Prolog

20.2K 777 15
                                    

"Arina, sebentar lagi pembeli bunga itu akan segera tiba."

Aku mengerutkan kening tidak suka. Seharusnya masih dua jam lagi ia akan datang, tetapi mengapa sepagi ini?

"Aku tahu, kamu keberatan. Dia ingin memberikan kejutan pagi hari untuk kekasihnya," ia tersenyum seperti biasa seakan mengerti ketidak-sukaanku terhadap situasi ini. Senyumannya hangat dan menenangkan. Mirip dengan seseorang yang selalu kurindukan.

Aku memiliki sebuah kios bunga yang terletak di jantung kota ini. Tidaklah besar karena aku memang tidak berniat membuka sebuah kios bunga seperti yang lain, hanya saja karena tempat tinggalku berada diantara para penjual bunga dan aku menghias pondok kecil ini dengan berbagai macam bunga hias, mereka menganggapku juga ikut membuka kios bunga ini. Mau tak mau aku menuruti keinginan beberapa orang yang mampir dan berniat membeli bunga-bunga hias yang kurawat disela-sela waktu luang yang kumiliki, dan jadilah kios ini. Selain menjual berbagai macam bunga hias, kiosku juga menyediakan bibit-bibit unggul berbagai macam buah yang umumnya ditanam di kota ini seperti mangga, rambutan, durian, jeruk, kelengkeng, dan masih banyak lagi.

"Oh, iya, aku lupa mengatakan kemarin. Dia menginginkan hanya rangkaian kuncup mawar putih."

Kali ini mataku mengerjap tak percaya. Ini kios bunga kecil bukan florist layaknya yang terdapat di kota-kota besar seperti ibu kota. Aku juga tidak bisa merangkai bunga seperti mereka yang bergerak dalam bidang itu, yang benar saja?

"Baiklah. Ayo, Anna, kita pergi main dengan Abdillah," ia bangkit meraih tas ransel mini milik Anna, buah hatiku. "Anna, ayo pamit pada bundamu."

Anna melompat dari kursinya, berlari menubruk badanku dan memelukku. "Bunda, Anna main dulu," suara cadelnya membuatku selalu tertawa mendengarnya.

Aku tersenyum seraya mengusap kepalanya. Kukecup kening dan pipinya bergantian, "Hati-hati sweetheart, jangan nakal ya?"

Harusnya hari ini aku pergi berlibur dengan mereka, tetapi karena pembeli bunga yang tak lain adalah relasi bisnis Bastian yang paling ia segani, mau tak mau aku harus rela melepas Anna pergi berlibur dengan Bastian dan keluarganya tanpa aku yang biasanya tak pernah absen ikut serta dengan mereka.

Bastian, sudah kuanggap seperti kakakku sendiri. Sejak kedatanganku ke kota ini, Bastian dan isterinyalah yang selalu membantuku dalam banyak hal. Mulai dari mencarikan rumah untukku karena aku menolak tinggal serumah dengan mereka karena tak enak hati jika harus merecoki kehidupan suami-isteri mereka, menjagaku setiap malam untuk memastikan kesehatanku pasca melahirkan Anna, menyayangi Anna bak puterinya sendiri dan masih banyak hal lainnya yang dengan suka rela Bastian serta Maya-isterinya-lakukan.

***

Sebuah sedan mewah berhenti tepat di halaman kiosku, pasti dia orangnya. Aku sengaja mengacuhkannya, pura-pura sibuk membersihkan daun-daun bunga anggrek yang berdebu agar tampak segar.

"Permisi, saya ingin mengambil pesanan bunga saya," ucapnya tanpa basa-basi.

Aku membalikkan badan, memasang wajah yang sudah siap menerkam. Seenaknya saja dia datang pagi-pagi dengan permintaan yang tidak kumengerti sama sekali. Rangkaian kuncup bunga mawar putih, hanya kuncupnya saja hingga bagian yang lain harus kupangkas dengan berat hati. Mengesalkan!!!

"Arina!!!"

Aku menjatuhkan sprayer serta lap yang ku pegang. Aku tidak menyangka akan bertemu dengannya disini, di kota kecil ini.

Ia menarikku ke dalam pelukannya, "Bagaimana kabarmu? apa kamu baik-baik saja? apa yang membuatmu bisa terdampar di kota ini?" tanyanya tanpa jeda. Sedetik kemudian ia melepaskan pelukannya dan menatapku lekat-lekat.

"Ak...aku...aku baik-baik saja," jawabku terbata.

Bintang kembali memelukku, kali ini lebih erat. Mungkin ia terlalu rindu padaku. Terakhir kali kami bertemu pada saat pesta pernikahanku dulu, lima tahun yang lalu.

Tak terasa air mataku menetes. Bintang yang merasakan dadanya basah pun segera menjauhkanku dari tubuhnya. Ia menatapku sendu, kemudian menggiringku masuk ke dalam rumah untuk menenangkanku.

Disinilah kami berdua sekarang. Duduk di halaman belakang tanpa satupun yang berniat membuka suara. Kami sama-sama diam, hanya gemericik air dari kolam buatan yang tak terlalu besar menjadi sahabat kebungkaman.

"Bagaimana kabarmu, Bintang?" suaraku sudah tenang meski tadi sempat menangis. Sebenarnya aku tak tahu harus berbicara apa dan hanya pertanyaan standar itulah yang mampu keluar dari bibirku.

Bintang menarik nafas kemudian menghembuskannya secara perlahan. Pandangannya mengikuti arah ikan yang berenang kesana kemari berkejaran dengan yang lain.

"Apa yang sebenarnya terjadi pada kalian? dia juga bungkam tak mau mengatakan apapun padaku. Mengapa kamu tiba-tiba pergi, Arina?"

Aku tersenyum tipis mendengarnya.

"Terakhir kali aku bertemu dengannya enam bulan yang lalu. Dia terlihat kacau sekali meski berusaha bersikap setenang mungkin. Apakah dia tahu kamu berada disini?"

Aku menggeleng meski ragu Bintang akan melihatnya.

"Aku akan mengabarinya dan mengatakan kalau kamu berada disini. Aku..."

"Jangan!!!" aku menyergah Bintang yang sedang merogoh saku celana dan berhasil mengeluarkan ponselnya secepat mungkin.

Bintang mengerutkan keningnya menatapku. Aku menggeleng sekali lagi seraya menatapnya memohon agar ia mengurungkan niatnya.

"Mengapa, Arina? dia kebingungan mencarimu, hampir setiap malam dia menyusuri jalanan kota hanya untuk mencarimu," Bintang meraih pundakku, menatap tepat pada manik mataku.

"Berjanjilah padaku kamu tidak akan mengatakan apapun padanya, Bintang. Berjanjilah padaku. Anggap saja kita tidak pernah bertemu. Aku mohon padamu untuk kali ini saja, biarkan aku menyelesaikan semua ini sendiri," suaraku terdengar parau. Aku berusaha sekuat mungkin untuk tidak menangis lagi di depan Bintang.

"Hubungi aku jika kamu membutuhkan sesuatu. Aku akan berada disini untuk waktu yang cukup lama," ucapnya setelah kami terdiam cukup lama. Bintang menyeka air mataku yang entah sejak kapan menetes.

Aku mengangguk seraya tersenyum padanya, "Sekarang mari kita pergi ke depan. Bukankah kamu ingin memberikan kejutan pada kekasihmu?"

Aku beranjak, menarik lengan Bintang namun ia menahanku.

"Pertimbangkanlah, Arina. Dia benar-benar gila tanpamu."

***

gimana gimana?

ada typo?

Happy reading guys *_^

Kaza Alrita




ASA (New Edition)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang