Part 9 : Hangout

54 4 14
                                    

Seperti biasa, mama sedang berada di dapur café-nya dan berkutat pada setumpuk kertas pesanan. Harumnya meatlover pizza menusuk hidungku saat aku membuka pintu dapur. Aku berjalan menuju ke tempat dimana mamaku berada, dan menyapanya.

"Hei, Ma."

"Hei, Sayang. Sudah mandi kan?" tanyanya sambil menyiapkan beberapa topping.

"Iya sudah, Ma. Rara izin dulu ya,"

"Mau kemana emang?" tanyanya menyelidik.

"Mau pergi sama Naufal," ucapku sedikit pelan, karena aku takut jika mama tidak menyetujuinya.

"Naufal siapa?"

"Ehm.. itu yang rumahnya di perumahan elite, sering pesan pizza maminya," jelasku singkat.

"Oh, putranya Bu Lina ya? Yang dokter kecantikan itu kan ibunya?"

"Iya, Ma," jawabku pasrah.

"Okelah, hati-hati ya. Jaga diri."

Beep.. beep..

"Sudah dijemput?" tanya mama.

"Udah, itu mobilnya," tunjukku pada mobil sedan BMW yang telah terparkir manis di halaman.

Tak lama kemudian, seseorang yang mengendarai mobil mewah itu memasuki café. Badan tinggi dan parasnya yang cukup tampan, membuat beberapa pasang mata melihatnya takjub. Ia menemuiku, dan mama yang kini sudah berada di balik bar. Ia berpamitan dengan sopan, seraya mencium punggung tangan mamaku. Lalu, aku pun juga mencium punggung tangan mama, dan berpamitan pergi. Untung saja mama mengizinkanku pergi.

***

Aroma pengharum ocean wave bermerek California Scents yang terletak di dashboard memenuhi seisi mobil. Aromanya alami dan tidak begitu menusuk hidung. Siapa pun yang memasuki mobil ini, akan merasa kembali fresh pikirannya. Seperti yang dapat ku rasakan saat ini. Musik jazz klasik ala café mengalun sayup dari player-nya. Mobil itu bersih sekali. Jok kulitnya sampai terasa licin ketika diduduki.

Musik masih terus melantunkan nada-nadanya, tapi kami tak kunjung berucap kata. Sesekali Naufal bersiul mengikuti alunan musik, dan berdehem kecil. Aku tak tahu harus menanggapi seperti apa. Namun, sejak tadi ada satu tanda tanya besar yang terbesit di kepalaku. Kemana kita akan pergi? Namun, aku masih urung menanyakan hal tersebut padanya. Hingga pada akhirnya ia yang memulai percakapan.

"Hei," lagi-lagi sepotong hei yang selalu membuat jantungku berdegup tak karuan. "Kok diem aja?" tanyanya sambil menengok ke arahku.

"Hei, nggak papa kok. Cuma lagi bingung aja."

"Bingung kenapa?" tanyanya.

"Kita mau kemana sih?"

"Ke perpustakaan kota," jawabnya santai.

"Ngapain?"

"Udahlah, pasti lo bakal suka Vir," ia berusaha meyakinkan. Lalu, membelokkan mobilnya ke kiri menuju gerbang perpustakaan, dan memarkirkan mobilnya di salah satu celah yang masih kosong. Kami pun berjalan bersama menuju pintu masuk.

Desain bangunan perpustakaan ini tampak jelas bergaya arsitektur belanda. Terdiri dari tiga lantai, lantai atas, bawah, dan bawah tanah. Juga terdapat beberapa pasang daun pintu dan jendela yang berukuran besar. Terlihat dari cross ventilasinya yang mengarah ke atas ̶ arah keluarnya ̶ merupakan ciri khas arsitektur belanda, sehingga memudahkan udara untuk masuk ke dalam ruangan. Tak hanya itu, ketika hujan turun, air akan dialirkan dari loteng menuju ke bawah lantai yang terbuat dari marmer itu. Jadi, di bawah pijakan kaki kita ini terdapat aliran air yang mengalir, sehingga udara dalam ruangan akan senantiasa sejuk meski tidak menggunakan air conditioner (AC).

7 YearsWhere stories live. Discover now