1. Plin-Plan

12K 644 19
                                    

Dari sini flashback masa lalu Arina ya, Guys...

Happy reading *_^


Delapan belas tahun yang lalu...

"Kamu menyukainya?" Bintang menyikut lenganku saat mendapati diriku tengah menatap dia yang kini tengah menggiring bola ke arah gawang lawan.

"Ti...tidak," aku mengelak meski akan sia-sia. Entah mengapa Bintang lihai sekali membaca isi hati dan pikiran orang lain. Berbeda dengan dia, meski terkesan lembut namun dia lebih banyak tidak peduli pada keadaan sekitar terlebih terhadap perasaan khususku.

"Jangan berbohong! aku bisa membantumu jika kamu mengatakan yang sejujurnya padaku," lagi, Bintang mengedipkan sebelah matanya menggodaku.

Aku menggeleng, aku yakin pasti saat ini pipiku memerah.

"Sampai kapan kamu terus memendamnya? kita akan segera lulus dan berpisah saat masuk universitas nanti. Tidak ada salahnya mengungkapkan perasaanmu padanya," nada suara Bintang terdengar serius.

"Dia sudah memiliki pacar, Bintang."

"Ya, aku tahu. Nayla, namanya. Masih pacar bukan seorang isteri."

"Bintang!!!"

"Apa? selama janur kuning belum melengkung, tidak ada yang benar-benar sah memilikinya kecuali kedua orang tua dan seorang adiknya yang sangat manis sekali itu," Bintang terkekeh sekaligus menerawang, entah ia membayangkan apa.

"Jangan katakan apapun padanya, berjanjilah padaku," aku memohon pada Bintang karena kini dia yang menjadi bahan perbincangan tengah berlari-lari kecil menghampiri kami.

Kemudian dia duduk disampingku dan menunjuk Bintang untuk menggantikannya. Meski menggerutu Bintang tetap bangkit dan menggantikan posisinya di tengah lapangan.

Inilah yang biasa kami lakukan setiap hari Minggu. Menghabiskan Minggu pagi kami untuk sekedar berolah raga bersama. Hal ini sudah kami lakukan sejak persahabatan kami terbentuk tiga tahun yang lalu.

"Serius sekali, apa yang kalian bicarakan?" tanyanya setelah menenggak sebotol air mineral hingga tandas.

"Ti...tidak ada, hanya rencana masuk universitas."

Dia bergumam seolah mengerti. Aku bisa bernafas lega karena dia tak menanyakan lebih lanjut topik pembicaraanku dengan Bintang. Tidak mungkin aku mengatakan padanya bahwa dia-lah topik pembicaraan kami.

"Universitas mana yang akan jadi pilihanmu?" ia menoleh padaku.

Aku diam enggan menjawab, ia masih setia menatapku membuat detak jantung ini semakin tak beraturan.

"Arina," panggilnya lirih, mau tak mau aku menatapnya.

"Aku dan Bintang telah sepakat untuk masuk ke universitas yang sama."

Aku tersenyum kecut padanya. Bintang memang telah menceritakan perihal rencana mereka berdua yang akan memilih universitas yang sama, bahkan jurusan yang akan mereka ambil pun sama.

"Aku harap kamu juga melakukan hal yang sama, karena aku tidak ingin kehilangan sahabat sebaik kalian berdua selamanya."

Sahabat? selamanya? aku tersenyum miris. Hanya sebatas sahabat. Harusnya aku tidak pernah berharap terlalu banyak sejak dulu. Harusnya aku mampu menekan rasa yang bergejolak jika selalu berdekatan dengannya. Harusnya aku mampu mengubur dalam-dalam semua perasaanku untuknya. Harusnya dari awal aku tidak pernah mengenalnya dan harusnya pilihanku untuk pergi secepatnya adalah pilihan yang terbaik untukku dan juga untuk hubungan kami yang bergelar sahabat.

ASA (New Edition)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang