13.

40 3 2
                                    

Aku tidak salah dengar bukan?

Menjual rumah ini? Membayangkannya saja aku tak sanggup, apalagi harus melihat rumah ini dijual dan membiarkan keluarga lain mengisinya?

Aku amat sangat tidak setuju. Dan aku rela menentang Ibun untuk mempertahankan satu-satunya tempat yang memiliki banyak kenangan peninggalan ayah. Rumah ini istana kami, dan tak ada satupun orang yang boleh merebut rumah ini dari kami.

"Windy nggak setuju, Bun!" kataku agak keras, membuat Ibun menatapku lurus-lurus. "Apa Ibun setega itu harus menjual rumah ini? Ini warisan ayah, Bun." kataku lagi yang kini sudah dibasahi air mata yang mengalir di wajahku.

Ger yang duduk disebelahku juga mengangguk, "Kakak bener, Bun. Ger juga nggak setuju." katanya pelan, mendukung penuh ucapanku untuk menolak Ibun menjual rumah ini.

"Kalian berdua nggak mengerti..." Ibun menunduk, melihat ke arah kedua tangannya yang saling bertautan. Dan tak lama aku mendengar suara isak tangis.

Untuk beberapa saat hanya terdengar tangisan Ibun dalam diam, aku dan Ger bahkan tak berani sedikitpun bergerak. Dan kita menunggu.

"Banyak yang harus di bayar, Windy-Gerald, dan Ibun sudah tidak mampu membayar semuanya karena tabungan Ibun sudah habis. Saat ini Ibun belum mendapatkan pekerjaan yang pasti, dan pengeluaran kita lebih besar dari pemasukkannya." jelas Ibun panjang lebar, sukses membuat mulutku terkatup rapat.

"Lagi pula, kita bisa tinggal di rumah yang lebih kecil. Kita tinggal bertiga, nggak perlulah rumah besar-besar." kata Ibun sambil memandang sekeliling ruang makan yang memang terlalu luas hanya untuk digunakan oleh tiga orang.

Aku setuju tapi tak juga setuju.

Aku setuju karena memang rumah ini terlalu besar untuk hanya ditempati oleh tiga orang. Aku tidak setuju karena aku tidak ingin meninggalkan rumah ini untuk selamanya. Ini sama saja seperti kita pergi meninggalkan jutaan kenangan bersama ayah dirumah ini, dan aku tidak mau itu terjadi.

"Sudah, jangan terlalu di pikirkan, kita lihat saja nanti kedepannya." kata Ibun yang bangkit dari duduknya dan mulai membereskan meja makan. Setelah aku dan Ger membantu Ibun di dapur, kami masuk ke dalam kamar masing-masing.

Aku menjatuhkan diri ke atas ranjang, mencoba untuk berhenti sejenak memikirkan beban yang kini justru bertambah berat. Kalau aku boleh marah kepada Tuhan, aku sudah melakukan itu sejak kepergian ayah. Karena semenjak kepergian ayahlah semua berubah. Semua yang aku maksud adalah semuanya.

Aku ingat jelas kenangan beberapa tahun silam bersama ayah ketika tengah menyesap teh sore bersama di teras kalau rumah ini adalah salah satu hal terbaik yang pernah ia bangun dengan keringatnya sediri setelah melamar Ibun dulu. Ayah bilang, kalau laki-laki itu harus dapat membangun istananya sendiri untuk keluarganya. Dan kini, istana yang ayah bangun dengan susah-payahnya dengan mudah Ibun lepas.

Bangkit dari ranjang, aku berjalan perlahan mengelilingi kamarku, mengingat kembali ketika dua tahun yang lalu dengan seru dan penuh tawa aku, Ayah, dan Ger mengecat kamar ini bergantian setelah mengecat kamar Ger lebih dulu.

"Ger, jangan isengein kakakmu dong, kasihan kan dia jadi kotor tangannya." kata Ayah ketika dengan bertubi-tubi Ger memeperkan kuas yang penuh cat ke tanganku. Aku yang kesal hanya bisa berteriak, membuat tetanggaku, Kean yang sedari tadi hanya memperhatikan kami mengecat kamarku tertawa keras.

Setelah hampir seharian kami mengecat kamarku yang kini sudah berganti warna menjadi biru, kami terduduk di lantai bersama dengan perasaan puas. "Nanti tinggal di kasih bintang-bintang neon deh biar kalau malam kamarnya jadi terang." kataku yang sedari kecil memang menyukai hal yang berbau tata surya dan seisinya. Ayah terseyum dan mengelus kepalaku pelan, "Terserah anak Ayah aja, mau di tempelin poster boyband kesukaan kamu itu juga boleh."

Langkahku terhenti menatap poster boyband yang ayah sebutkan dua tahun silam itu yang masih menempel di salah satu sisi dinding kamarku. Aku membiarkan diriku menangisi kesedihan sekali lagi karena perasaan rindu yang tak akan pernah terbalaskan.

- - - - -

a/n: Hai! Masih adakah yang baca cerita ini? Kalau nggak ada juga aku sih fine :')


25.02.2017

Arsiani

Jendela RajutWhere stories live. Discover now