"Di sudut sana, aku menangkapmu"

58 7 0
                                    

"Katanya dalam cinta tidak yang salah. Kurasa itu tidak berlaku padaku. Aku salah, karena karena jatuh dalam cintamu yang main-main . ”

Azura's pov

“Mau balik ke kelas ga? Disini panas gw gakuat.” Tawar Adeeva dibubuhi paksaan.
Entah apa yang terjadi pada matahari. Ia bekerja terlalu keras. Barangkali ia juga bersemangat untuk mendedikasikan diri pada classmeeting tahunan ini seperti panitia-panitia yang asyik mondar-mondir tanpa memperdulikan peluh yang menetes.
“Azura ayooo!” ujar Adeeva dengan memasang wajah memelas andalannya. Ah dia itu, aku masih ingin disini. Bosan sekali jika terus terusan di dalam kelas memang sih ada beberapa anak yang memutar film dengan bantuan projektor agar terlihat seperti bioskop ala kadarnya lebih tepatnya layar tancep, kata ibuku.
Ketika hendak memutar badan menuju anak tangga dengan sedikit tarikan dari tangan Adeeva yang sedari tadi menggenggam tanganku. Tiba-tiba saja seseorang memanggilku. Ah, dewa penyelamatku dari kebosanan. Sebenarnya sama saja jika di dalam kelas atau dipinggir lapangan seperti ini. Sama sama menonton. Bedanya disini aku sedang menonton pertandingan futsal antar kelas. Tidak hanya futsal, panitia juga mengadakan pertandingan basket, dance, dan musikalisasi puisi.

“Yee si dodol malah bengong.” ujar cowok berkulit sawo matang itu setengah berteriak. Jarak kami memang cukup jauh. dan teriakannya itu berhasil membuat beberapa murid memusatkan pandangannya padaku. Pipiku chubbyku langsung bersemu merah karena malu.

Ah bodoh. Rutukku dalam hati.

“Deev, lo duluan aja deh tar gw nyusul. Tuh anak kambing teriak-teriak gitu ada yang penting kayaknya.”

Aku berjalan cepat diselingi lari kecil. Sebagian dari murid-murid itu masih menatapku. Ada apa dengan mereka. Remaja jaman sekarang ingin tahu saja urusan orang. Sedetik kemudian aku sadar bahwa aku juga bagian dari ‘remaja jaman sekarang’ hehe...

“Kenapa sih? Lo gak liat apa orang orang jadi pada ngeliatin gw gitu. Bisakan lo nyamperin gw aja gausah teriak teriak.” Kataku disusul dengan aksiku mengerucutkan bibir.

“Iya sorry, gw cuma mau nanya kok lo gak nganterin Dalvin ke bandara?”

“Ha? Emangnya dia kemana? Liburan ke luar negeri?”

“Jadi lo gak tahu?” air muka Ari, lawan bicaraku saat ini langsung berubah menjadi sedih.

“Apa? Gw gak tahu apa? Serius buruan sian si Deeva nungguin gw.”
“Di...Dia. ehm, Dalvin pindah ke Jerman.” Kemudian dia berdehem kecil. Aku tau Ari tidak enak menyapaikan ini padaku. Terlihat jelas dari gelagatnya. Dan aku mulai menerka sepertinya akulah yang terakhir diberi tahu. Maksudku dari teman-teman Dalvin yang lainnya.

Air mataku menetes. Satu tetes, dua tetes, dan terus mengalir seperti kran yang bocor disudut halaman itu akibat ulah Dalvin. Aku menatap lurus, aku benar benar terpukul. Dalvin sahabatku bisa bisanya dia tidak memberitahuk. Sialan. Dan lebih sialnya cowok itu menatapku dengan sorot kebingungan. Aku jadi malu namun aku benar-benar tidak bisa menghentikan air mata ini. Dia masih menatapku, sepertinya dia benar-benar menatapku. Bukan hanya geer-ku semata. Aku membalasnya. Dia menjadi salah tingkah karena aku sangat lekat melihatnya. Aku malah seperti sedang menilainya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dia mengalihkan pandangan, kasarnya ‘buang muka’. Dan aku juga.

“Jangan cengeng pendek. Nanti maskaranya luntur loh.” Ujarnya untuk menakut nakutiku, Ari salah aku tidak pernah ambil pusing dengan hal semacam itu. karena aku memang tidak pernah memakai mascara, eyeliner, atau benda semacam itu. aku hanya mengoleskan bedak tipis pada wajahku.

Author's pov

Dikantin...
Azura kacau dan kembali mengingat percakapan terakhirnya dengan Dalvin. Ia mencoba untuk menerka-nerka apa kesalahan yang telah ia lakukan sehingga harus mengetahui kepindahan sahabatnya dari Ari yang notabene nya juga sahabat Azura. Namun Ari dan Dalvin tidak terlalu dekat hanya sebatas kenal saja.
Lamunan gadis itu tersentak oleh suara barito milik lelaki yang kini telah bertengger dikursi panjang kantin yang sama dengannya. Jarak mereka hanya satu jengkal saja sehingga membuat Azua bisa melihat dengan jelas wajah lelaki itu.

“Es teh satu, pake batu es bukan batu bata.” Guyonannya garing. Ia sengaja. Apa mungkin dia tahu selera humor Azura rendah sekali. Ari biasa menyebutnya “receh” karena guyonan se garing apapun dapat membuat Azura tertawa atau  paling tidak tersenyum. Dan entah sadar atau tidak lelaki itu telah membuat senyum Azura mengembang untuk beberapa saat. Sebeum akhirnya berubah jadi murung lagi.

“Jelek.” Suara itu berhasil menarik perhatian Azura.

“Ngomong sama siapa lo?” Ujar Azura  ketus.

“Lo jelek kalo sedih. Maksud gw pas senyum lo juga ga cantik. Standar aja. Terus lo murung bikin muka lo keliatan dibawah rata-rata.” Lelaki itu berbohong. Atau mungkin standar kategori cantik menurutnya memang sangat tinggi.

Semua orang tahu Azura tidak standar. Ia memiliki wajah diatas rata-rata atau bahkan bisa dibilang cantik. Sepertinya lebih tepat jika dikatakan manis. Hidung bangirnya(tidak mancung tetapi tidak juga pesek), kulit putih walaupun tidak seputiih Tania si primadona sekolahnya, bibir tipis berwarna merah muda yang seringkali kering, alis yang cukup tebal pas sekali dengan matanya yang bulat dan berbulu mata lentik.

“Jangan sedih apalagi sampe nangis. Dan ini—“ Sambil menyodorkan sebuah ikat rambut.

“Ini punya lo kan. Kayaknya tadi jatuh pas lo lari-lari gak jelas.” Sambungnya.

“Thanks.” Ucapnya walaupun Azura yakin bahwa laki laki itu tidak mendengar ungkapan terima kasihnya karena ia telah menjauh hanya punggungnya yang masih terlihat samar.

Azura tersenyum. Ia menyadari ada sesuatu yang bermekaran di dalam dirinya. Secepat itukah?
Tidak mungkin. Azura menyangkal.

                                ---

Haiii... Makasih udah mau baca cerita jelek gw ini. Maaf masih jauh dari kata bagus karena gw masih pemula. Doain aja ya supaya gw bisa nulis lebih baik lagi kedepannya. Btw jangan cuma read yaa minta votenya juga hehe... Salam manis untuk kalian para readers

Tifalanka

-Z-Where stories live. Discover now