12. Harga Yang Pantas

5.4K 348 23
                                    

There is no reason to look back, when you have so much to look forward...

Entah apa maksud ayah membisikkan kalimat tersebut sebelum beliau akhirnya masuk peron dan menaiki kereta api tujuan Yogyakarta semalam. Jika ayah masih bersikeras membujukku untuk menerima lamaran Adrian, sia-sia saja. Sifat keras kepala beliau sepertinya menurun dengan sangat baik padaku. Ada beberapa peristiwa dimasa lalu yang harus dipertimbangkan jika tak ingin terjebak dalam lubang yang sama kelak. Bukan kecemasan berlebihan, hanya saja ingin bersikap lebih hati-hati. Bukankah lebih baik mencegah daripada mengobati?

"Dokter Arina!"

Aku tersentak dari lamunan singkatku, kemudian mengerang begitu melihat Nana terkikik geli seraya membekap bibirnya.

"Ada apa?!" tanyaku pura-pura marah padanya. "Ibu Ratu sudah datang?"

Kulirik jam pada pergelangan tangan kiri, seharusnya masih setengah jam lagi janji temuku dengan Ratu yang akan kami akhiri dengan makan siang bersama karena sudah lama tak bersua.

Nana menggeleng, "Jangan suka melamun nanti jodohnya menjauh."

Aku mendecih, gadis kecil ini sekarang suka sekali bertingkah layaknya orang dewasa hanya karena ia akan segera menikah.

"Ada seorang bapak ingin bertemu dengan Dokter," lanjutnya dan berhasil mendapatkan perhatian penuh dariku. "Beliau sedang menunggu di depan."

Sebelah alisku terangkat. Seorang bapak? tidak mungkin ayah ataupun dokter Bowo. Ayah sudah tiba di Yogyakarta dan Nana tidak mungkin amnedak – amnesia mendadak – hingga tidak mengenali dokter Bowo. Setidaknya hanya dua orang berlabel bapak itu yang akan mengunjungiku disini.

"Kalau dokter Arin tidak ingin menemuinya, beliau tidak akan memaksa," imbuh Nana, membuatku bertambah penasaran.

Aku menghembuskan nafas perlahan sebelum akhirnya bangkit untuk mencari tahu siapa yang datang menemuiku. Mungkin memang ada hal penting yang ingin beliau sampaikan lagipula masih ada waktu.

Nihil, tidak tahu siapa yang berdiri membelakangiku di ujung lorong lantai dua bangunan ini. Sosok itu tampak sangat asing bagiku. Beliau yang sedang berdiri menatap jalanan dari balik dinding kaca tebal itu tampak tidak terganggu sama sekali dengan kehadiranku.

Aku berdeham untuk mengurangi kegugupanku serta memberi isyarat bahwa aku sudah berada tepat di belakang beliau, "Permisi."

Beliau berbalik. Seolah bangunan ini runtuh seketika dan aku terperosok ke dalamnya begitu beliau menampakkan wajahnya. Dan aku dengan senang hati memilih untuk tetap tertimbun dalam reruntuhan bangunan itu daripada membalas tatapan beliau.

"Sibuk?"

Aku mengangguk kemudian menggeleng. Ingin menjawab pertanyaan beliau namun suaraku hilang entah kemana. Siapa saja tolong selamatkan diriku dari kecanggungan ini!

"Ayah hanya ingin mampir menyapamu. Maaf jika ayah mengganggu."

Ayah?

Pendengaranku masih normal, kan?

Bingung, aku sudah bersiap menerima amukan beliau dikarenakan pertemuan terakhir kami. Aku yakin kesan yang kutinggalkan pada beliau tidak cukup bagus. Bukan sekedar tidak cukup bagus, sepertinya 'kurang ajar' sangat pas untuk mendefinisikan tingkahku saat itu. Tapi, apa yang kudapatkan kali ini? membuatku ingin segera berlari memeluk lututnya dan mengucapkan ribuan permintaan maaf yang mungkin tidak akan cukup untuk menebus apa yang telah kulakukan pada beliau dan keluarganya.

ASA (New Edition)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang