett, dia paling terkenal sama serial Discworld. Buku ini tuh karya terbaik dari dua author paling keren se-jagad raya, you know?"

Aku meringis ketika kusadari aku keceplosan berbicara dalam bahasa Inggris seperti cara Theo bicara. Namun Theo rupanya tak terlalu menyadari code mixing (istilah untuk bahasa campur-campur ala Jaksel) tersebut, atau mungkin dalam hatinya bersorak ketika berhasil membuatku mengeluarkan segala pengetahuan yang terpendam.

"Ini bukan buku yang mau kubaca," ucapnya lamat-lamat. Pada saat itu aku mengerti. Sebagian besar isi dari Good Omens memparodikan suatu agama tertentu. Aku jadi amat merasa bersalah telah meminjami Theo buku tersebut.

"Karena tema agamanya, ‘kan?" tanyaku hati-hati. "Maaf bukannya aku ..."

Reaksi Theo sungguh di luar dugaan. Ia tertawa terbahak hingga nyaris mengeluarkan air mata. "I'm a nonbeliever." Aku butuh waktu untuk mencerna kalimat tersebut. "I'm an atheist," dia mengulang dengan bahasa yang lebih bisa dimengerti. "Aku nggak baca buku itu bukan karena aku tersinggung atau apa, tapi karena memang ngebosenin aja."

"Tunggu, tunggu. Kamu bilang kalau kamu ateis, tapi bukannya tiap Minggu kamu pergi ke gereja sama Pak Markus?" satu-satunya kalimat bodoh yang terlintas di kepalaku terlontar begitu saja. Tidak banyak hal yang kuketahui dari Theo kecuali jika hal-hal tersebut menyangkut Pak Markus, karena beliau tipe orang yang sering oversharing tentang kehidupan pribadinya, terutama jika hal tersebut membanggakan. 

"Yeah, and I hate it," Theo menyandarkan punggungnya ke rak gudang. Aku hampir tak ingat di mana kami berada, jika saja dia tidak bersandar di sana, dan aku bahkan belum mulai menghitung stok barang. Kulirik jam dinding di atas kusen pintu. Waktu menunjukkan pukul tujuh malam, sebentar lagi apotek akan tutup. Tidak biasanya Theo berada di apotek sampai semalam itu. 

“Pak Markus nanti ke sini?” tanyaku. Bukan bermaksud penasaran, tetapi aku hanya ingin mencari tahu alasan mengapa Theo masih di sini sampai malam. Mungkin saja Pak Markus yang memintanya untuk tetap tinggal sampai beliau datang.  

“Enggak, tuh. Kenapa? Takut dimarahin?”

“Pasti takut lah, soalnya gara-gara ngobrol sama kamu kerjaan saya belum selesai,”

Aku mulai menghitung kotak obat yang baru masuk hari ini. Theo beringsut mendekat, ia duduk di sebelahku Kami terdiam selama aku memeriksa barang-barang tersebut. 

“Ngomong-ngomong, kenapa kok memutuskan untuk jadi ateis?” tanyaku memecah keheningan. “Kalau nggak mau jawab nggak apa-apa, kok,” tambahku cepat. Theo menyiuk, ia merebut sekotak Parasetamol dari tanganku lalu membantu memasukkan ke kardus penyimpanan. 

"Kenapa kita punya konsep dosa dan pahala? Kenapa orang berdosa disiksa di neraka, dikuliti, dibakar, dicambuk, padahal katanya Tuhan mencintai umatnya. Will you hurt someone you love?" Ucapan Theo membuatku tertegun. Theo bukannya tidak membaca ekspresiku, karena ia buru-buru menjelaskan konsep pemikiran tersebut. "Aku bukannya mau doktrin Mbak, ini hanya pemikiran dari orang ateis macam aku."

"Padahal namamu Theo ya," desisku lirih, entah mengapa aku selalu memikirkan hal-hal bodoh semacam ini. Theo dalam bahasa  Yunani artinya Tuhan. Seseorang dengan nama Tuhan di depan namanya mengaku sebagai bagian dari orang yang tidak percaya akan keberadaan Tuhan, terdengar begitu menggelikan dan ironis. 

Theo tergelak, "My life is an irony."

"Jadi, besok mau dipinjami buku apa?" tanyaku seraya menata kembali tumpukan obat dan menghitung dari awal.

"Mbak punya judul apa aja?"

“Buku pribadiku nggak banyak,” keluhku.

"Ya udah, kalau gitu kirimin aja dulu fotonya.” Theo meraup ponselku yang tergeletak di rak, menambahkan namanya dalam daftar kontak. Dia menyentuh ponselku, membuka aplikasi dan menambahkan dalam daftar teman. Dia menyentuh ponselku. Mungkin hanya aku yang bereaksi berlebihan, namun ketika dia mengembalikannya, kurasa ponselku seolah berubah menjadi benda asing. Dan suhunya terasa lebih panas dalam sentuhanku, karena ada sisa kehangatan dari telapak tangan Theo yang besar.  “Aku udah taruh nomorku. Jangan lupa kirimin aku fotonya ya, biar nggak susah-susah dibawain, tapi aku nggak mau baca."

Aku melanjutkan menghitung stok, sementara dia masih duduk di sebelahku.

"Kamu nggak pulang?" tanyaku. “Nanti dicariin Pak Markus.”

Dari cerita Pak Markus juga, aku tahu jika Theo tinggal di rumahnya selama di sini. Jadi, ke mana lagi Theo akan pulang jika bukan ke rumah beliau. 

"Aku diusir, nih?"

"Bukan, bukan ngusir," kugaruk rambutku yang bahkan tidak gatal. "Tapi nggak biasa aja lihat kamu di sini sampai malam.  Lagian, ini ‘kan gudang."

"Memangnya aku nggak boleh ke gudang? Emangnya di sini ada apaan? Mumi Firaun atau harta karun suku Inca?"

Aku tidak bisa menahan tawa mendengar selorohan Theo. "Astaga receh amat selera humornya."

"But you laughed."

"Iya, bahkan meski nggak lucu, aku nggak tahu kenapa aku ketawa."

Theo menertawaiku. Kami sama-sama tertawa meski dengan alasan berbeda.

"Jadi kenapa aku nggak boleh di gudang? Takut kalau aku curi obat?"

"Bukaaan," Kugelengkan kepala kuat-kuat. "Cuma ... biasanya Bos nggak pernah repot-repot masuk gudang. Jarang banget, kecuali kalau ada barang yang hilang jadi beliau turun tangan nyari sendiri. Itupun selama saya kerja di sini belum pernah kejadian."

"Aku bukan Bos, Mbak. Om Markus bosnya." Theo berpindah posisi ke hadapanku, dia kini duduk di atas tumpukan kardus bekas. "Dan apapun yang terjadi di sini sama sekali bukan urusanku. Jadi terserah aja kalian mau ngatain aku apa, nggak akan berpengaruh buatku. Cuma Mbak Mala yang nggak pernah ngatain aku. Mungkin itu juga kenapa aku cuma mau ngobrol sama Mbak. You don't easily judged others."

Hari ini, hampir dua minggu Theo di sini, aku baru menyadari jika dia berbeda dari orang lain. Theo sama sekali tidak seburuk yang kubayangkan.

 Theo sama sekali tidak seburuk yang kubayangkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Short Term Memory (Eksklusif Joylada) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang