NOSTALGIA

1K 25 10
                                    

#RedRoom.
#Tantangan_detail_setting_tempat.

Senyum seindah cahaya mentari pagi, terbit di wajah cantik Amelia. Ia seakan ditarik masuk ke dalam sebuah kisah klasik, di mana dialah pemeran utamanya.

Di hadapan rumah peninggalan kedua orangtuanya, Amelia terdiam sesaat. Meneliti keadaan di sekitar. Meresapi kenangan yang sempat terlupakan untuk sesaat. Tidak ada yang berubah, bahkan setelah sepuluh tahun berlalu. Rumah yang menjadi saksi bisu perjalanan hidup dari seorang Amelia, sang desainer ternama, masih berdiri kokoh dan siap melawan ganasnya pergantian musim.

Perlahan tapi pasti, Amelia mulai menggeser pagar besi rumah tersebut. Besi tua itu menimbulkan suara yang cukup nyaring, membuat Amelia tersenyum simpul. Tidak berubah, bunyi pagarnya masih saja sama. Berisik!

"Lia! berhenti mengejar kelinci itu!" tegur wanita paruh baya yang baru saja muncul dari dalam rumah dengan gelas besar berisi kopi ditangannya. Beliau menghampiri suaminya yang tengah asyik membaca koran sambil memperhatikan tingkah lucu putri semata wayang mereka.

Setelah memberikan gelas berisi kopi pada suaminya, wanita paruh baya itu berjalan mendekat, bersiap memegang bahu putri kecilnya dan...

"Amelia!" sebuah tangan besar menyentuh bahu Amelia, menyadarkan wanita berusia dua puluh sembilan tahun itu dari lamunannya akan sebuah lukisan masa kecil yang sangat ia rindukan.

"Paman!" pekik Amelia senang. Rasanya seperti mimpi. Ia dapat berjumpa dengan adik kandung dari ayahnya, Paman Dani.

"Paman pikir kali ini kamu tidak akan datang," ucap Paman Dani. Senyum simpul tergambar jelas di wajah tua itu.

Amelia mengabaikan ucapan Pamannya, ia kembali memandang ke segala penjuru halaman rumah.

Pohon mangga dan pohon rambutan yang dulu sering ia panjat saat kecil masih tampak hijau di sudut kanan halaman rumah. Taman kecil di sudut kiri halaman yang menjadi tempatnya bermain mengejar si Badung, kelinci kesayangannya dulu, juga masih tampak terawat meski ada tambahan ayunan besi di sana.

"Semuanya masih sama, kan?" tanya Paman Dani yang mengikuti arah pengelihatan Amelia.

Amelia mengangguk setuju. "Rasanya aku kembali kemasa kecilku dulu, Paman."

"Ayo kita masuk," ajak Paman Dani. "Bibimu pasti sedang menunggu dengan tidak sabar."

----

Langkah Amelia terhenti begitu ia memasuki ruang tamu rumah peninggalan kedua orangtuanya. Perlahan air mata itu tak dapat dibendung lagi. Ia menangis dalam diam, rindu akan masa kecil yang sangat bahagia kembali memeluk erat tubuh Amelia.

Semua masih sama, ruang tamu tempat ia sering duduk bermanja di pangkuan ayahnya dulu, tidak berubah sedikitpun. Sebuah meja kaca yang di kelilingi oleh empat sofa besar berwarna coklat. Lemari pendek di depan pintu menuju ruang keluarga, tampak beberapa boneka kelinci yang terbuat dari tanah liat yang berjejer rapi diatasnya. Semua sangat terawat.

Potret kisah masa kecil Amelia pun masih tergantung rapi di dinding ruang tamu. Foto yang di ambil saat ia berusia satu tahun, saat awal masuk sekolah taman kanak-kanak hingga saat pertama kali dia memperoleh piala atas prestasinya dalam menggambar. Bakat yang kini berkembang menjadi sebuah profesi.

"Semua ini milikmu, dan Paman menjaga semuanya dengan penuh kasih sayang. Paman tahu, sejauh apapun kau melangkah tapi rumah ini akan tetap selalu menjadi tempat untukmu kembali."

"Terimakasih, paman," ucap Amelia penuh haru.

Amelia meraih sebuah foto yang terletak di atas lemari pendek di hadapannya. Menyentuh dengan lembut. Foto yang di ambil saat ulang tahun Amelia yang pertama, di mana ibunya sedang mengendong Amelia kecil dengan sang ayah tepat di samping ibu Amelia. Potret keluarga bahagia.

Kini semua tinggal kenangan dan Amelia berdiri di sudut kenangan itu dengan sejuta kerinduan. Rindu akan pelukkan hangat sang ibu dan omelan sang ayah saat ia melakukan kesalahan.

Memang benar, gajah mati meninggalkan gading dan manusia mati meninggalkan kenangan. Kenangan manis yang tersimpan di rumah ini pula yang membuat Amelia butuh waktu sepuluh tahun lamanya untuk bisa kembali menginjakkan kaki di rumah peninggalan orang tuanya itu. Ia berusaha lari dari rasa sakit kehilangan orang yang sangat dicintainya.

"Amelia!" teriakan seorang wanita paruh baya dari arah dalam membuat senyum Amelia mengembang.

"Bibi Lili!" pekik Amelia, berlari memeluk erat tubuh bibi kesayangannya.

"Bibi sangat merindukanmu, sayang."

"Lia bahkan lebih merindukan bibi," balas Amelia mempererat pelukan mereka.

"Bisa tolong pelukannya dihentikan dulu? Paman mulai lapar," ucap paman Dani membuat bibi Lili dan Amelia melepaskan pelukan mereka. Tertawa memandang wajah memelas paman Dani. Sudah lama sejak terakhir Amelia bisa tertawa selepas itu.

Rasanya begitu melegakan saat ia sanggup melepaskan beban yang sepuluh tahun menghimpit hati dan pikirannya. Kerinduan itu memang masih ada dan akan tetap ada tapi kini semua akan lebih baik karena Amelia sudah mampu menatap semua kenyataan yang ada dengan berani.

Kehilangan orang terkasih memang menyakitkan tapi bukan berarti kita harus berlari sejauh mungkin untuk menghindari rasa sakitnya kehilangan. Bangkitlah! karena rasa sakit hadir untuk menguatkan, bukan menjadikan kita semakin lemah. Lawan rasa sakit itu dan tersenyumlah. Buat dirimu kuat untuk langkah selanjutnya dalam mengarungi hidup.

___ THE END ___

Kumpulan CerpenWhere stories live. Discover now