Bab 7. Rahasia Casey

781 179 63
                                    

"Hangus. Terbakar ketika kusentuh." Brianna menjawab dengan suara tertahan ketika Nicholas menanyakan keberadaan surat misterius itu. Gadis itu masih pusing dan mual gara-gara Apparate dadakan tadi. Perutnya terasa melilit. Ia bersyukur belum sempat makan siang tadi.

"Brie jelas-jelas diserang ketika sedang terbang, lalu dipaksa mengirim surat ke sini," gumam Nicholas ketika ia memeriksa kaki burung hantu di ruang kerja Casey.

"Aku... apa?" Brianna terengah sambil mencengkram ujung sandaran sofa. Sepertinya ia akan memuntahkan asam lambung, sebagai gantinya.

Nicholas sudah mengeluarkan selembar kain putih dan beberapa peralatan lain dari koper kulitnya di atas meja. Lalu dia mengelap bagian bawah cakar burung hantu itu dengan kain sementara burung hantu itu tampak tidak begitu senang dan ingin melepaskan diri dari cengkraman Nicholas. "Maksudku Brie, burung hantu ini." Ia memasukkan kembali hewan itu ke dalam sangkarnya dan mulai mengamati kain putih yang penuh noda kecoklatan.

"Nama burung hantu itu... Brie?" tanya Brianna tidak percaya. Bisa-bisanya Casey menamai burung hantu itu dengan nama yang mirip dengannya.

"Bukan bermaksud membela Casey, tapi burung hantu ini sudah ada sejak ia berumur sepuluh tahun." Sekarang Nicholas mulai mengorek-ngorek kotoran di kain tersebut dengan pinset, mengamatinya di bawah kaca pembesar bergagang kayu. Brianna masih belum mengerti apa yang sedang dikerjakan Nicholas, tapi gadis itu memilih membiarkannya.

"Muntah saja," katanya lagi ketika melirik Brianna yang masih pucat. Mau tidak mau Brianna merasa sedikit kesal. Pria bertampang awut-awutan itu bukannya mengucapkan 'Maaf' atau menanyakan, 'Apakah kau baik-baik saja?'. Tapi 'Muntah saja'. Muntah saja.

Berusaha mengabaikan perkataan Nicholas dan membuang jauh perasaan kesalnya, Brianna menarik napas dan berkata, "Kenapa Casey menyuruhku mencarimu? Apa kau teman dekatnya? Aku tidak pernah mendengar tentangmu, sampai tadi." Brianna sudah mulai berhasil mengatasi mualnya, dan kini ia berdiri di samping Nicholas, mengamati pria itu yang mulai mengusapkan sesuatu yang mirip seperti cotton bud  ke permukaan kain. Bahkan Brianna masih bisa mencium bau cat yang cukup kuat dari tubuhnya.

"Kami sepupu. Tidak heran kau tidak pernah mendengarnya. Aku tidak pernah terdengar oleh siapapun," sahut Nicholas tanpa memandang Brianna. Ia mengeluarkan sebuah kuali pendek mini dari dalam kopernya--yang seharusnya tampak tidak mungkin bisa muat dalam koper tipisnya yang berisi banyak perlengkapan lain--lalu mengeluarkan tongkat sihirnya dan bergumam, "Aquamenti."

"Tapi kenapa harus kau?" tanya Brianna ketika  ujung tongkat sihir Nicholas mulai mengalirkan air ke dalam kuali.

Nicholas malah balik bertanya, "Apa yang kau ketahui tentang orang tua Casey?"

"Kalau mereka sudah meninggal?" Brianna mengernyit, tidak mengerti apa hubungan orang tua Casey dengan semua ini.

"Apa penyebabnya?" Ia mulai mengambil beberapa bahan dari dalam tabung--sebagian berbentuk bubuk, sebagian lagi berbentuk potongan-potongan kecil, lalu menuangkannya ke dalam kuali.

Brianna terdiam. Ia sadar, kalau ia tidak tahu apapun, dan hal itu membuatnya frustrasi.

Nicholas melirik syal bergaris cokelat-kuning yang Brianna kenakan, lalu mendengus. "Dunia penyihir yang sebenarnya terbagi menjadi dua golongan yang saling bertentangan. Occultis dan Dissentum." Ia mengaduk-adukkan kuali dengan tongkatnya dengan gerakan memutar searah jarum jam.

"Aku tahu," sahut Brianna cepat. 

Nicholas menyipitkan matanya, membuat wajahnya terlihat beberapa kali lebih cemberut dari biasanya. "Keluarga Casey adalah golongan Occultis, yang menginginkan dunia penyihir tetap tersembunyi. Ayahnya bekerja di kementerian sebagai Auror, sama seperti Casey sekarang. Hingga ketika Casey berumur tiga belas, ayahnya tertangkap sebagai pengkhianat. Ia ketahuan merupakan golongan Dissentum yang menyamar, dan bertanggung jawab atas kematian banyak Occultis." Ia menambahkan sedikit bubuk lagi ke dalam kuali hingga cairan di dalamnya menjadi merah berasap, lalu kembali mengaduknya--kali ini berlawanan arah jarum jam. 

"Para Occultis marah, dan ingin menghukum ayah Casey, walaupun ia terus mengatakan kalau ia difitnah. Ayah Casey kabur, dan menjadi buronan di kalangan Occultis, dan tidak pernah terlihat lagi hingga sekarang. Mereka yakin kalau ayahnya telah mati, tapi Casey tidak. Casey mempercayai ayahnya tidak bersalah dan masih hidup. Ia diam-diam melepaskan burung hantunya sepanjang hari, berharap ayahnya dapat mengenali burung hantu yang mereka pilih bersama, dan mengirim pesan rahasia pada Casey. Ia sudah menunggu selama sepuluh tahun lebih, dan nyaris menyerah, sampai pagi tadi. Itulah kenapa hanya boleh aku yang tahu. Casey berpikir jika penyihir Occultis lain mengetahui ini, mereka akan membunuh ayahnya." Nicholas meninggalkan kualinya, lalu menarik kain putih yang berhasil dicakar Brie melalui sela-sela jeruji. Brie memberi tatapan mencela pada Nicholas, seolah ia tidak pantas melakukannya.

Brianna sadar, kalau dirinya bahkan tidak mengetahui kisah Casey sampai separuhnya. Dan sekarang ia terpaksa mendengarnya dari orang lain, walaupun ia berharap sekali bisa mendengarnya langsung dari Casey.

"Lumut. Tanah coklat gelap. Kelembapan sekitar 80%. Dan, wah, apakah ini dedalu?" Nicholas bergumam sendiri sambil menatap kain putih kotor itu.  

"Jadi ternyata ayahnya masih hidup, dan mengirim pesan itu." Brianna menarik kesimpulan, suaranya tercekat.

"Justru itu yang ingin kupastikan," tukas Nicholas ketika ia mencelupkan kain itu ke dalam kuali yang cairannya kembali berwarna putih bening. "Karena kemungkinan besar surat itu adalah jebakan. Sudah kuduga." Nicholas menatap sinis ke kuali ketika cairan di dalamnya perlahan berubah menjadi hijau gelap pekat.

"Apa?" tanya Brianna kebingungan. 

"Karena surat dikirim dari arah utara. Daerah bersalju lebat, yang hampir sebagian besar ditumbuhi oleh pohon dedalu. Aku berani mempertaruhkan seluruh lukisanku kalau tempat itu adalah Revorlaud Hill. Kota muggle terpencil yang terkenal berhantu, di mana terdapat banyak penyihir Dissentum di dalamnya," jelas Nicholas sambil membereskan barang-barangnya.

"Tunggu!" tahan Brianna ketika Nicholas telah menenteng kembali kopernya dan bersiap untuk ber-Apparate. "Kau mau ke mana?"

"Menyelamatkan Casey. Memangnya apa lagi? Bukankah itu tujuan kau menemuiku?" Nicholas memandang Brianna seolah gadis itu telah gila.

"Yeah," sergah Brianna. "Tapi aku juga akan ikut denganmu."

"Jangan bercanda." Nicholas memberinya tatapan meremehkan. 

"Aku kekasihnya." Brianna berkeras.

"Dengar. Ini bukan dunia fiksi, dan tidak akan ada yang bisa menjaminmu kembali hidup-hidup, bahkan aku. Kau bisa terbunuh kapan saja," tegas Nicholas.

"Aku tahu," jawab Brianna, suaranya pecah. "Aku tidak peduli. Aku sudah kehilangan ayahku, satu-satunya orang yang lebih mengertiku dibanding siapapun. Dan aku tidak ingin kehilangan Casey."

Nicholas menghembuskan napasnya dengan keras, hingga kumis-kumis di bawah hidungnya ikut bergetar. "Baik," katanya menyerah, lalu meletakkan kopernya sambil melangkah menjauhi Brianna. "Baiklah. Kau bisa ikut jika kau benar-benar Potterhead."

Brianna mengerjapkan matanya yang basah, tidak mengerti sekaligus tidak menyangka dengan tanggapan aneh yang keluar dari mulut Nicholas. 

"Karena aku tidak akan memiliki waktu untuk mengajarimu sihir dan mantra," lanjut Nicholas sambil berbalik menghadap Brianna. "Besok pagi-pagi, kita akan ke Diagon Alley, membeli tongkat sihir untukmu."

------

Akhirnya aku selesai buat konsep untuk cerita ini. Semoga saja bisa mengurangi risiko terserang writer block HAHAHA.
Ini adalah cerita yang kubuat paling serius di antara cerita-cerita di sebelah #haha
Banyak riset.

Bewitched (End)Where stories live. Discover now