BAB 7

196K 12.1K 265
                                    

Karna kemarin ada yang minta supaya telfonnya gak di angkat, maka ku kabulkan nak ^^

***

"Kenapa?"

Nadra dan Aby sama-sama menolehkan kepala ke arah Uti yang sudah kembali dari memesan makanan, Ditangannya tampak ada nomor meja dan juga dompet Kate Spade, kado dari Nadra saat Uti berulang tahun yang ke 29 di awal tahun ini.

"Lagi bicarain apa sih? Kok serius amat muka-mukanya." Uti menarik kursi di sebelah Nadra dan menempatkan bokongnya disana. Pandangan matanya bergerak cepat dari Nadra kemudian beralih ke Aby, menunggu salah satu dari mereka untuk menjawab pertanyaannya itu. "Ngomongin politik ya? Yang calon gubernur itu?" Kembali Uti mengajukan pertanyaan agar suasana lebih cair.

"Ya aku kan bukan penduduk Jakarta, ngapain ikut musingin calon gubernurnya."

"Loh Mas Aby bukan orang sini?" Nadra mengulang pernyataan Aby itu menjadi sebuah kalimat tanya dengan dibumbui sedikit rasa penasaran. "Terus penduduk asli mana, Mas?"

"Aku asli Bandung. Dari kecil sampai segede ini juga masih betah di Bandung."

"Bandung sih enak ya pemimpinnya udah pas banget. Itu walikota Bandung, Kang Emil, kayanya berhasil bikin warganya makin bahagia dan puas dengan Bandung. Aku kalau liat instagram beliau suka ikut senyum, lucu. Ya susah jaman sekarang cari yang kaya beliau, orang birokrasi tapi begitu pro rakyat."

Uti menopang dagunya dan tersenyum diam-diam. Ia ikut senang melihat sahabatnya yang dari lahir sampai akan mendekati usia kepala 3 itu sedang mencoba membuka diri pada pria lain, dan Uti merasa jika Mas Aby adalah pria terbaik bagi Nadra, dibandingkan dengan Senna yang kerjanya hanya bisa datang dan pergi sesuka hati tanpa memberi kejelasan. Jaman sekarang tuh yang perempuan butuhkan cuma kepastian akan hubungan, mereka tidak meminta dibuatkan 1000 candi seperti jaman roro jongrang.

"Hp kamu kayanya bunyi lagi deh."

"Hah?" Nadra tampak salah tingkah kembali, Apalagi setelah melihat nama yang muncul di layar hp untuk ke 3 kalinya hari ini di depan Aby pula...

Senna

Mata Uti ikut melirik ke arah penelfon yang muncul di layar hp Nadra dan tangannya dengan refleks cepat langsung menekan pada bagian reject. Nadra yang melihat kejadian itu hanya bisa menatap Uti ragu.

"Makanannya kok lama ya? Si Abangnya nya lupa anter atau gimana nih?" Uti mulai menggerutu kesal, padahal rasanya belom sampai 5 menit dari proses memesan tadi. "Padahalkan soto cuma tinggal di panasin aja..."

"Biar coba aku aja yang ambil ke stand. Di stand yang soto ujung itu kan ya, Ti?" Aby mendorong kursinya kebelakang, memberi celah agar ia bisa keluar.

"Iya yang itu Mas, thanks loh." Uti sedikit merasa lega karna Mas Aby mulai berjalan menjauh dari tempat mereka duduk tadi.

"Ngapain sih itu cowo nelfonin lo lagi? Lo coba hubungin dia ya? Dan lo mau angkat itu telfon?"

Tuduhan Uti yang bertubi-tubi membuat Nadra menghela nafas lelah. Ia sudah kurang istirahat sejak kemarin, dan dia sedang tidak ingin berselisih paham dengan sahabatnya hanya karna masalah Senna, "Udah lah diemin aja...." Nadra memasukan kembali hpnya kedalam tas yang ia bawa dan berharap obrolan mengenai Senna itu tidak akan di bahas kembali.

Uti terlihat jelas masih ingin membahas Senna, tapi melihat raut enggan di wajah Nadra pun membuatnya tau diri, "Tadi bicarain apa aja sama Mas Aby?"

"Ya ini itu...."

"Ini itu kaya apa cintaaa?" Balas Uti gemas.

Rasa ingin tahu Uti memang di atas rata-rata. Tapi kalau udah kaya gini sih.... Bikin kesel juga.

"Ti, gue tau niat lo baik ingin membantu gue, tapi lo juga harus tau kalau perasaan tuh gak bisa di paksakan. Jadi please biar diri gue terbiasa dulu sama Mas Aby, dan please jangan terlalu mendesak gue untuk nerima Mas Aby. Okay? Biarin semua mengalir dulu aja."

Uti seperti tertohok saat mendengar permintaan Nadra. Ia terlalu fokus dalam perjodohan ini sampai melupakan perasaan Nadra sendiri, "Sorry, Nad. Gue gak maksud mendesak lo terus menerus. Gue cuma ingin yang terbaik buat lo."

"Diri gue yang lebih tau mana yang terbaik sebenernya, Ti, Tapi gue sangat menghargai usaha lo untuk bikin gue bahagia."

Uti tersenyum tulus sambil mengenggam tangan Nadra, "Jadi mendadak mellow deh kan."

"Ini pesanan para princess."  Mas Aby datang mendekat sambil membawa baki besar yang berisi 3 mangkuk soto, "Si Abangnya-nya lagi ribet banyak yang pesen jadi lama antarnya." Jelas Mas Aby sebelum Uti sempat bertanya.

"Wih udah dateng, asik, thanks loh Mas!"  Uti dengan bersemangat membantu Mas Aby untuk memegang baki.

"Ini yang kamu pake babat kan?" Mas Aby mengangkat mangkuk soto dan mendekatkannya ke depan Nadra.

"Thanks ya, Mas." Balas Nadra disertai senyum.

"Ih ini ada daun bawang, padahal kan aku udah pesen gak pake daun bawang." Uti mulai menggerutu manja saat melihat daun hijau itu menghiasi mangkuk sotonya. Uti memang tidak suka dengan sayur, terlebih yang berwarna hijau karna ia pernah trauma mengunyah congcorang, belalang berwarna hijau yang disangkanya adalah daun bawang.

"Yaudah sini pindahin ke mangkuk aku aja." Mas Aby mendekatkan mangkuk sotonya ke dekat mangkuk soto Uti, siap memindahkan daun bawang itu.

Melihat perlakuan Mas Aby pada Uti yang notabennya adalah sepupu, Nadra sudah dapat mengambil kesimpulan dengan cepat bahwa pria itu sangat menghargai dan menghormati perempuan. Hal-hal kecil yang dilakukan oleh Mas Aby seperti mengucapkan 'terima kasih' kepada petugas kebersihan atau sekedar 'permisi' saat akan melewati lantai yang basah setelah di pel, itu sudah mampu membuat Nadra luluh. Jadi tampaknya mencintai sosok Aby bukanlah hal yang sulit.

***

Friends With BenefitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang