14. Tersemu

4.3K 342 16
                                    


"Ada yang ingin kamu tanyakan?"

Kedua bahuku terangkat, kemudian yang kulakukan adalah menggaruk kasar kulit kepala yang sebenarnya tidak gatal.

"Aku tidak mau menerimanya, Fa. Aku tidak mengerti sama sekali dengan laporan ini," kusodorkan lembaran-lembaran yang tadi ia berikan padaku agar bisa mempelajarinya. Melihat barisan kalimat 'angka disajikan dalam ribuan Rupiah kecuali dinyatakan lain' saja sudah membuat pusing tujuh keliling karena kewalahan menambah angka nol di belakang sembilan digit deretan itu guna menghitung sekian persen yang akan menjadi bagianku.

"Kamu melakukan semua ini karena kak Arini, kan?" tanyaku lirih. Mengatakan padanya agar tak merasa bersalah atas apa yang menimpa kak Arini sepertinya tak mempan. Fabian masih saja memperlakukanku berlebihan, dalam artian yang positif tentunya. Tapi, itu membuat sesuatu dalam diriku merasa tak enak. Bukan tidak suka, hanya saja ia sudah melampaui batas dengan semua kebaikannya. Memberiku 5% saham atas perusahaan yang ia kendalikan, aku benar-benar tak habis pikir dengan apa yang ada di dalam kepalanya. Prosentasenya memang kecil, hanya 5% namun setelah kuhitung berapa yang akan kuterima, napasku seakan berhenti begitu saja. Aku bisa saja membeli rumah dengan perkakas lengkap setiap tahunnya dan itu bisa membuatku gila. Akan kuapakan uang sebanyak itu?

"Arini mendapat bagian sendiri."

Mataku membelalak tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Saham ia bagi-bagikan seperti permen? apa semua pengusaha bertingkah gila sepertinya?

"Aku tidak mau. Aku tidak tahu uang sebanyak itu akan kugunakan untuk apa. Memikirkannya saja membuat kepalaku serasa mau pecah," kutolak dengan cepat.

Fabian menatapku lurus kemudian bangkit dari kursinya menuju dinding kaca yang menampilkan pemandangan gedung-gedung tinggi dan berdiri memunggungiku disana. Apa yang sedang ia pikirkan?

"Warisan dari nenek sudah cukup, Fa. Aku juga punya penghasilan dari rumah sakit dan beberapa klinik yang memakai jasaku jadi hidupku tidak kekurangan," tambahku. Oh, aku lupa jika masih punya bagian tanah dari mendiang ibu.

Ia menghembuskan napasnya sebelum berjalan menghampiriku, "Kamu bagian dari keluarga Haristama juga sekarang."

"Lalu?" aku masih tidak mengerti. Menjadi bagian keluarga bukan berarti mendapatkan apa yang seharusnya tak menjadi hakku. Kasih sayang melimpah yang kudapat dari mereka sudah lebih dari cukup, tidak perlu embel-embel materi hanya untuk mengukuhkan bahwa aku telah resmi menjadi bagian dari mereka.

"Fa, aku tidak ingin bermasalah dengan pajak yang harus kubayar," aku masih berusaha mengelak.

Fabian tertawa, "Perusahaan akan mengurus semuanya, kamu tahu itu."

"Tetap tidak, Fa. Aku tidak mau," kukuhku kemudian membuang muka karena Fabian mulai menatapku lamat-lamat. Aku tidak suka jika dia sudah seperti ini.

Fabian menghela napas untuk kesekian kalinya, "Arina, saat seseorang menyakiti salah satu anggota keluargamu, apa yang akan kamu lakukan?"

Kuhirup udara dalam-dalam, apa lagi kali ini?

"Semua orang bertindak atas suatu dasar, jadi akan lebih bijak jika kita tidak gegabah menghakimi sebelum mengetahui alasan mengapa ia menyakiti," Fabian mengangguk kemudian memberi isyarat untuk meneruskan opiniku. "Bisa saja memang pihak kita yang bersalah, tapi kalau terjadi sebaliknya mengapa tak mencoba meredam amarah daripada meniup angin hingga membuat api semakin besar."

ASA (New Edition)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang